Konten dari Pengguna

Hukum Pemiskinan dan Paradoks Keadilan Sosial

Defrida Suzana
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan
10 April 2025 9:28 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Defrida Suzana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Ilustrasi Dewi Keadilan. Foto : Defrida)
zoom-in-whitePerbesar
(Ilustrasi Dewi Keadilan. Foto : Defrida)
ADVERTISEMENT
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang pentingnya pemiskinan koruptor dengan tetap memperhatikan keadilan bagi keluarganya memang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa pendekatan negosiasi dan pengembalian aset curian bisa menjadi pengganti hukuman tegas yang sesungguhnya diperlukan untuk memberantas korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Korupsi di Indonesia memang telah melampaui tindakan individual dan berkembang menjadi sistem yang mengakar dalam budaya dan struktur institusional kita. Fenomena ini menjadikan korupsi begitu sulit diberantas karena telah menyatu dengan cara kerja dan hubungan sosial di berbagai level pemerintahan dan masyarakat.
Budaya masyarakat Indonesia cenderung lebih responsif terhadap hukuman daripada penghargaan dalam hal kepatuhan hukum. Hal ini bukan semata-mata karakteristik budaya, tetapi juga hasil dari pengalaman kolektif masyarakat yang telah menyaksikan bagaimana ketidaktegasan penegakan hukum memungkinkan perilaku koruptif terus berlanjut.
Kriminolog Satjipto Rahardjo (2009) pernah menyampaikan bahwa efektivitas hukum di Indonesia sangat bergantung pada "shock therapy" berupa hukuman yang nyata dan terlihat, bukan sekadar negosiasi di balik layar. Menurutnya, masyarakat Indonesia membutuhkan bukti konkret bahwa sistem hukum berfungsi dan mampu menindak koruptor tanpa pandang bulu.
ADVERTISEMENT
Namun perlu diingat bahwa konsekuensi dari tindakan korupsi seharusnya dibebankan sepenuhnya kepada pelaku, bukan keluarganya yang tidak terlibat. Ini menciptakan dilema etis dan legal yang perlu diselesaikan dengan bijaksana. Bagaimana kita memastikan hukuman yang tegas bagi koruptor tanpa melanggar hak-hak dasar keluarganya?
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2023) menunjukkan bahwa hampir 60% kasus korupsi di Indonesia melibatkan jaringan sistemik yang melibatkan beberapa pihak dengan peran berbeda. Ini menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi persoalan moral individual, melainkan masalah struktural yang membutuhkan pendekatan komprehensif.
Studi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW, 2023) menunjukkan bahwa hukuman ringan dan kemungkinan negosiasi justru menciptakan kalkulasi risiko yang mendorong perilaku koruptif. Ketika seorang calon koruptor mengetahui bahwa dengan mengembalikan sebagian hasil korupsi mereka bisa mendapatkan keringanan hukuman, maka korupsi menjadi "investasi" berisiko rendah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, ahli hukum pidana Eddy O.S. Hiariej (2022) berpendapat bahwa pemiskinan koruptor harus menjadi bagian integral dari strategi pemidanaan, bukan alternatif yang bisa dinegosiasikan. Menurut beliau, pengembalian aset hasil korupsi seharusnya menjadi tambahan, bukan pengganti hukuman penjara yang substansial.
Memang benar bahwa anak dan keluarga tidak seharusnya menanggung dosa orang tuanya. Namun, kita juga perlu membedakan antara aset yang diperoleh secara sah dan hasil korupsi. Aset yang diperoleh sebelum masa jabatan dan melalui cara yang sah tentu perlu dilindungi, tetapi segala bentuk kekayaan yang terbukti berasal dari tindak pidana korupsi seharusnya disita tanpa kompromi.
Perlu diingat bahwa korupsi bukanlah kejahatan tanpa korban. Setiap rupiah yang dikorupsi adalah rupiah yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Ketika kita berbicara tentang keadilan bagi keluarga koruptor, kita juga perlu mempertimbangkan keadilan bagi jutaan anak Indonesia yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak akibat korupsi.
ADVERTISEMENT
Pendekatan yang lebih komprehensif mungkin melibatkan klasifikasi aset yang lebih jelas, di mana aset pribadi yang diperoleh secara sah sebelum masa jabatan dapat dipisahkan dari aset yang diperoleh selama masa jabatan yang patut dicurigai. Ini memungkinkan sistem hukum untuk memiskinkan koruptor tanpa menghukum keluarga mereka secara tidak adil.
Profesor kriminologi Romli Atmasasmita (2020) mengemukakan bahwa efektivitas pemiskinan koruptor bukan hanya terletak pada penyitaan aset, tetapi juga pada pencegahan koruptor untuk menikmati hasil kejahatannya. Ini berarti selain penyitaan, kita juga perlu sistem yang mencegah koruptor mengalihkan aset mereka kepada keluarga atau pihak ketiga.
