Sekuritisasi Pandemi Covid-19 sebagai Justifikasi Aksi Violent Extremism

Dewi Puspitasari
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
15 Juni 2022 14:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dewi Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stop violent extremism (Foto: smartboy10/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Stop violent extremism (Foto: smartboy10/Getty Images)

Violent extremism sebagai salah satu ancaman serius dalam keamanan internasional. Kondisi pandemi tidak menjadi hambatan bagi kelompok ekstremis untuk menjalankan aksinya. Mereka justru dengan mudah melakukan adaptasi dan menyesuaikan strategi dengan memanfaatkan kondisi pandemi.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena violent extremism menjadi salah satu ancaman serius dalam keamanan internasional dalam beberapa tahun terakhir. Violent extremism merupakan upaya mengadvokasi, mempersiapkan, mendukung kekerasan dengan menggunakan ideologi atau kepercayaan untuk menjustifikasi kekerasan guna mencapai tujuan tertentu (USAID, 2013). Ini juga termasuk mempromosikan suatu pandangan yang dapat memicu dan menghasut kekerasan dengan menggunakan keyakinan tertentu, serta menumbuhkan kebencian yang bisa mengarah pada kekerasan antarkomunitas (OECD, 2016).
ADVERTISEMENT
Sejak kemunculan Covid-19, ancaman violent extremism tetap ada bahkan diperparah akibat krisis pandemi (Rosand, dkk., 2020). Kondisi pandemi tidak menjadi hambatan bagi kelompok ekstremis untuk menjalankan aksinya. Mereka justru dengan mudah melakukan adaptasi dan menyesuaikan strategi dengan memanfaatkan kondisi pandemi. Aktivitas violent extremism selama pandemi cukup bervariasi dari kelompok Jihadis yang menggambarkan virus sebagai hukuman terhadap orang-orang kafir hingga kelompok ekstrimis sayap kanan yang menyalahkan kelompok dengan identitas tertentu sebagai sumber penyebaran infeksi virus (Marone, 2022).
Sekuritisasi sebagai Agenda Ekstremisme
Dalam hal ini, sekuritisasi menjadi konsep yang sesuai untuk memahami fenomena ekstremisme Aktor ekstremis melancarkan agenda radikalisasi melalui sekuritisasi terhadap isu keamanan. Menurut Buzan, Wæver, dan de Wilde (1998), suatu isu dapat menjadi masalah keamanan ketika aktor menerimanya sebagai masalah keamanan. Hal ini yang dapat dicapai melalui proses sekuritisasi. Sekuritisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan suatu keadaan atau permasalahan sebagai isu keamanan. Sekuritisasi dapat dilakukan melalui speech act di mana aktor dapat membingkai suatu kondisi menjadi wacana atas ancaman eksistensial sehingga dibolehkan untuk mengambil tindakan luar biasa (Buzan, Wæver, dan de Wilde, 1998). Interpretasi atas isu keamanan dipengaruhi oleh makna yang diberikan oleh individu atau kelompok sehingga makna keamanan dan ancaman dapat dimanipulasi oleh aktor yang memiliki kepentingan. Dengan begitu, agenda sekuritisasi dapat dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk membentuk apa yang dimaksud sebagai ancaman guna mencapai tujuannya.
ADVERTISEMENT
Pembahasan
Berangkat dari hal tersebut, penulis berargumen bahwa keberadaan media sosial telah memfasilitasi kelompok ekstremis untuk tetap melancarkan agendanya selama pandemi. Dalam hal ini, kebijakan lockdown dan berbagai upaya penekanan penyebaran virus menyebabkan masyarakat menghabiskan lebih banyak waktu di rumah sehingga akses informasi sebagian besar bertumpu pada media sosial. Berdasarkan data dari International Telecommunication Union (ITU), pengguna internet mengalami peningkatan sebesar delapan ratus juta dari tahun 2019 hingga 2021 (UN, 2021).
