Mengakhiri Impunitas Korupsi: Pembangunan Sistem Administrasi Pajak yang Tangguh

Danandjaja Rosewika Toriq Budihardja
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Konten dari Pengguna
18 Februari 2024 1:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Danandjaja Rosewika Toriq Budihardja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Korupsi merupakan suatu tindak kejahatan besar karena memiliki dampak negatif terhadap banyak hal, seperti kesejahteraan rakyat, perekonomian suatu negara, pelemahan demokrasi, perwujudan keadilan sosial, dan penyempitan partisipasi publik. Sayangnya, frekuensi terjadinya kasus korupsi di Indonesia tidak pernah lenyap.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 1.310 kasus korupsi selama periode 2004 hingga 2022. Selain itu, pada tahun 2022 Indonesia mendapatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) senilai 38 yang berarti Indonesia perlu melakukan evaluasi terhadap penyelesaian kasus korupsi ini.
Tren Tingkat Korupsi di Indonesia Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) selama periode 2012-2022 (Sumber Data: Transparency International)
Apabila kasus korupsi dibiarkan, atau bahkan dinormalisasi, kesejahteraan rakyat akan terancam. Hal ini sangat mungkin terjadi karena korupsi dapat menimbulkan kerugian negara yang berakibat pada berkurangnya kemampuan pemerintah dalam menghimpun pajak untuk menunjang penerimaan negara. Dengan begitu, fungsi pajak yang seharusnya dapat mengoptimalkan unsur pemerataan dan stabilisasi pendanaan negara akan terhambat.
ADVERTISEMENT
International Monetary Fund (IMF) menyatakan bahwa tingkat korupsi di suatu negara memiliki korelasi dengan kesanggupannya dalam menghimpun pajak. Berdasarkan Fiscal Monitor, analisis IMF menunjukkan bahwa kebanyakan negara-negara korup mempunyai kecakapan menghimpun pajak yang lebih rendah.
Di lain sisi, IMF juga menemukan bahwa penerimaan negara dengan tingkat korupsi yang rendah dari sektor perpajakan memiliki jumlah yang lebih besar dari 4% terhadap produk domestik bruto (PDB) jika dibandingkan dengan negara-negara korup di level yang sama.
Meskipun pada umumnya indeks persepsi korupsi suatu negara dapat menghambat pemerintah dalam mengumpulkan pajak, penelitian dari Johnson, Taxell, dan Dominik (2012) mengungkapkan bahwa peningkatan kualitas sistem administrasi perpajakan merupakan cara ampuh untuk memberantas korupsi.
Dengan perbaikan sistem administrasi perpajakan, kasus korupsi akan mudah terungkap, apalagi jika upaya tersebut disokong dengan ekspansi iklim transparansi melalui realisasi cashless society secara besar-besaran. Akan tetapi, perbaikan sistem ini tidak akan bisa terwujud tanpa adanya komitmen dari penegak hukum dan otoritas pajak untuk menjadikan koruptor sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Hal ini dikarenakan koruptor pada hakikatnya adalah pengemplang pajak (orang yang tidak membayar pajak terutangnya).
ADVERTISEMENT
Para koruptor dapat disebut sebagai pengemplang pajak karena mereka tidak mungkin bersedia untuk melaporkan dan membayar pajaknya dengan jujur dan penuh tanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan tindak kecurangan mereka yang mengakibatkan penghasilan yang didapatkan dan dibelanjakan bukanlah bersumber dari cara-cara yang baik, misalnya melalui praktik pencucian uang.
Akan tetapi, hal ini pada akhirnya akan dapat terdeteksi dengan sistem administrasi pajak yang baik. Adapun kisah yang dapat menggambarkan kasus ini secara nyata adalah kejadian yang dialami oleh Alphonse Gabriel “El Capone”, seorang bandit di Amerika, yang gemar melakukan tindak pidana korupsi.
Meskipun ia selalu lolos dari konsekuensi hukum dengan cara menyuap pihak penegak hukum, semua kejahatannya dapat terungkap karena adanya catatan pembukuan yang tidak dapat direkonsiliasikan dengan laporan pajak yang telah disampaikan.
ADVERTISEMENT
Jika kita mengkritisi kasus korupsi yang kerap terjadi di Indonesia, hal tersebut seharusnya tidak jauh berbeda karena sistem administrasi pajak yang baik dengan dukungan solid dari pihak penegak hukum dapat mengungkap lebih banyak kasus korupsi yang masih tersembunyi. Dengan begitu, asset recovery dan penunaian hak keuangan negara dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Selain itu, peran otoritas pajak juga penting untuk membersamai upaya pemberantasan korupsi, terlebih jika terdapat tindakan pencucian uang.
Dari penjelasan sebelumnya, kita dapat mengatakan bahwa sistem administrasi pajak yang andal mampu memperkecil kesempatan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindak pidana korupsi maupun kejahatan keuangan lainnya. Maka dari itu, pemerintah harus menyegerakan perbaikan sistem administrasi pajak dengan menyediakan fitur-fitur yang dapat membantu pekerjaan lembaga negara untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan mencegah tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, dengan keberlangsungan era digital yang menciptakan beberapa teknlogi canggih, kita dapat memaksimalkan Sistem Informasi Konfirmasi Status Wajib Pajak yang dapat digunakan sebagai passive checker dan feedback receiver dari hal-hal yang berkaitan dengan pencabutan maupun perbaikan perizinan yang mempengaruhi kepatuhan pajak.
Selain itu, penyederhanaan dan penyatuan sistem Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan e-filling di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta ekspansi terhadap implementasi kebijakan non-cash dan pengembangan single identity number system yang tepat sasaran juga harus dilakukan agar wajib pajak dapat membayar pajaknya dengan praktis dan mudah. Dengan begitu, perbaikan sistem administrasi perpajakan akan dapat terwujud.
Meskipun Indonesia berhasil menerapkan sistem administrasi pajak yang baik, hal ini akan menjadi sia-sia apabila tidak mendapat dukungan dari presiden selaku kepala pemerintahan dalam mengawasi koordinasi antara otoritas pajak dan aparat penegak hukum, serta pihak lain yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, presiden harus memastikan bahwa proses koordinasi dapat dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan terhindar dari ego sektoral dan conflict of interest. Apabila presiden gagal dalam menunaikan tanggung jawab tersebut, sebaik-baiknya sistem administrasi pajak yang ada tidak akan mampu menurunkan angka indeks persepsi korupsi. Selain itu, tax ratio yang rendah akibat banyaknya kasus korupsi akan mengakibatkan Indonesia mengalami kegagalan dalam upayanya menjadi negara maju.