Demam Streaming di Tengah Pandemi

Data Driven Storytelling
Merupakan hasil karya mahasiswa mata kuliah Data Driven Storytelling, program studi Multimedia Journalism, Universitas Multimedia Nusantara.
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2021 16:16 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Data Driven Storytelling tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah platform menonton berlangganan. Visual: Olahan Tim Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah platform menonton berlangganan. Visual: Olahan Tim Penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah satu tahun lebih waktu yang terlewati semenjak virus Covid-19 pertama kali terdeteksi di Indonesia. Pandemi mendorong pemerintah memberlakukan kebijakan-kebijakan yang dinilai mampu menanggulangi situasi ini. Jaga jarak, pakai masker, dan diam di rumah adalah tiga hal yang terlihat sederhana namun mampu mengubah pola hidup masyarakat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat belajar, bekerja, dan menikmati hiburan dari rumah. Salah satu hiburan yang kian diminati adalah menonton film dan serial televisi dengan pemanfaatan platform berlangganan. Seketika, masyarakat beramai-ramai berlangganan platform video on demand untuk menikmati beragam tontonan. Ya, fenomena ini bukan lagi sekadar hiburan ataupun hobi melainkan demam streaming di tengah pandemi.
Demam ini tentu bukan tanpa bukti. Survei McKinsey yang melibatkan 1.034 responden di Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 43% responden semakin sering menggunakan online streaming. Jumlah pengguna baru online streaming pun semakin bertambah sebanyak 6%, yang mulai menggunakan jasa tersebut di penghujung 2020. Dari total keseluruhan sampel, setidaknya 67% responden berniat untuk terus memanfaatkan Perkiraan Persetelah pandemi berhasil dikontrol.
Perkiraan Perkembangan Subscription Video on Demand di Indonesia Tahun 2020. Data : LIPI Press 2020. Visual: Olahan Tim Penulis
Kecenderungan masyarakat lebih sering menonton tayangan melalui berbagai platform streaming tentunya membawa dampak positif bagi bisnis streaming di Indonesia. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI Press) memperkirakan peningkatan jumlah pendapatan yang diperoleh platform streaming pada 2020 meningkat menjadi 28,9% atau sekitar 140 juta dolar AS, sedangkan jumlah pelanggan naik 26,5% menjadi 13 juta. Perkiraan ini menjadi bukti bahwa penggunaan platform streaming semakin relevan di tengah pandemi, saat kondisi memaksa masyarakat untuk menetap di rumah.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, terdapat beragam platform streaming. Platform lokal seperti KlikFilm ada pula platform internasional seperti Netflix. Masing-masing memiliki keunikannya sendiri yang mendorong pengguna untuk lebih memilih platform satu dari yang lain. Dari sekian banyak platform streaming, lima di antaranya relatif terbuka dalam konteks akses data, yaitu Netflix, HBO, Disney+ Hotstar, iTunes, dan Google.
Dikutip dari jurnal bertajuk “Mengenal Indonesia Melalui Netflix Original Movie”, Netflix pertama kali masuk ke Indonesia pada 18 Oktober 2018. Tidak hanya sekadar “hadir”, Netflix tersedia dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, platform ini menunjukkan dukungannya terhadap tanah air melalui penggarapan film karya Timo Tjahjanto, “The Night Comes for Us” sebagai film orisinal pertama dari Indonesia yang tayang di platform tersebut.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, HBO, kependekan dari Home Box Office, pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1994. Setahun kemudian, HBO juga menyediakan subtitle berbahasa Indonesia. Berbeda dengan Netflix, terdapat banyak variasi HBO, seperti kanal televisi HBO, HBO on Demand, HBO App, HBO Go, dan HBO Max.
Berikutnya, Disney+ Hotstar, layanan streaming yang menayangkan film-film mancanegara dan lokal. Platform ini merupakan variasi Disney+ yang dapat diakses di India dan Indonesia. Dengan demikian, perbedaan antara Disney+ dan Disney+ Hotstar terletak pada segmentasi pasarnya. Peluncuran platform streaming tersebut berlangsung di Indonesia pada 5 September 2020.
Berbeda dengan Netflix, HBO, dan Disney+ Hotstar, iTunes dan Google membedakan dirinya dengan tidak membatasi diri pada streaming film dan serial televisi saja. iTunes yang pertama kali hadir di Indonesia pada 4 Desember 2012 menawarkan streaming film, musik, serial televisi, podcast, sampai audiobook. Sementara itu, Google Play Film & TV baru eksis di Indonesia pada 30 Juli 2015.