Fenomena tersebut berimplikasi pada semakin pesatnya arus informasi di internet, termasuk juga yang bersifat misinformasi dan disinformasi. Aktor violent extremism menggunakan media massa dan aplikasi perpesanan untuk mengirimkan pesan tulisan ataupun meme yang berisikan retorika yang dapat menghasut kebencian, termasuk teori konspirasi yang dikaitkan dengan pemerintah atau kelompok etnis tertentu. Masifnya penggunaan internet dan media sosial membuat masyarakat semakin rentan terpapar informasi palsu dan narasi propaganda yang disebarkan oleh kelompok ekstremis.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal tersebut, peningkatan penggunaan media sosial yang disertai dengan pesatnya arus penyebaran informasi membantu aktor ekstremis untuk melakukan agenda sekuritisasi. Kelompok ekstremis melakukan sekuritisasi dengan mengeksploitasi kebijakan penanganan pandemi Covid-19 untuk mendiskreditkan kinerja pemerintah. Salah satu kasus dapat dilihat di Filipina pada tahun 2020. Kebijakan pemerintah dalam menutup tempat ibadah masjid guna menekan penyebaran virus digunakan oleh pemimpin organisasi ekstremis Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) untuk menyerukan seruan serangan (Leo, 2020). Hal ini disebabkan oleh penginterpretasian kebijakan tersebut sebagai upaya “menghancurkan Islam” dengan melarang jamaah di Masjid (Leo, 2020).
Propaganda ini dilakukan dengan membingkai kebijakan pemerintah sebagai suatu ‘ancaman’ dan ‘ketidakamanan’ terhadap kelompok Muslim. Selain itu, aktor ekstremis juga memanfaatkan krisis sosial dan ekonomi akibat pandemi yang dilihat sebagai bentuk kegagalan pemerintah. Hal ini dapat berdampak kepada melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah sebagai institusi yang dapat memberikan perlindungan. Tidak hanya itu, rasa frustasi dan ketakutan yang ditimbulkan dari narasi yang disampaikan oleh kelompok ekstremis selanjutnya membuat individu lebih rentan terpapar agenda radikalisasi.
ADVERTISEMENT
Propaganda atas adanya ancaman eksistensial lainnya dapat dilihat pada pesan pro-ISIL Al-Qitaal Media Center melalui majalah Sawt al-Hind yang menyatakan bahwa virus merupakan hukuman Tuhan bagi orang-orang yang tidak beriman (UNICRI, 2020). Narasi ini digunakan membentuk gagasan bahwa virus bukan bagian dari isu kesehatan, tetapi sebagai bagian dari masalah ilahi (UNICRI, 2020). Propaganda ini membangkitkan rasa ketidakamanan atas kehadiran masyarakat kafir yang menjadi sumber merebaknya wabah. Pesan tersebut telah menghasut ujaran kebencian dan serangan terhadap umat Hindu yang dilihat sebagai orang tak beriman (UNICRI, 2020).
Tidak berhenti di sana, wacana ketidakamanan juga dimanfaatkan untuk merekrut simpatisan baru untuk melakukan violent extremism. Aktor ekstremis tidak hanya menyebarkan narasi secara manual, mereka telah memanfaatkan fitur ‘bot’ yaitu akun media sosial yang menyebarkan pesan secara otomatis secara masif dengan teknik penyebaran yang canggih melalui peniruan identitas dan amplifikasi postingan organik (Cox, dkk., 2021). Dengan demikian, agenda sekuritisasi yang disebarkan melalui media sosial telah menambah kompleksitas fenomena violent extremism di masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Sebagai implikasinya, konstruksi atas adanya ancaman eksistensial menjadi alat gerakan radikal dengan menggunakan narasi virus dalam menjustifikasi serangan. Wacana tentang ketidakamanan yang disebarkan melalui platform daring telah membentuk gagasan ancaman eksistensial akibat kehadiran kelompok tertentu. Berdasarkan laporan dari Commision for Countering Extremism (2020), aktor ekstremis mempromosikan rasa permusuhan dan keyakinan supremasi dengan menganggap orang lain (out group) sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup, kesejahteraan, hingga keberhasilan kelompok (in group) terutama ketika krisis terjadi.
Misalnya, Al-Shabaab mengklaim bahwa penyakit coronavirus dibawa oleh pasukan tentara salib yang telah menyerang negara mereka dan negara-negara kafir yang mendukung mereka (UNICRI, 2020). Narasi pengkambinghitaman terhadap kelompok lain juga terjadi ketika virus tersebar pada wilayah yang ditinggali oleh kelompok mayoritas Muslim di mana mereka membangun teori konspirasi untuk menyalahkan Barat ataupun Yahudi (Cox, dkk., 2021). Dengan begitu, narasi keamanan berbasis identitas dan kepercayaan kemudian digunakan sebagai legitimasi untuk melakukan aksi kekerasan sebagai tindakan luar biasa, salah satunya dengan menyebarkan virus secara sengaja sebagai senjata biologis untuk bisa bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, kelompok ekstremis CoronaWaffen secara eksplisit meminta pengikut mereka untuk menyebarkan virus dengan batuk ketika menghadiri tempat-tempat tertentu di mana agama atau ras minoritas berkumpul (UNICRI, 2020). Untuk memantau aksi kekerasan mereka, CoronaWaffen kemudian memposting beberapa survei online di media sosial dan aplikasi perpesanan yang menanyakan kepada orang-orang apakah mereka telah menyebarkan virus (UNICRI, 2020).
