Jalan Panjang Pelindungan Buruh Migran

Konten dari Pengguna
18 Desember 2020 21:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dios Lumban Gaol tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peraturan pelindungan buruh migran yang ada pada saat ini, bukanlah merupakan hasil pemberian serta-merta oleh negara, namun karena perjuangan advokasi panjang oleh organisasi dan aktivis buruh migran. Pada tahun 2002, terjadi peristiwa dimana 350.000 buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen di deportasi dari Sabah, Malaysia. Para buruh migran mengungsi ke Kabupaten Nunukan karena berdekatan langsung dengan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Kabupaten Nunukan tidak siap mengantisipasinya, karena secara tiba-tiba menerima eksodus massal. Sementara Pemerintah Pusat menganggap masalah tersebut merupakan tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah Kabupaten Nunukan. Karena kondisi tersebut, buruh migran terlantar, sehingga mengakibatkan 85 buruh migran meninggal dunia dan ribuan deportan lainnya mengalami sakit.
Hal tersebut terjadi, karena ketidaksiapan Pemerintah Indonesia dalam merespon pemberlakuan Akta Imigresen 1154/2000 oleh Malaysia. Perlu diingat bahwa pada saat itu, belum ada peraturan perundang-undangan Indonesia setingkat undang-undang (UU) atau peraturan lainnya yang secara spesifik mengatur dan melindungi buruh migran. Karenannya, pada tahun 2003, Munir Cs melakukan terobosan hukum dengan mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) dengan dalil pokok bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan pembiaran atas TKI yang dideportasi dari Malaysia, dan menuntut pemerintah mengeluarkan kebijakan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Gugatan tersebut dikabulkan, dan untuk itu Pemerintah dan DPR mengeluarkan UU 39 Tahun 2004 tentang PPTKLN. UU tesebut disusun secara terburu-buru, sehingga beberapa tahun kemudian kelompok masyarakyat sipil menilai bahwa UU tersebut perlu direvisi karena peran Pemerintah dalam melindungi pekerja migran tidak jelas; mekanisme pertanggungjawaban majikan tidak ada; dan tidak dijaminnya hak cuti, hak berkomunikasi, dan hak berserikat.
Setelah mengalami proses panjang, akhirnya UU tersebut dicabut dan digantikan dengan UU 18 Tahun 2017 tentang PPMI (Pelindungan Pekerja Migran Indonesia). UU PPMI banyak merubah paradigma perlindungan buruh migran dibandingkan dengan UU sebelumnya. Pelu dicatat bahwa UU PPMI merupakan hasil advokasi bertahun-tahun yang dilakukan oleh kelompok masyarakyat sipil dan serikat yang bergerak pada isu buruh migran. Hal ini tercatat jelas dalam buku “Gerakan Advokasi Legislasi untuk Perlindungan Pekerja Migran” yang diterbitkan Migrant Care dan Law , Gender and Society Study Centre FH UGM.
ADVERTISEMENT
Progresifitas Semu
UU PPMI membawa substansi peraturan yang sangat progresifitas, seperti tanpa cela dalam melindungi buruh migran. Yang paling mendasar ialah adanya desentralisasi tugas dan tanggung jawab terhadap buruh migran, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa. Dibanding UU sebelumnya yang dominan peran swasta, UU PPMI memberatkan tanggung jawab pelindungan kepada negara.
Sudah menjadi rapor merah bahwa buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri, dominan tidak berdokumen atau tidak mengikuti prosedur perekrutan dan penempatan. Hal ini mengakibatkan buruh migran menjadi rentan dalam bekerja, karena tidak terdata, sehingga perwakilan Pemerintah Indonesia yang ada di luar negeri sulit untuk mengawasi dan melindungi.
Akar dari permasalahan ini ialah tidak sampainya informasi mengenai cara berangkat sesuai prosedur ke luar negeri, bahkan aparatur negara seperti Dinas Tenaga Kerja sangat jarang melakukan sosialisasi ke desa-desa yang merupakan kantong buruh migran. Akibatnya banyak buruh migran yang terbujuk rayu oleh calo-calo perusahaan untuk berangkat ke luar negeri secara unprosedural dengan iming-iming gaji yang besar. Praktik ini kerap berujung pada penipuan yang mengakibatkan buruh migran mengalami kerugian materil dan immaterial.
