SQ- LIPSUS Tak Siap Corona Penyemprotan desinfektan di Ancol

Yang Harus Diwaspadai dari Tingginya Case Fatality Rate COVID-19 di Indonesia

Dicky Budiman, dr., M. Sc.PH
Doctor. Epidemiologist. PhD candidate. Researcher and practitioner on Global Health Security Policy at the Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia.
27 Maret 2020 12:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas medis memakamkan pasien positif COVID-19 di Padang, Sabtu (28/3). Mereka mengenakan alat pelindung diri lengkap. Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
zoom-in-whitePerbesar
Petugas medis memakamkan pasien positif COVID-19 di Padang, Sabtu (28/3). Mereka mengenakan alat pelindung diri lengkap. Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Sejak melaporkan dua kasus pertama positif COVID-19 tanggal 2 Maret 2020, tren Indonesia cenderung naik, walaupun saat ini masih dalam tahap awal kurva epidemi.
Jumat, 26 Maret, dilaporkan kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia total berjumlah 893 kasus dengan 78 kematian dan 35 pulih.
Sebagai perbandingan, negara tetangga Indonesia, yaitu Australia, pada 25 Maret telah melaporkan 2.425 kasus COVID-19 terkonfirmasi, dengan 8 kematian.
Kasus pertama di Australia dilaporkan pada 25 Januari 2020. Angka di Australia masih cenderung naik, meskipun pemerintahnya sudah menerapkan berbagai strategi untuk meredam kecepatan penyebaran virus ini.
Beragam intervensi dilakukan pemerintah Australia, antara lain menutup perbatasan, social distancing, dan aturan bekerja serta belajar dari rumah walau ini pun belum diberlakukan secara total.
Beberapa hari ini, para penumpang bus di Brisbane, Queensland, misalnya, sudah tidak bisa lagi masuk melalui pintu depan bus yang berdekatan dengan sopir, namun diarahkan untuk masuk dan keluar lewat pintu belakang. Ini menempatkan sopir bus dalam posisi aman.
Selain itu, posisi duduk antarpenumpang pun sudah berjarak sekitar 1 meter atas kesadaran sendiri dan memang dimungkinkan, mengingat fasilitas layanan transportasi yang memadai.
Transportasi publik di Australia. Foto: Shutterstock
Sejak beberapa waktu lalu, penerapan aturan “social distancing” di Australia mulai terlihat di berbagai restoran atau tempat makan yang hanya boleh take away.
Di setiap tempat antrean seperti toko makanan atau post office, juga sudah ditentukan jarak aman antarpembeli, jarak aman antrian, dan memperkecil peluang terjadinya kontak langsung.
Australia juga mengetatkan beragam aturan untuk mengendalikan penyebaran COVID-19 sekaligus memberi sanksi terhadap pelanggarnya. Salah satu contoh terkait social distancing, di negara bagian New South Wales, pelanggar aturan jaga jarak ini akan didenda $ 1.000 atau sekitar Rp 10 juta atau penjara hingga 6 bulan.
Sementara pelanggar karantina rumah (yang harus diam di rumah 14 hari karena baru datang dari luar negeri atau berkontak dengan orang yang positif COVID-19) dapat dikenakan hukuman denda lebih berat lagi, setara hampir Rp 500 juta.
Penyelenggara pertemuan yang melibatkan banyak orang akan dikenakan denda hingga Rp 500 juta dengan tambahan Rp 250 juta per hari acara. Masih banyak aturan lainnya dan sebagaimana kita tahu, hukum di negara maju diterapkan tegas dan mengikat untuk semua tanpa kecuali (law enforcement).
Hal ini yang menyebabkan penduduknya relatif sangat patuh dan mengikuti anjuran pemerintah.
Staf medis Indonesiamengikuti massive rapid test COVID-19 di Bekasi. Foto: AFP/REZAS
Bagaimana perkembangan kasus COVID-19 di Indonesia?
Hasil analisa epidemiologi, terutama analisa situasi pandemi COVID-19, ada beberapa poin yang harus diwaspadai, yaitu:
Ro atau angka reproduksi COVID-19 saat ini masih di kisaran 2 sampai 3. Yang artinya secara teori, satu orang penderita COVID-19 berpotensi menularkan virus pada 2 atau 3 orang lainnya. Dan ini berlanjut terus sesuai pola eksponensial.