Aksi lainnya diidentifikasikan oleh Global Fatwa Index di mana kelompok yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) dan Al-Qaeda menyerukan anggota mereka yang terjangkit Covid-19 untuk bertindak sebagai “bom biologis” yang dengan sengaja menyebarkan penyakit terhadap musuh-musuh organisasi (UNICRI, 2020). Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa aktor ekstremis telah menciptakan narasi ‘ketidakamanan’ untuk melegitimasi tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan alasan perlindungan diri dari ancaman eksistensial.
ADVERTISEMENT
Counter Violent Extremism di masa pandemi
Agenda sekuritisasi yang dilakukan dengan memanfaatkan ketakutan publik dan ketidakpastian selama pandemi telah memberikan beberapa implikasi negatif. Terdapat tiga dampak utama yang ditimbulkan dari aktivitas violent extremism, diantaranya terjadi polarisasi dalam masyarakat, meningkatkan rasa xenophobia dan kebencian antarkelompok, serta terdapat potensi terjadinya serangan terhadap kelompok tertentu, seperti kelompok minoritas.
Di sisi lain, implementasi dari gerakan violent extremism selama pandemi akan kontraproduktif terhadap kebijakan global dan nasional yang berupaya untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Untuk itu, diperlukan agenda Counter Violent Extremism (CVE) yang disesuaikan dengan kompleksitas permasalahan selama pandemi. Adapun rekomendasi yang penulis tujukan terhadap pemerintah dalam tingkat nasional, yaitu memperkuat kapasitas komunikasi oleh pemerintah terhadap publik untuk mengklarifikasi wacana-wacana konspirasi, memaksimalkan teknologi untuk menekan penyebaran informasi palsu, memberikan pelatihan capacity building terhadap masyarakat, serta penegakan aturan legal terhadap aktor yang melakukan propaganda.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemerintah perlu memperkuat komunikasi terhadap publik untuk meng-counter narasi-narasi konspiratif yang berusaha merusak kepercayaan masyarakat dan menghasut kelompok yang rentan. Mengingat pandemi merupakan faktor penting yang digunakan oleh aktor ekstremis, upaya counter narrative konten-konten radikal perlu dibarengi dengan usaha nyata pemerintah dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan guna menekan penyebaran Covid-19 dan penanganan krisis sosial-ekonomi yang ditimbulkan. Kerentanan seseorang untuk terhasut propaganda tidak terlepas dari kondisi mereka yang rentan dari krisis akibat pandemi. Oleh karena itu, counter-narrative beserta kebijakan struktural diharapkan dapat meminimalkan kesempatan aktor ekstremis dalam memanfaatkan situasi pandemi.
Kedua, pemerintah perlu memanfaatkan teknologi digital, seperti artificial intelligence untuk memetakan, mendeteksi, dan mengeliminasi konten-konten yang mengandung wacana propaganda dan pesan kebencian. Ini dipengaruhi oleh platform digital yang memiliki peran penting dalam penyebaran gagasan extremis. Strategi ini juga dapat dilakukan dengan berkolaborasi bersama perusahaan media sosial untuk menekan penyebaran konten-konten radikal beserta informasi palsu, serta bekerja sama dengan organisasi media untuk menghindari penggunaan judul atau kalimat dengan ‘clickbait’ provokatif yang bisa membangkitkan kebencian masyarakat (Cox, dkk., 2021).
ADVERTISEMENT
Ketiga, penguatan kapasitas masyarakat. Teknologi semata tidak cukup dalam menyelesaikan persoalan apabila tidak ada kesadaran langsung oleh para penggunanya. Pemerintah dapat bekerjasama dengan aktor atau komunitas lokal dalam melakukan kampanye dan melakukan pelatihan capacity building terhadap masyarakat. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang fakta-fakta asal usul Covid-19 hingga literasi digital penggunaan media sosial untuk melawan penyebaran gagasan violent extremism. Dengan begitu, pengguna media dapat secara mandiri mendeteksi, mengantisipasi, dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang mengandung propaganda bahkan turut serta melakukan counter-narrative.