Memang, budaya sosial Indonesia yang menjunjung tinggi silaturahmi dan pemberian hadiah telah menciptakan zona abu-abu yang sering dimanfaatkan oleh para koruptor. Gratifikasi sering disamarkan sebagai hadiah atau tanda terima kasih, dan ini telah menjadi bagian dari normalisasi korupsi dalam budaya birokrasi. Antropolog Irwan Abdullah (2019) dari Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia telah mengembangkan mekanisme sosial yang menciptakan "pembenaran kultural" untuk tindakan korupsi. Misalnya, istilah seperti "uang pelicin", "uang terima kasih", atau "uang rokok" telah melegitimasi praktik korupsi kecil-kecilan yang pada akhirnya berkembang menjadi korupsi besar-besaran. Maka, pendekatan terhadap korupsi harus melibatkan transformasi budaya dan penguatan sistem integritas di semua level. Ini bukan hanya tentang menghukum koruptor, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan di mana korupsi tidak lagi dianggap sebagai hal yang wajar atau tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Kembali pada pernyataan Presiden Prabowo, memang benar bahwa kita harus memastikan keadilan bagi keluarga koruptor, tetapi ini tidak boleh mengorbankan keadilan bagi masyarakat luas yang menjadi korban utama korupsi. Penyitaan aset hasil korupsi adalah langkah yang tepat, namun ini harus dilakukan dalam kerangka hukum yang jelas dan transparan. Pendekatan "negosiasi" yang disarankan Presiden Prabowo memang memiliki preseden di beberapa negara, seperti program whistleblower protection di Amerika Serikat yang menawarkan keringanan hukuman bagi koruptor yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum. Namun, penelitian dari Transparency International (2022) menunjukkan bahwa program semacam ini hanya efektif jika dibarengi dengan ancaman hukuman yang sangat berat bagi mereka yang tidak bekerja sama.
Psikolog sosial Djamaludin Ancok (2018) menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia, pendekatan "carrot and stick" (iming-iming dan cambuk) cenderung kurang efektif dibandingkan dengan pendekatan "high risk, high penalty" (risiko tinggi, hukuman berat). Menurutnya, budaya power distance yang tinggi di Indonesia membuat masyarakat lebih menghormati otoritas yang menunjukkan ketegasan daripada yang menawarkan kompromi. Mekanisme seperti justice collaborator memang memiliki tempatnya dalam sistem peradilan pidana, tetapi ini seharusnya menjadi suplemen, bukan substitusi dari hukuman yang tegas. Koruptor yang bekerja sama dengan penegak hukum mungkin layak mendapatkan keringanan tertentu, tetapi mereka tetap harus menghadapi konsekuensi signifikan atas tindakan mereka.
ADVERTISEMENT
Studi dari University of Chicago oleh Gary Becker (1974) menunjukkan bahwa pencegahan korupsi paling efektif ketika biaya potensial (termasuk hukuman penjara dan kerugian finansial) jauh melebihi manfaat potensial. Jika koruptor tahu bahwa mereka hanya perlu mengembalikan sebagian dari hasil korupsi untuk menghindari hukuman berat, maka insentif untuk korupsi tetap ada. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (2022) menunjukkan bahwa hukuman yang diberikan kepada koruptor seringkali tidak proporsional dengan dampak sosial dari kejahatan mereka. Koruptor yang mencuri miliaran rupiah sering mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan dengan pencuri ayam atau motor. Ini menciptakan persepsi di masyarakat bahwa sistem peradilan melindungi koruptor kelas atas, sementara hukum diberlakukan dengan keras terhadap pelaku kejahatan kecil. Persepsi ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi peradilan dan pada akhirnya mengikis kewibawaan hukum secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Former Chief Justice Earl Warren dari Mahkamah Agung Amerika Serikat pernah mengatakan, "It is the spirit and not the form of law that keeps justice alive" (Warren, 1966). Dalam konteks Indonesia, kita perlu memastikan bahwa semangat keadilan tetap hidup dalam upaya pemberantasan korupsi, dan ini berarti tidak ada kompromi untuk kejahatan yang telah merampas kesejahteraan jutaan orang.
Pendekatan yang lebih komprehensif mungkin melibatkan kombinasi dari beberapa strategi:
Pertama, penyitaan aset hasil korupsi harus dilakukan secara menyeluruh dan sistematis, dengan mekanisme yang jelas untuk membedakan aset sah dari hasil korupsi.
Kedua, hukuman penjara yang substansial harus tetap menjadi bagian integral dari sistem pemidanaan koruptor, tanpa kemungkinan pengurangan signifikan hanya karena pengembalian aset.
ADVERTISEMENT
Ketiga, program pemulihan aset perlu diperkuat, dengan fokus pada penelusuran dan pembekuan aset koruptor di luar negeri.