Hal ini hanya dapat dicegah dengan penerapan sangat ketat jarak fisik (1 sampai 2 meter), kebiasaan cuci tangan, tidak menyentuh wajah saat tangan kotor, dan yang sangat penting adalah tes terhadap orang yang diduga memiliki riwayat kontak dengan pasien COVID dan/atau riwayat bepergian dari luar negeri dan sekarang termasuk riwayat bepergian dari daerah terdampak.
Pencegahannya tidak berhenti di situ saja. Setelah dilakukan tes dan ditemukan kasus positif, maka perlu ditindaklanjuti sesuai kondisi pasien. Pilihannya isolasi atau karantina mandiri. Lagi-lagi ini juga sangat penting, demi untuk mencegah penularan baru.
Kenapa disebut baru? Karena dapat dipastikan bahwa sebelum yang bersangkutan diketahui positif, pasien sudah bertemu dan kontak dengan banyak orang. Ini yang harus ditindaklanjuti dengan contact tracing atau pelacakan kasus. Idealnya, seorang ahli epidemiologi lapangan (Field Epidemiology Training Program/FETP) akan memimpin pelacakan ini.
Merujuk pada studi di Malaysia dan Singapura, ditemukan rata-rata kontak yang harus dilacak dari satu pasien COVID-19 berjumlah 36 orang. Itu baru satu pasien saja. Lanjutannya lagi adalah dari setiap kontak tadi akan diperiksa, dan jika ternyata ditemukan ada yang positif terkonfirmasi COVID-19, maka harus dilakukan pelacakan kontak lagi.
Semua proses ini harus dilakukan secara konsisten dan tetap tercatat, yang nantinya berguna untuk melakukan evaluasi atau bahkan melanjutkan pelacakan lagi jika diperlukan.
Kewaspadaan lainnya dalam melihat CFR (Case Fatality Rate/Tingkat Fatalitas Kasus) COVID-19 Indonesia adalah bertambahnya angka kematian. Salah satu yang sangat jelas mendasarinya adalah kurangnya jumlah cakupan test yang dilakukan.
Indonesia, hingga 25 Maret 2020, telah melakukan 3.415 tes dengan hasil 2.625 negatif dan 790 positif. Sementara sampai tanggal 20 Maret, Australia telah melakukan tes sebanyak 85.000 tes dengan hasil 99.5% persen negatif.
Tes dilakukan di fasilitas kesehatan dan ratusan klinik. Saat ini tes terus dilakukan dan difokuskan pada kasus dengan prioritas tertinggi.
Merujuk pada keberhasilan Korea Selatan dalam mengendalikan COVID-19 melalui upaya testing yang masif disertai isolasi, hingga 13 Maret saja, Korea Selatan telah melakukan tes sebanyak 230.000 dan menemukan 700 kasus terkonfirmasi COVID-19 dengan 55 kematian.
Langkah yang dilakukan Korsel didukung oleh tersedianya peralatan laboratorium serta teknisi yang menganalisa sampel, serta teknologi informasi yang menunjang.
Semua itu dijalankan secara gratis karena Pemerintah Korsel sudah menanggung semua biaya pemeriksaan dan pengobatan. Dalam proses ini, sektor swasta dan pemerintah telah bekerja sama secara efektif.
Ranjang pasien di salah satu ruang isolasi di RS Jiwa Menur, Surabaya. Foto: ANTARA/Moch Asim
Satu hal lagi yang perlu diwaspadai dan ditindaklanjuti serius, yaitu beragam analisa ahli epidemiologi di dunia terkait COVID-19 Indonesia.
Adanya estimasi atau proyeksi jumlah kasus di Indonesia dapat dijadikan pedoman dalam menyusun strategi. Sebagai contoh, angka estimasi yang saya buat sesungguhnya berdasar asumsi kuatnya intervensi yang dilakukan dan mapannya sistem layanan kesehatan.
Formula estimasi disusun sebelum adanya kasus di Indonesia dan merujuk pada pola epidemi di Iran, Italia, dan Korea. Artinya lagi, angka sebenarnya jauh lebih tinggi dari angka estimasi yang saya susun.
Peneliti lain dari Centre for Mathematical Modelling of Infectious Diseases (CMMID) di London telah memprediksi angka positif COVID-19 sebenarnya saat ini sekitar 10.000-70.000 kasus.
Simpulannya, Indonesia memerlukan ekstensifikasi tes akurat secara cermat dan tepat, yang merujuk pada pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan bukan hanya menambah jumlah tes saja. Selain itu, tes juga harus ditindaklanjuti dengan isolasi, karantina, dan penguatan upaya pencegahan.
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di arena akuarium Sea World, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Sabtu (14/3). Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten