Alun-Alun Kidul: Potongan Kecil Keindahan Kota Jogja

Desti Novianti
Mahasiswa S1 Sastra Arab Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
8 Desember 2022 10:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Desti Novianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Alun-Alun Kidul saat Malam Hari - Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Alun-Alun Kidul saat Malam Hari - Sumber: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertama kali menginjakkan kaki di Jogja, saya terkagum dengan suasana jalanan yang ramai tapi tertib. Lampu lalu lintas yang terhitung berapa banyak saya lalui itu tidak lantas membuat para pengendara saling beradu klakson atau saling mendahului ketika lampu hijau menyala, mempersilakan mereka melintas maju. Sepengalaman saya, sangat mungkin dalam satu hari di kota ini untuk mengunjungi berbagai destinasi wisata karena tidak akan berlama-lama di jalan, berbeda dengan jalanan Bandung atau Jabodetabek yang bising dan tentu membuat terasa lebih lelah di perjalanan.
ADVERTISEMENT
Sebagai perantau yang akan menjalani kehidupan beberapa tahun di Jogja, akan sangat disayangkan jika saya tidak mendatangi tempat-tempat terkenal yang menjadi daya tarik kota pelajar ini. Sebutlah itu Malioboro, Candi Prambanan, Keraton, Taman Sari, Pantai Parangtritis, dan masih banyak lagi. Salah satu teman yang sudah lebih dulu datang ke sini, menceritakan pengalamannya berkeliling di Jogja dan mengajak saya menuju satu tempat yang saat itu masih terdengar asing namanya, Alun-Alun Kidul.
Berangkatlah kami pada sore menjelang Magrib, dengan maksud menikmati keindahan Alkid malam harinya. Kami pergi bertepatan dengan malam Minggu, ketika pasangan muda-mudi memenuhi kawasan yang bentuknya sempurna seperti persegi yang dikelilingi oleh para penjaja makanan itu. Perjalanan dari tempat tinggal (baca: kos) saya tidak begitu jauh, sekitar 20 menit saja dengan sepeda motor jika jalanan tidak macet—karena polisi Jogja yang katanya menyusahkan—akibat beberapa jalan yang kerap ditutup pada akhir pekan.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di sana, kami disuguhi pemandangan lampu warna-warni yang didominasi oleh gerobak penjual makanan yang berderet di sepanjang sisi. Makanan yang dijual pun beragam mulai dari makanan ringan hingga berat, cukup bisa memanjakan lidah para pemburu jajanan. Yang paling menarik saya dapati pertama kali adalah tempura, aneka olahan aci alias tepung tapioka, sosis, bakso yang dihargai seribu rupiah saja per buah dan dicocol dengan saos. Namun, yang disebut tempura ternyata bukanlah seperti makanan khas Jepang yang biasanya terdapat di restoran, melainkan makanan beku ala-ala mirip otak-otak dengan beragam bentuk.
Yang dijual di sini rupanya bukan hanya jajanan khas lokal dari Jogja, kita akan menemukan jajanan khas Sunda seperti cilok, tahu gejrot, dan seblak. Alkid juga menjadi surga bagi pecinta makanan korea. Jangan lupakan angkringan (baca: gerobak dorong) yang menjadi ciri khas Jogja, sudah pasti berjajar dikerumuni mereka yang berkunjung untuk ngobrol dengan beralaskan tikar. Makanan atau minuman yang dijajakan hampir sama namun tidak pernah ada satu pedagang pun yang sepi pembeli, karena memang yang namanya rezeki sudah ada jatahnya masing-masing. Dari Alkid ini kita akan dibawa pada nostalgia masa-masa SD karena jajanannya yang murah meriah namun bisa mengganjal perut.
ADVERTISEMENT
Posisi utara Alkid ini menjadi lokasi parkiran, yang dikenai tarif sebesar tiga ribu rupiah untuk motor dan lima ribu rupiah untuk mobil. Di sisi barat dan selatan terdapat tempat duduk yang berjajar dekat gerobak makanan. Namun, pengunjung kebanyakan bercengkerama di lapangan luas berumput yang di tengah-tengahnya menjulang tinggi dua pohon beringin kembar dibatasi pagar. Terlepas dari mitos pohon beringin yang tersebar di masyarakat, wilayah di antara kedua pohon selalu tampak kosong dari keramaian orang-orang. Wilayah yang bertanah di antara rerumputan itu hanya dilewati saja.
Untuk memenuhi rasa penasaran pada seisi Alkid ini, saya meminta teman untuk menemani berkeliling ke setiap sudut. Namun, mengitari area yang cukup luas menampung ratusan orang itu ternyata cukup melelahkan. Mungkin karena alasan itulah adanya odong-odong dengan tampilan menarik dan cantik dihiasi kerlap-kerlip lampu disediakan untuk mengelilingi Alun-Alun. Jadi, para pencari nafkah disini tidak hanya pedagang makanan, namun juga pemilik odong-odong. Tidak berhenti di situ, penjual mainan seperti gelembung, layang-layang, baling-baling, bahkan tukang lukis juga turut menawarkan dagangannya ke tengah pengunjung yang duduk asyik menikmati malam, membuat suasana Alkid semakin semarak.
ADVERTISEMENT
Alun-Alun Kidul cocok menjadi tempat singgah dari hiruk pikuk kesibukan di tengah kota. Ketenangan di tengah keramaian bisa dirasakan dengan duduk santai sambil menyantap makanan, melepas penat sembari menyaksikan langit malam, sekaligus dapat menikmati potongan keindahan kota Jogja yang satu ini.
Namun, setelah beberapa kali kembali ke sana, saya merasakan satu hal yang cukup mengganggu, yaitu kehadiran para pengemis dan pengamen jalanan—walaupun yang saya soroti adalah pengamen—yang kerap menghampiri untuk meminta bayaran atas suara yang bagi saya jauh di bawah standar. Saya pun heran mengapa sejauh ini belum menemukan pengamen dengan suara merdu seperti yang diunggah oleh beberapa warganet Jogja di media sosial, setidaknya se-level dengan suara pengamen yang berani tampil di perempatan jalan raya.
ADVERTISEMENT