ADVERTISEMENT
Praktik berpuluh tahun ini, diantisipasi oleh UU PPMI dengan mempertegas tugas dan tanggung jawab pemerintah desa. Desa sebagai lembaga pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakyat, bertugas melakukan pencatatan data calon buruh migran, pemantauan pemberangkatan, dan pendataan.
Hal tersebut cukup efektif dalam mengurangi jumlah buruh migran yang unprosedural, namun belum sepenuhnya desa kantong buruh migran menerapkan hal ini. Kendalanya ialah belum tersosialisasi UU PPMI ke desa-desa, bilapun sudah tersosialisasi kerap terhalang dengan anggaran desa. Harus menjadi perhatian, bahwa desa juga perlu mengeluarkan peraturan desa untuk menspesifikkan tugas dan tanggung jawab perangkat desa. Dalam UU PPMI telah ditegaskan bahwa tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah (PP), namun hingga kini PP tersebut belum juga ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pembentukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) juga menjadi terobosan dalam UU PPMI. LTSA merupakan pelayanan dokumen khusus calon buruh migran. LTSA menyatukan 7 instansi pemerintah dalam satu atap yaitu Disnaker, Imigrasi, BPJS Ketenagakerjaan, Dukcapil, UPT BP2MI, Kesehatan, dan Kepolisiaan. Harapannya calon buruh migran dapat mengurus dokumen pemberangkatan dengan cepat, singkat, dan murah karena tidak perlu lagi mengunjungi instansi yang jaraknya berjauhan.
Dalam pelaksanaanya, masih banyak terjadi kendala. Banyak LTSA yang instansinya tidak lengkap, sehingga tujuan LTSA tidak tercapai. Hasil pengematan saya, hanya LTSA Surabaya yang mempunyai instansi lengkap. Hal ini terjadi karena minimnya staff di dinas terkait, sehingga tidak bisa menempatkan staff di LTSA. Selain itu, banyak dari pemerintah daerah tidak mempunyai komitmen untuk mendanai LTSA, sehingga banyak LTSA kurang anggaran dalam melakukan aktivitasnya. Untuk mengatur secara komprehensif, UU PPMI telah menyatakan agar LTSA diatur dalam PP, namun lagi-lagi hingga kini belum ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Tantangan
Setelah 3 tahun berjalannya UU PPMI, tentunya tantangan yang paling berat ialah mewujudkan janji-janji perlindungan berupa peraturan turunan. UU PPMI memiliki 26 peraturan turunan yang harus ditetapkan, yaitu 11 PP, 2 Pepres, 10 Permen, dan 3 Perkabadan. Hingga saat ini belum seluruh peraturan turunan ditetapkan, padahal UU PPMI menyatakan peraturan turunan ditetapkan paling lama 2 tahun, yang seharusnya pada 22 November 2019 lalu seluruh peraturan telah ditetapkan.
Paling krusial ialah PP tentang perlindungan pelaut awak kapal yang hingga kini belum ditetapkan. Padahal PP ini merupakan pokok aturan yang melindungi buruh migran di sektor laut. Perlu diketahui bahwa sampai saat ini terjadi dualisme pengaturan ABK antara Kementeriaan Ketenagakerjaan dan Kementeriaan Perhubungan. Seharusnya penempatan dan pelindungan anak buah kapal (ABK) tunduk pada UU PPMI yang berada di bawah Kementeriaan Ketenagakerjaan, namun karena PP belum ditetapkan, pengaturan ABK saat ini masih tunduk pada Permenhub No 84 tahun 2013 di bawah Kementeriaan Perhubungan.
ADVERTISEMENT
Hal ini menyebabkan carut marut tata kelola penempatan ABK, sehingga ABK tidak terdata dan pelindungannya sulit untuk dipenuhi. Karenannya harus menjadi perhatian khusus oleh pemerintah, karena banyaknya kasus perbudakan modern ABK Indonesia akibat tidak solidnya peraturan.
Kedepannya, tantangan pelindungan buruh migran lebih berat lagi. Terutama dalam menetapkan peraturan turunan, agar UU PPMI tidak hanya terlihat manis dikertas. Disahkannya UU Cipta Kerja juga banyak memodifikasi perizinan perusahaan penempatan buruh migran, yang berdampak pada pelindungan buruh migran. Hal yang dipaparkan di atas merupakan sedikit dari banyaknya tantangan pelindungan buruh migran yang perlu direfleksikan pada Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh pada hari ini. Karena pelindungan yang ada pada saat ini bukan merupakan pemberian, namun hasil perjuangan!
ADVERTISEMENT