Apakah untuk Sukses dan Kaya Perlu Menjadi Orang Jahat?

Nanda Pratama
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jambi
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2023 10:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanda Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kaya raya. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kaya raya. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apakah untuk mencapai kesuksesan dan kekayaan yang besar, seseorang perlu mengadopsi sikap jahat? Pertanyaan ini telah menjadi perbincangan hangat dalam berbagai konteks, baik dalam dunia bisnis, sosial, maupun personal.
ADVERTISEMENT
Seringkali, ide bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan cara-cara tidak bermoral atau merugikan orang lain menjadi pandangan yang beredar luas. Namun, apakah benar-benar demikian?
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam persaingan bisnis yang ketat, seringkali strategi dan tindakan tertentu digunakan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif. Namun, pandangan bahwa keberhasilan hanya dapat dicapai dengan sedikit tipuan dan intimidasi perlu dilihat secara kritis.
Dalam bukunya yang berjudul "The No Asshole Rule," Robert Sutton mengangkat isu yang kontroversial ini. Ia menyajikan bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa sikap jahat dan perilaku brutal dapat memberi seseorang kekuasaan atas orang lain. Namun, apakah hal ini adalah aturan mutlak yang harus diikuti? Tentu tidak walaupun banyak yang mengikutinya.
Ilustrasi Korupsi Foto: Thinkstock
Melihat data yang lebih luas, terdapat fakta-fakta yang menggambarkan dampak negatif dari sikap jahat atau tidak bermoral dalam konteks sosial dan lingkungan. Data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2022 mencerminkan bahwa korupsi masih menjadi masalah serius di negara ini, dengan peringkat yang tidak menggembirakan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penurunan luas tutupan hutan Indonesia selama periode 2017-2021 menunjukkan hutan Indonesia sudah berkurang 956.258 hektare (ha) menunjukkan konsekuensi destruktif dari tindakan tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah melaporkan adanya lonjakan kasus kejahatan di Indonesia selama periode Januari-April 2023. Jumlah kasus mencapai 137.419, mengalami peningkatan signifikan sebesar 30,7% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yang mencatat 105.133 kasus. Dari berbagai jenis kasus yang dilaporkan, kasus penipuan menjadi salah satu perhatian utama dengan mencapai 6.425 kasus.
Besarnya kasus penipuan, korupsi dan masalah lainnya menunjukan banyak yang potong kompas dan mencari jalan pintas agar sampai pada kesuksesan dan kekayaan walaupun dengan menempuh jalan terjal penuh duri dan rintangan.
Ilustrasi kaya raya karena bitcoin. Foto: Shutter Stock
Adapun dalam zona makro salah satunya yaitu para oligarki yang mengeksploitasi lahan-lahan guna membangun serta meningkatkan kekayaannya tanpa mempedulikan dampak sosial kemanusiaannya.
ADVERTISEMENT
Pandangan bahwa seseorang yang memiliki ide besar seringkali tidak memedulikan perasaan atau situasi orang lain bukanlah generalisasi yang dapat diandalkan.
Memang dalam realitasnya, juga banyak orang-orang yang berhasil sering kali memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai situasi. Pandangan sederhana ini dapat merugikan, seperti yang mengabaikan kompleksitas dan keragaman individu serta perilaku.
Pertanyaan apakah untuk sukses dan kaya kita perlu menjadi orang jahat tidak dapat dijawab dengan simpel. Kesuksesan yang berkelanjutan melibatkan kombinasi berbagai faktor, termasuk etika, kerja keras, inovasi, kepemimpinan yang baik, dan kepekaan terhadap lingkungan dan orang lain.
Pandangan bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai dengan sikap jahat perlu ditinjau ulang, dan penting bagi kita untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tindakan kita terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
ADVERTISEMENT