Cerpen: Bapak Pahlawanku

Dina Inayah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
5 Desember 2022 9:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dina Inayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: canva.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pagi ini rasanya matahari sudah tidak malu lagi untuk menampakkan sinarnya. Senyuman yang mengawali pagi rasanya juga tidak ingin kalah.
ADVERTISEMENT
Aku yang berada di teras rumah menikmati sinar matahari yang langsung menerpa wajahku. Hari ini adalah hari di mana penghormatanku kepada pahlawan yang sangat berjasa di hidupku. Sejarah yang mengantarkanku kepada masa depan yang lebih baik dan dari dialah aku belajar apa itu arti dari hidup. Karena dialah pahlawanku.
Tulungagung, 1947.
Hawa sejuk desa dapat kurasakan dengan nikmat. Aku berjalan ke arah bapak yang sedang mengelap batu cincin kesayangannya. Kala itu umurku sembilan tahun, sering sekali aku dengar dari mulut bapak batu cincin itu berharga mahal jika di jual.
“Namamu siapa?”
“Adipati Ar-Rasyid” Aku jawab dengan suara yang tegas.
“Cita-citamu apa adipati?”
Saat itu, aku tidak bisa menjawab karena tidak pernah terpikirkan olehku jika bapak akan menanyakannya. Aku yang di tanya menggaruk tengkuk kepala yang pastinya tidak gatal.
ADVERTISEMENT
Merasa tidak mendapat respons dariku, matanya langsung menatapku intens.
“Tidak punya cita-cita?” Aku diam “astagfirullah Bu anakmu ini.”
Kali ini, untuk pertama kalinya aku lihat bapak mengabaikan batu cincinnya, lalu fokus ke arahku.
“Ingat kata pak Sukarno, bercita-citalah setinggi langit. Jika kau jatuh, maka kau akan jatuh di antara bintang-bintang.”
Aku menunduk takut bapak memarahiku, apalagi ia sudah mengeluarkan nada tegasnya seakan ingin menghakimiku saat ini juga.
“Lihat wajah bapakmu Ini!” Aku mengangkat wajahku “Adipati Ar-Rasyid itu nama siapa bapak tanya?”
“Aku pak.”
Bapak memegang bahuku kuat, mengguncangkannya seakan ingin menyadarkanku ke dunia nyata, bukan fantasi yang sering aku gunakan untuk bermain.
“Anak bapak yang bernama Adipati harus punya cita-cita setinggi langit. Kamu Adipati mau jadi apa? Pengusaha, profesor, jendral, atau menteri?”
ADVERTISEMENT
“Jendral pak” Jawabku tegas, sebenarnya itu pilihan dari pertanyaan bapak yang langsung terlintas ke dalam otakku.
“Bagus, jendral harus kuat, tegas, dan berwibawa” jeda sesaat “kalau bisa cita-citamu jadi presiden yang lebih tinggi pangkatnya.”
Menjadi presiden bukanlah keinginanku dan entah tidak pernah aku ada niatan seperti itu. Bapak kembali dengan batu cincinnya melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.
Ibu datang dari arah dapur dengan segelas kopi hitam di tangannya untuk siapa lagi kalau bukan bapak kopi itu dan sudah menjadi rutinitas bagi bapak di setiap paginya.
“Masuk Kamarmu Adipati!” Perintah ibu kepadaku, mungkin ia akan membicarakan sesuatu kepada bapak dan tidak ingin aku mendengarnya.
“iya Bu.”
Aku berjalan menuju kamar. Ada rasa penasaran di diriku. Apa yang ingin dibicarakan oleh mereka sebenarnya? Sehingga aku tidak boleh mengetahuinya. Aku memasang kuping dengan baik, untung saja kamarku dan ruang tamu dibatasi dengan dinding bambu, sehingga akan lebih mudah bagiku mendengarkannya.
ADVERTISEMENT
“Ada apa Bu?”
“Kemarin malam Harun datang ke rumah, kasih surat tanah yang sudah di perbarui”.
“Surat tanah yang mana?”
“Tanah kebun teh, pak” Ucap ibu memperjelas.
Aku memasang telingaku lebih tajam lagi tapi sayang, sepertinya pembicaraan itu tak dapat kudengar dengan jelas. Pasti ada hal yang lebih penting dibandingkan pembicaraan tadi.
Ah, orang dewasa selalu punya masalah dan pemikirannya sendiri. Pikirku saat itu.
Aku memejamkan mata hari ini rasanya aku tidak berminat untuk keluar rumah bergabung dengan teman sebayaku bermain seperti biasanya, karena ucapan bapak yang masih berputar memenuhi otakku. Apakah benar cita-citaku adalah menjadi seorang jendral? Apakah bisa aku menunjukkan kepada bapak suatu saat nanti? Pikiranku entah melayang ke mana saat itu, menjadi jendral bukanlah perkara yang mudah bagiku, apalagi sifatku yang sedikit di bentak saja air mata langsung mengalir membasahi wajah.
ADVERTISEMENT
“Seorang laki-laki sejati tidak pernah menarik ucapannya kembali.”
Aku teringat ucapan bapak yang satu itu. Tapi apakah aku bisa?
BRAAK....
Suara dentuman pintu yang di buka secara paksa itu menyadarkanku dari lamunan. Ada apa sebenarnya di ruang tamu? Aku membuka pintu kamar. Aku dapatkan ibu masuk tergesa dengan wajah paniknya.
“Ada apa Bu?” Tanyaku.