Keempat, pendidikan publik tentang bahaya korupsi dan normalisasi perilaku koruptif perlu ditingkatkan untuk menciptakan perubahan budaya jangka panjang.
Kelima, perlindungan yang memadai bagi whistleblower perlu diperkuat untuk mendorong pelaporan korupsi dari dalam sistem.
Kebijakan pemiskinan koruptor juga perlu memperhatikan konteks sosial ekonomi Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh ekonom Faisal Basri (2021), korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari "ekonomi bayangan" yang melibatkan aliran uang dalam jumlah besar di luar sistem formal. Ini berarti bahwa pemiskinan koruptor tidak hanya berdampak pada individu dan keluarganya, tetapi juga pada jaringan ekonomi informal yang mungkin bergantung pada aliran uang tersebut. Akan tetapi, dampak sosial ekonomi ini tidak boleh menjadi alasan untuk mengurangi ketegasan dalam memberantas korupsi. Sebaliknya, ini menegaskan pentingnya pendekatan yang komprehensif yang tidak hanya fokus pada hukuman individual, tetapi juga pada reformasi struktural yang mengatasi akar permasalahan korupsi.
ADVERTISEMENT
Pengalaman dari negara-negara yang berhasil mengurangi tingkat korupsi, seperti Singapura dan Hong Kong, menunjukkan bahwa kombinasi dari hukuman yang tegas, reformasi birokrasi, dan transformasi budaya adalah kunci keberhasilan. Quah (2017) mencatat bahwa Singapura, misalnya, dikenal dengan pendekatan "zero tolerance" terhadap korupsi, dengan hukuman berat dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Di sisi lain, Hong Kong berhasil mentransformasi budaya korupsi melalui Independent Commission Against Corruption (ICAC) yang tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada pencegahan dan pendidikan publik (Man-wai, 2006). Kedua model ini menawarkan pelajaran berharga bagi Indonesia.
Kembali pada dilema etis tentang keadilan bagi keluarga koruptor, memang benar bahwa prinsip "dosa orang tua tidak boleh diturunkan kepada anaknya" perlu dihormati. Namun, prinsip ini tidak boleh disalahgunakan untuk melindungi hasil kejahatan. Aset yang diperoleh melalui korupsi bukanlah hak milik yang sah, dan oleh karena itu tidak ada hak yang dilanggar ketika aset tersebut disita.
ADVERTISEMENT
Filsuf hukum John Rawls (1971) dalam teorinya tentang keadilan menekankan pentingnya "veil of ignorance" atau "tabir ketidaktahuan" dalam menentukan prinsip keadilan. Jika kita tidak tahu apakah kita akan menjadi keluarga koruptor atau korban korupsi, prinsip keadilan apa yang akan kita pilih? Hampir pasti, kita akan memilih sistem yang tidak memungkinkan koruptor dan keluarganya untuk menikmati hasil kejahatan, sambil tetap melindungi hak-hak dasar semua individu. Dalam konteks ini, program pemiskinan koruptor yang efektif perlu dilengkapi dengan sistem perlindungan sosial yang memadai untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar semua warga negara, termasuk keluarga koruptor, tetap terpenuhi. Ini bukan tentang memberikan privilese kepada keluarga koruptor, melainkan tentang menjaga prinsip keadilan sosial secara keseluruhan.
Selanjutnya, perlu juga dipertimbangkan bahwa dalam banyak kasus, keluarga koruptor mungkin tidak sepenuhnya tidak bersalah. Istri, anak, atau anggota keluarga lain mungkin telah menikmati gaya hidup mewah dari hasil korupsi dengan pengetahuan penuh tentang sumbernya. Dalam kasus seperti ini, mereka mungkin bisa dianggap sebagai penerima manfaat yang tidak berhak.
ADVERTISEMENT
Hukum pidana korupsi di Indonesia sebenarnya sudah memiliki ketentuan tentang penyitaan aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk aset yang telah dialihkan kepada pihak ketiga (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001). Namun, implementasi ketentuan ini seringkali terhambat oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya koordinasi antar lembaga penegak hukum dan keterbatasan kapasitas dalam penelusuran aset.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (2023) pernah menyatakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia sering terhambat oleh apa yang ia sebut sebagai "mafia peradilan". Menurutnya, tanpa reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan, upaya pemiskinan koruptor akan tetap menghadapi tantangan signifikan.
Pemiskinan koruptor juga perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas dari strategi anti-korupsi nasional. Ini bukan hanya tentang menghukum individu yang telah melakukan korupsi, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang mencegah korupsi di masa depan. Ini melibatkan reformasi struktural dalam birokrasi, peningkatan transparansi dalam pengadaan publik, dan penguatan pengawasan internal dan eksternal.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, pemiskinan koruptor seharusnya juga mencakup pengurangan status sosial dan pengaruh politik. Di Indonesia, koruptor sering kali masih menikmati status sosial tinggi dan pengaruh politik bahkan setelah dijatuhi hukuman. Ini menciptakan persepsi bahwa korupsi "worth it" atau sepadan dengan risikonya.