ADVERTISEMENT
Sama seperti iTunes, Google pada prinsipnya menawarkan berbagai produk dan jasa seperti musik, buku, dan games. Film & TV merupakan salah satu bagian dari banyaknya produk yang ditawarkan Google. Meski merupakan salah satu bentuk platform video on demand, pengguna perlu menyewa atau membeli film-film yang ditawarkan Google, ketimbang berlangganan setiap bulan atau tahun seperti Netflix, HBO, dan Disney+ Hotstar. Oleh karena itu, ketiga platform yang memanfaatkan sistem berlangganan disebut juga dengan subscription video on demand (SVOD).
Meskipun layanan VOD mengharuskan konsumen untuk mengeluarkan sejumlah uang, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi sebagian orang. Sebagai contoh, Donny, yang berlangganan beberapa layanan streaming mulai dari Netflix, Disney+, HBO Go, Amazon, Mola, dan akhir-akhir ini mulai coba mengonsumsi Catchplay. Berlangganan banyak layanan streaming adalah bukan tanpa alasan. Menurutnya, Netflix dan Disney+ secara keseluruhan memiliki banyak pilihan film. Sementara itu, Mola digunakan untuk menonton beberapa pertandingan olahraga, HBO digunakan khusus saat sedang mencari film HBO atau film-film lama dari Warner Bros. Begitu pula dengan Amazon yang ia gunakan untuk menonton “Grand Tour”.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak layanan streaming, ada satu yang cukup menangkap perhatian Donny, yakni Amazon. Amazon memiliki sebuah fitur yang menurutnya terbilang bagus, yakni pada saat melakukan pause tayangan, maka di sisi kiri atas layar akan ditampilkan informasi tentang tokoh yang berada di scene film/serial yang sedang ditonton, sehingga menambah pengetahuan seputar dunia perfilman. Jika dihitung-hitung dalam sebulan, dirinya bisa mengeluarkan uang sejumlah 250-300 ribu rupiah.
Berbeda dengan Donny yang rutin berlangganan, Irene merupakan tipe konsumen musiman. Artinya, ia tidak selalu berlangganan atau berlangganan di waktu tertentu saja. Walaupun berlangganan banyak platform streaming mulai dari Netflix, Disney+, Prime, HBO, dan Viu, uang yang ia keluarkan untuk berlangganan lebih sedikit dibandingkan Donny. Hal ini disebabkan oleh masa berlangganan di waktu tertentu. Contoh, ketika musim Natal ia akan berlangganan HBO untuk menonton Harry Potter atau saat ingin menyaksikan Snyder’s Cut yang belum tentu muncul di layanan streaming lain.
ADVERTISEMENT
Strategi lain yang digunakan oleh Irene agar lebih berhemat dalam berlangganan banyak platform streaming adalah dengan menggunakan promo atau sistem “patungan” atau bayar dan berlangganan bersama beberapa orang lain. Contohnya, ia dan temannya mengambil paket untuk dua orang saat berlangganan Netflix sehingga harga yang dibayar jadi jauh lebih murah ketimbang membayar sendiri. “Untuk Netflix gue bayar buat dua profil jadi 95 ribu, HBO 30 ribu dari harga asli 60 ribu, Prime patungan juga 15 ribu dari 30 ribu (promo), Viu jadi 5 ribu karena waktu itu lagi promo.” Cara lain yang digunakan untuk lebih menghemat biaya berlangganan adalah dengan membayar per tahun. Meski membayar dengan jumlah banyak di awal, biaya yang dikeluarkan cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan membayar per bulan.
Dua Genre Paling Diminati. Sumber data: FlixPatrol. Visual: Olahan Tim Penulis
Berdasarkan hasil pemantauan Flix Patrol, sebuah website pemantau perkembangan platform video on demand, superhero dan animasi merupakan genre yang paling banyak digemari oleh penonton Indonesia dari periode waktu Januari sampai Maret 2021 (Kuartal 1). Superhero merupakan genre yang paling diminati di Google (32,9%), dan kedua terpopuler di Disney+ (17,12%) dan iTunes (17,66%). Di sisi lain, animasi menjadi genre yang paling digemari di Disney+ (41,55%), kedua terpopuler di Google (32,6%), dan ketiga terpopuler di HBO (11,41%).
ADVERTISEMENT
Melihat dari perspektif genre yang kurang diminati, terdapat variasi antara satu platform dan yang lainnya, seperti romance di HBO (0,9%), fantasy di Disney+ (3,32%), documentary di iTunes (0,13%), dan horror di Google (0,1%).
Sama halnya seperti genre, film yang populer dari kuartal pertama 2021 bervariasi. Dari antara keempat platform streaming, film yang paling banyak muncul di berbagai platform adalah Monster Hunter dan Wonder Woman 1984. Sebaliknya, film yang paling sedikit muncul adalah The Equalizer 2 dan Monster of Man.