Keempat, pemerintah perlu menyusun dan menegakkan aturan legal guna menindak aktor yang menyebarkan propaganda violent extremism sehingga proses radikalisasi dapat dilimitasi. Namun, kriteria atas penanganan aktor yang membuat wacana radikal perlu disusun secara berhati-hati agar tidak salah sasaran. Apabila hal ini terjadi, kebencian dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah justru dapat meningkat. Selanjutnya, kondisi ini semakin membuat individu rentan terpapar propaganda untuk melakukan aksi kekerasan. Dengan begitu, kebijakan pemerintah yang terlalu represif akan berpotensi memicu bibit pemikiran radikal.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, isu keamanan telah disalahgunakan oleh kelompok ekstremis untuk membentuk narasi ketidakamanan yang mendorong individu atau kelompok untuk melakukan aksi kekerasan. Kemudian, pandemi Covid-19 telah menambah kompleksitas permasalahan dalam penanganan violent extremism.
Untuk melawan penyebarluasan violent extremism, terdapat empat langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah, diantaranya memperkuat kapasitas komunikasi oleh pemerintah terhadap publik untuk meng-counter wacana-wacana radikal, memaksimalkan penggunaan teknologi untuk melimitasi penyebaran informasi yang mengandung propaganda, menyediakan pelatihan capacity building, serta menegakkan aturan legal berbasis hukum untuk menindak aktor yang terlibat dalam penyebaran violent extremism.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi pandemi memang menjadi tantangan pemerintah untuk melakukan agenda CVE. Terlebih, fokus perhatian pemerintah telah terpecah untuk menekan penyebaran Covid-19 dan menangani krisis sosial-ekonomi yang ditimbulkan. Namun, kebijakan counter-extremism patut tetap mendapatkan perhatian karena apabila dibiarkan, aksi violent extremism akan menjadi bumerang terhadap upaya penanganan krisis di masa pandemi maupun sesudahnya.
ADVERTISEMENT
Referensi
Buzan, B., Wæver, O., de Wilde, J. (1998). Security: A new Framework for Analysis. Lynne Rienner Publishers, Inc.
Commission for Countering Extremism. (2020). COVID 19: How hateful extremists are exploiting the pandemic. Diakses pada 6 Juni 2022, dari https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/906724/CCE_Briefing_Note_001.pdf.
Cox, K., Ogden, T., Jordan V., dan Paille, P. COVID-19, Disinformation and Hateful Extremism. RAND Europe. Diakses pada 6 Juni 2022, dari https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/993842/RAND_Europe_Final_Report_Hateful_Extremism_During_COVID-19_Final.pdf.
Marone, F. (2022). Hate in the time of coronavirus: exploring the impact of the COVID-19 pandemic on violent extremism and terrorism in the West. Secur J 35, 205–225. https://doi.org/10.1057/s41284-020-00274-y.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Development Assistance Committee (2016). DAC High Level Meeting, Communiqué of 19 February 2016.
ADVERTISEMENT
Rosand, E., Koser, K., dan Schumicky-Logan, L. Preventing Violent Extremism During and After the COVID-19 Pandemic. Brookings.edu. Diakses pada 5 Juni 2022 dari https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2020/04/28/preventing-violent-extremism-during-and-after-the-covid-19-pandemic/.
UN. (2021). As Internet user numbers swell due to pandemic, UN Forum discusses measures to improve safety of cyberspace. Diakses pada 7 Juni 2022, dari https://www.un.org/sustainabledevelopment/blog/2021/12/as-internet-user-numbers-swell-due-to-pandemic-un-forum-discusses-measures-to-improve-safety-of-cyberspace/
USAID. (2013). Violent Extremism And Insurgency In The Philippines: A Risk Assessment. Diakses pada 12 Mei 2022, dari https://www.msiworldwide.com/sites/default/files/additional-resources/2018-12/Violent%20Extremism%20and%20Insurgency%20-%20Philippines.pdf.
Yeo, K. (2020, Mei 1). Are Philippine Militants Looking to Take Advantage of COVID-19? The Diplomat. Diakses pada 12 Mei 2022,dari https://thediplomat.com/2020/05/are-philippine-militants-looking-to-take-advantage-of-covid-19/.