Puan, Perempuan, dan Harapan

Rizky Murdiana
Politik Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2021 21:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Murdiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Jackson David (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Image by Jackson David (Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Representasi formal dalam ranah perumusan kebijakan, menjadi ruang politis yang selalu minim akan kehadiran perempuan. Tidak hanya soal jumlah perempuan yang ada di dalamnya, namun juga soal isu dan kepentingan perempuan juga minim prioritas dalam ruang politis tersebut.
ADVERTISEMENT
Sudah beberapa dekade berjalan sejak diberlakukannya prinsip affirmative action, namun hingga saat ini kuota 30 persen di parlemen tersebut tidak pernah tercapai. Menjadi pertanyaan penting terkait bagaimana menghadirkan kepentingan perempuan jika jumlah perwakilan mereka saja dianggap belum terpenuhi.

Pentingnya kehadiran perempuan

Pengukuran indeks kesenjangan gender (IKG) yang meliputi indikator kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan status ekonomi menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara dengan kesenjangan di atas rata-rata dunia yaitu 0,436. Angka ini juga menjadikan Indonesia berada di peringkat ke tujuh di antara negara-negara ASEAN.
Cukup ironis jika melihat kesenjangan gender di Indonesia yang cukup tinggi, mengingat negara ini mengeklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Selain itu, amanat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga mengindikasikan bahwa tidak boleh ada perbedaan perlakuan antar warga negara, termasuk dilihat dari aspek gender. Namun pada realitanya, perbedaan perlakuan masih sering terjadi.
ADVERTISEMENT
Mengingat kondisi yang cukup memprihatinkan dalam kaitannya dengan kesenjangan gender, maka sudah seharusnya berbagai kepentingan perempuan menjadi prioritas dalam perumusan kebijakan. Dalam konteks ini, perempuan perlu mendorong berbagai isu terkait kepentingannya agar mendapat perhatian dalam proses perumusan kebijakan.
Sudah sejak lama sistem sosial politik di Indonesia melanggengkan praktik patriarki. Kondisi terdiskriminasi juga sering dialami perempuan, karena konstruksi yang ada sudah sejak lama menganggapnya sebagai kaum nomor dua.
Mengingat pelemahan perempuan terjadi disebabkan karena sistem, maka cara melawannya juga harus dilakukan dengan sistem. Dalam konteks ini perempuan perlu hadir dalam sebuah sistem dan berupaya mempengaruhi proses yang ada di dalamnya. Hal ini selaras dengan gagasan yang diungkapkan oleh Rosabeth Kanter bahwa penting untuk menghadirkan keterwakilan perempuan dalam suatu organisasi. Gagasan tersebut juga diperkuat oleh Karam dan Luvenduski yang mengungkapkan bahwa, kendati hanya terdapat satu perwakilan perempuan dalam parlemen, hal tersebut dapat memberikan pengaruh dalam proses perumusan kebijakan.
ADVERTISEMENT

Kepentingan Perempuan

Merujuk pada konsep yang dirumuskan oleh Molyneux kepentingan perempuan diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk yaitu kepentingan perempuan (women interest), kepentingan gender strategis (strategic gender interest), dan kepentingan gender praktis (practical gender interest).
Berkaitan dengan kepentingan perempuan (women interest), hal ini memiliki penjelasan yang abstrak dan sangat diperdebatkan. Karena perempuan diposisikan dalam setiap masyarakat dengan berbagai cara yang berbeda. Oleh karena itu memang sulit untuk menggeneralisasi kepentingan perempuan, namun sebaliknya kita perlu menentukan bagaimana berbagai kategori perempuan dapat dipengaruhi secara berbeda.
Selanjutnya, kepentingan gender strategis (strategic gender interest), adalah kepentingan perempuan yang dapat berkembang berdasarkan posisi sosial mereka melalui atribut gender. Kepentingan strategis diturunkan pada secara deduktif, yaitu dari analisis subordinasi perempuan dan dari perumusan alternatif, seperangkat pengaturan yang lebih memuaskan hingga yang ada. Contohnya adalah penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi yang dilembagakan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan kepentingan gender praktis (practical gender interest) merupakan kepentingan yang diberikan secara induktif dan muncul dari kondisi konkret posisi perempuan dalam pembagian kerja gender. Kepentingan praktis biasanya merupakan tanggapan atas kebutuhan yang dirasakan segera, dan umumnya tidak memerlukan tujuan strategis seperti emansipasi perempuan atau kesetaraan gender.
Melalui konsepsi kepentingan ini maka dapat disimpulkan bahwa yang perlu menjadi prioritas adalah kepentingan gender strategis (strategic gender interest).

Menghadirkan Kepentingan Perempuan dalam Perumusan Kebijakan

Persoalan dalam menghadirkan kepentingan perempuan sudah saatnya bergeser dari persoalan terkait kuantitas kepada persoalan yang luas. Dalam konteks ini, pandangan pesimis mengenai jumlah perempuan yang minim, perlu diubah menjadi semangat untuk mewujudkan kelompok minoritas yang kritis.
Sejauh ini, persoalan dalam tataran praktik representasi, jika dikaitkan dengan persoalan perempuan selalu mengatakan bahwa jumlah yang sedikit menjadi permasalahan utama. Pola pikir demikian perlu diubah. Anggota legislatif perempuan seharusnya mampu menjadi pihak yang lihai dalam bernegosiasi dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hadirnya Puan Maharani sebagai ketua DPR RI juga dapat dilihat sebagai peluang untuk mewujudkan kepentingan tersebut. Dalam hal ini, persoalan mengenai perempuan yang tidak berada dalam posisi strategis, juga perlu ditepis jauh-jauh. Nyatanya, ketua parlemen kita adalah perempuan.
Namun, hingga saat ini sepertinya praktik representasi kita memang bermasalah. Namun persoalan mengenai jumlah atau posisi strategis tidak bisa dijadikan alibi lagi oleh anggota legislatif perempuan, nyatanya yang bermasalah adalah pola pikir mereka yang ada di parlemen. Oleh sebab itu, menghadirkan kepentingan perempuan sepertinya tidak bisa dilakukan dengan hanya mengandalkan keberadaan anggota legislatif perempuan saja.
Secara terbuka, gerakan perempuan perlu menekan wakilnya untuk bertindak bagi kepentingan mereka. Agaknya mereka perlu diingatkan bahwa keberadaanya adalah sebagai wakil perempuan. Sudah sepatutnya Ibu Puan dan anggota legislatif perempuan lain, kembali pada tanggung jawabnya untuk memperjuangkan kepentingan perempuan.
ADVERTISEMENT