Sebagaimana diteliti oleh Wijayanto dan Zachrie (2019), kita masih sering melihat mantan koruptor yang setelah keluar dari penjara masih bisa mencalonkan diri dalam pemilihan umum atau menduduki posisi penting dalam partai politik. Ini mengirimkan pesan yang salah kepada masyarakat tentang konsekuensi dari tindakan koruptif.
Oleh karena itu, strategi pemiskinan koruptor perlu dilengkapi dengan pembatasan hak politik dan profesional yang lebih ketat. Ini bukan sekadar tentang mengambil uang mereka, tetapi juga tentang mengurangi pengaruh dan memutus siklus korupsi yang melibatkan jaringan kekuasaan dan privilese.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks budaya Indonesia yang lebih responsif terhadap hukuman daripada penghargaan, pendekatan "deterrence" atau pencegahan melalui hukuman yang tegas memang menjadi pilihan yang rasional. Namun, ini perlu diimbangi dengan insentif yang tepat untuk perilaku jujur dan berintegritas, terutama di kalangan pejabat publik.
Sebagaimana disarankan oleh Klitgaard (2015), sistem remunerasi yang adil dan transparan, pengakuan publik atas integritas, dan jalur karir yang jelas berdasarkan merit dan kinerja dapat menjadi insentif positif yang melengkapi pendekatan hukuman. Kombinasi dari "stick" dan "carrot" ini mungkin lebih efektif dalam jangka panjang dibandingkan dengan fokus semata-mata pada hukuman.
Berdasarkan semua pertimbangan di atas, pernyataan Presiden Prabowo tentang perlunya keadilan bagi keluarga koruptor memang memiliki dasar etis yang valid. Namun, ini tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melemahkan upaya pemiskinan koruptor secara keseluruhan. Sebaliknya, ini seharusnya mendorong kita untuk mengembangkan sistem pemiskinan koruptor yang lebih canggih dan nuanced, yang mampu membedakan antara aset yang diperoleh secara sah dan hasil korupsi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan komitmen politik yang kuat dan berkelanjutan. Pernyataan Presiden Prabowo tentu positif sebagai langkah awal, tetapi ini perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan konkret dan dukungan untuk lembaga-lembaga anti-korupsi seperti KPK. Tanpa dukungan politik yang kuat, upaya pemiskinan koruptor akan tetap menghadapi tantangan signifikan.
Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa pemiskinan koruptor harus tetap menjadi bagian integral dari strategi anti-korupsi di Indonesia. Namun, ini harus dilakukan dengan cara yang adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia. Dengan demikian, kita dapat menciptakan sistem yang tidak hanya menghukum koruptor, tetapi juga mencegah korupsi di masa depan dan membangun budaya integritas dalam masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Abdullah, I. (2019). Korupsi dan Budaya: Analisis Antropologis terhadap Praktik Korupsi di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada.
Ancok, D. (2018). Psikologi Korupsi: Kajian Perilaku Koruptif dalam Konteks Budaya Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.
Atmasasmita, R. (2020). Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Refika Aditama.
Basri, F. (2021). Ekonomi Bayangan dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta: Penerbit UI Press.
Becker, G. (1974). Crime and Punishment: An Economic Approach. Journal of Political Economy, 76(2), 169-217.
Hiariej, E. O. S. (2022). Pemiskinan Koruptor: Perspektif Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada.
Indonesia Corruption Watch. (2023). Laporan Pemantauan Tren Penanganan Kasus Korupsi Tahun 2023. Jakarta: ICW.
Klitgaard, R. (2015). Addressing Corruption Together. Paris: OECD.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan Tahunan KPK 2023. Jakarta: KPK.
Mahfud MD. (2023). Membongkar Mafia Peradilan. Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.
Man-wai, T. K. (2006). Formulating an Effective Anti-Corruption Strategy: The Experience of Hong Kong ICAC. Resource Material Series No. 69. Tokyo: UNAFEI.
Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada. (2022). Disparitas Pemidanaan dalam Kasus Korupsi di Indonesia. Yogyakarta: UGM.
Quah, J. S. T. (2017). Anti-Corruption Policies in Asia: A Comparative Study. Singapore: World Scientific.
Rahardjo, S. (2009). Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press.
Transparency International. (2022). Global Corruption Barometer: Asia 2022. Berlin: Transparency International.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Warren, E. (1966). The Memoirs of Earl Warren. New York: Doubleday.
Wijayanto & Zachrie, R. (2019). Korupsi Mengkorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.