Tapi ibu tidak menggubrisnya sama sekali, tanganku langsung di tarik lari keluar dari rumah lewat pintu belakang. Aku diam menghentikan langkahku, masih bingung dengan perilaku ibu saat ini.
“Ayo cepat!”
Aku mengangguk mengiyakan, lalu mengikutinya berjalan di antara semak-semak yang tingginya hampir menutupi tubuhku.
Entah dari mana datangnya perasaan yang tidak menyenangkan ini. Aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa ibu membawaku berlari lewat pintu belakang? Dan kenapa pula tidak ada bapak bersama kita di sini? Masih banyak pertanyaan yang mengumpul di benakku, tapi dalam kondisi lari seperti ini rasanya tidak tepat sekali jika aku bertanya kepada ibu.
ADVERTISEMENT
“Diam di sini!” Perintah ibu kepadaku.
Tangannya menggenggam tanganku erat. Dapat aku rasakan tangan ibu gemetar, bahkan menyusuri tubuhnya.
Aku mengintip di celah-celah semak, pandanganku langsung tertuju ke arah seorang pria dengan pakaian tentara dan pistol besar di tangannya. Mataku membelalak kaget, bagaimana bisa? Bukankah Indonesia sudah merdeka?
“Ibu ada belan-”
“Diam!”
Ibu membekap mulutku, menyuruhku diam agar persembunyian kita tidak ketahuan. Tapi bagaimana dengan bapak di sana? Apakah bapak baik-baik saja?
“Mana bapak Bu?”
Ibu tidak menjawab, hanya memelukku erat. Aku khawatir bapak kenapa-kenapa, bagaimana ini? Apakah bapak selamat? Atau malah...? Akh... itu tidak mungkin terjadi, karena aku tahu bapak adalah orang yang kuat. Bapak pasti akan selamat dan bapak pasti akan menolongku dan ibu di sini, aku yakin itu.
ADVERTISEMENT
Dor..dor..dor..
Aku tersentak, suara pistol itu apakah mengenai bapak? Aku menatap wajah ibu yang sudah berlinang air mata.
“Ibu, bapak akan datang ke sini bukan?”
Ibu menggeleng. Mencium keningku, lalu membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. Aku menggeleng, pasti bapak selamat, pasti bapak akan datang.
Aku melepaskan pelukan ibu, berlari menemui bapak di sana. Bapak cukup kuat untuk melawan tentara Belanda. Ibu sempat mencegahku, tapi aku memaksa menemui bapak. Aku berlari sekencang mungkin, menolak pikiran buruk yang datang.
Aku diam, berhenti tepat di ruang tamu. Kakiku tiba-tiba saja terasa lemas melihat tubuh bapak yang sudah tidak berdaya, tergeletak begitu saja di lantai. Nafasku tercekat ketika tubuh bapak tertembak tepat di bagian jantung. Tangisku pecah saat itu juga, suara derap mobil tentara Belanda masih terdengar oleh telingaku. Aku tidak terima bapak yang sudah banyak mengajariku, mati di tangan kotor tentara Belanda. Akanku kejar tentara itu jika ibu tidak memelukku dari belakang.
ADVERTISEMENT
“Bapak...”
Aku peluk tubuhnya yang kaku dan terlumur darah. Masih bisakah aku melihat punggungnya yang kokoh terbebani oleh tanggung jawab kepala keluarga? Masih bisakah bagiku mendengar bentakan dalam mendidikku? Masih bisakah bagiku untuk melihatnya tersenyum dan masih bisakah bagi ku untuk menunjukkan jati diriku suatu saat nanti kepadanya?
“Bapak akan selalu ada di dalam hati kita Adipati dan kamu harus percaya itu” Ucap ibu menenangiku, walaupun aku tahu, sedih yang ia rasakan melebihi diriku.
“Aku, Adipati Ar-Rasyid akan menjadi jendral yang tegas dan berwibawa untuk melindungi ibu dan orang-orang yang Adipati cintai termasuk tanah air ini!” Ucapku dengan yakin tanpa keraguan sedikit pun. Kali ini, aku berjanji dengan janji seorang laki-laki yang tidak akan pernah menarik ucapannya kembali...
ADVERTISEMENT
Sekarang aku sudah sampai di pusara bapak dengan pakaian tentara berpangkat jendral bersama ibu, istri, dan peri kecilku yang bernama ‘puspa’ bunga yang cantik.
“Puspa mau jadi tentara seperti papa biar bisa lindungi eyang dan mama?”
Dia menggeleng, lalu meminta gendong padaku.
“Kenapa?”
“Puspa maunya jadi dokter biar bisa menolong papa kalau berdarah”
Aku tersenyum mendengar penjelasannya, dia peri kecilku yang cerdas.
“Siap, ibu dokter” Ucapku sambil memberi hormat.
“Nanti yang jadi tentara biar adik saja” Ucapnya sambil menunjuk ke arah perut mamanya. Ya, beberapa bulan lagi akan datang peri kecil baru dalam hidupku.
Teruntuk bapak, terima kasih sudah mengorbankan nyawamu untuk kami dan keluarga kecilku hidup bahagia, dengan janjiku kepada bapak, akan aku gunakan pekerjaanku ini dengan baik untuk melindungi mereka semua, termasuk ibu yang sudah mendorongku untuk melangkah lebih jauh lagi, hingga aku menjadi sepeti ini. Karena menjadi jendral adalah jalan dari hidupku.
ADVERTISEMENT
TAMAT.