Uniknya, terdapat berbagai film tahun 2010 ke bawah yang eksis lagi di tengah pandemi. Film-film tersebut adalah Inception, Harry Potter and the Goblet of Fire, Ratatouille, Iron Man, dan Toy Story 3. Posisi Inception yang berada di atas Justice League Dark: Apokolips War dan Godzilla: King of the Monsters cukup mengejutkan. Sebab, antusiasme penonton dalam menanti kehadiran entri baru dalam series Godzilla dan Justice League, yakni Godzilla vs. Kong dan Justice League: Snyder’s Cut tidak mampu menjatuhkan posisi Inception.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Flix Patrol tidak dapat menarik data pengguna Indonesia dari Netflix, baik dari kategori judul film terpopuler maupun genre paling diminati. Sebab, data Netflix Indonesia bersifat rahasia, meskipun data Netflix di negara lain, seperti Amerika Serikat bersifat terbuka.
Jumlah Pembajakan Film di Indonesia Tahun 2019-2020. Sumber data: Kominfo. Visual: Olahan tim penulis
Di sisi lain, angka pembajakan film di Indonesia mengalami penurunan. Berdasarkan data yang diperoleh dari situs resmi Kominfo, survei yang dilakukan oleh YouGov menunjukkan bahwa angka tersebut menurun dengan signifikan, dari 63% pada 2019 menjadi 28% pada 2020. Penurunan sebesar 35% ini merupakan buah hasil dari aksi tegas oleh pemerintah. Kominfo dan Video Coalition Indonesia bekerja sama dalam memblokir lebih dari 2.300 situs streaming pembajakan, yang diblokir setiap sepuluh hari sekali. Aksi tegas yang dilakukan sejak Juli 2019 dan berlanjut terus di tahun berikutnya berhasil memangkas angka pembajak film di Indonesia. Sementara itu, Center for Digital Society kampus Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa platform video on demand yang mudah diakses dengan harga terjangkau mampu mengubah budaya streaming bagi masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Shandy Gasella, pengamat film dan penulis review film di Kumparan ikut menyuarakan opininya. Menurutnya, penurunan angka pembajakan disebabkan kemudahan mengakses film secara legal dan murah.
“Sebagai contoh, Disney+ yang memudahkan pelanggannya dalam metode pembayaran, bisa potong pulsa, dibandingkan Netflix yang hanya menerima kartu kredit. Meskipun Netflix datang duluan di tanah air, langsung kesalip Disney+ yang baru hadir kemarin sore,” jelas Shandy.
Melihat dari perspektif konsumen sendiri, memilih layanan berbayar ketimbang bajakan tentu ada alasannya. “Pada akhirnya tetap deh (memilih berlangganan) daripada bajakan. I mean kalau kita sudah punya uang dan masih bisa berlangganan ya itu part of our responsibility (bagian dari tanggung jawab kita) untuk membayar itu,” ucap Donny.
Di sisi lain, keamanan dan hak legal pengguna merupakan poin utama yang diangkat oleh Irene ketika bicara soal preferensi dalam memilih platform berbayar. “In general emang lagi sangat mencoba pake produk original sih, mungkin karena sama-sama pekerja kreatif, jadi mau menghargai sebuah karya selayaknya.” Ia bahkan mengakui bahwa dirinya tidak hanya berlangganan layanan streaming film dan serial televisi saja, tapi sebisa mungkin ia juga berlangganan atau menggunakan aplikasi musik, desain, hingga games yang legal. “Apalagi kalau pakai yang legit (legal) dibandingkan bajakan, dijauhi dari virus dan iklan-iklan annoying sih,” lanjut Irene.
ADVERTISEMENT
Pembajakan film diatur dalam hukum perundang-undangan Indonesia. Lebih tepatnya, Pasal 113 ayat (3) UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tuntutan hukum bagi mereka yang melakukan pembajakan film adalah pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak satu miliar rupiah. Sebelumnya, pembajakan film di Indonesia memang menjadi masalah yang sulit dikendalikan.
Peningkatan online streaming memang menurunkan angka pembajakan dan membawa dampak baik bagi bisnis streaming di Indonesia. Namun, bukan berarti online streaming akan mematikan bioskop. Menurut Shandy Gasella, bioskop tidak akan mati, karena belum ada teknologi rumahan terjangkau yang dapat menyaingi pengalaman menonton di bioskop.
“Orang boleh saja menonton film di rumah. Tapi, penikmat film sejati pasti memilih nonton film di bioskop. Menikmati lukisan, kita ke galeri seni. Menikmati musik, kita pergi ke konser. Bioskop adalah tempat yang paling tepat untuk menyaksikan film,” tutup Shandy.
ADVERTISEMENT
Penulis: Batyalael Chriswied, Mikhaangelo Fabialdi Nurhapy, Nathania Kinanti, Stepanie Silvia
Tim Dosen: Veronika, Albertus Magnus Prestianta, Utami Diah Kusumawati