Korupsi: Musuh Besar Republik

Cusdiawan
Penulis adalah sarjana ilmu sejarah dengan konsentrasi sejarah politik di Univ. Padjadjaran, dan menyelesaikan studi master di Ilmu Politik pada universitas yang sama. Menulis di berbagai laman, seperti PMB LIPI, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
Konten dari Pengguna
25 April 2024 16:33 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Buku Korupsi: Akar, Aktor dan Locus yang ditulis oleh Leo Agustino dan Indah Fitriani merupakan sebuah buku yang penting untuk dibaca, terutama bagi orang-orang yang mendambakan kehidupan publik yang lebih baik, mengingat salah satu persoalan akut dalam kehidupan publik kita, yakni begitu mengakarnya korupsi yang melibatkan banyak aktor dan di banyak locus.
ADVERTISEMENT
Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dengan memanfaatkan sumber daya publik, yang seharusnya digunakan untuk penguatan pembangunan, baik fisik, manusia maupun sosial, justru untuk kepentingan private. Tidak mengherankan, dalam tradisi republik, korupsi dianggap sebagai ancaman.
Dalam menggambarkan bahayanya korupsi, Agustino dan Fitriani menulis:
Lalu, bagaimana dengan Indonesia kontomporer?

Korupsi yang Menggurita

Korupsi memang sudah menjadi masalah yang pelik sejak awal berdrinya republik ini. Sehingga tidak mengherankan, Pemerintahan Sukarno pun membentuk badan seperti Bapekan pada 1959, yang bertugas mengawasi, meneliti dan mengajukan pertimbangan kepada presiden terhadap kegiatan aparatur negara. Selain itu, Bapekan pun bertugas menerima pengaduan terhadap ketidakberesan kerja aparatur negara (hlm.2).
ADVERTISEMENT
Tak berselang lama, pemerintahan Sukarno pun membentuk lembaga yang bisa membenahi birokrasi sekaligus memberantas korupsi, yang kemudian disingkat Paran (hlm.3). Penting juga dicatat, sebelum ada Bapekan dan Paran, pada tahun 1950-an, upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan melalui Penguasa Perang Pusat (hlm.4).
Memasuki era pemerintahan Soeharto, secara formil, sebenarnya upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan. Akan tetapi, Agustino dan Fitriani mengemukakan bahwa pemberantasan korupsi pada era Soeharto tidak semasif dan setegas pada era sebelumnya (hlm.4-6). Bahkan sudah menjadi rahasia umum, pemerintahan Soeharto pun dikenal sebagai pemerintahan yang korup.
Oleh sebab itu, kemunculan orde reformasi merupakan reaksi kritis terhadap pemerintahan Orde Baru, yang dianggap sarat akan praktik KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), akan tetapi yang menjadi sebuah ironi, kemunculan Orde Reformasi tidak lantas membuat praktik korupsi tersebut terkikis, praktik korupsi tetap marak terjadi, bahkan praktik korupsi dilakukan atau melibatkan banyak aktor dengan berbagai macam latar belakang, dan terjadi di banyak tempat pula (hlm.7-11).
ADVERTISEMENT
Meski demikian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Peter Carey dan Suhardiyono Haryadi dalam buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Deandels (1808-1811) sampai Era Reformasi (2016), secara umumnya, bila mendasarkan pada peringkat Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia jelas mengalami perbaikan bila dibandingkan pada era Orde Baru (hlm.48).
Sebagai tambahan, kembali sedikit menyinggung studi Carey dan Haryadi (2016), sebenarnya permasalahan korupsi dalam sejarah kontemporer pemerintahan di Indonesia, akarnya (struktur) sudah ada sejak era Deandels di Jawa. Deandels adalah orang yang memulai suatu proses yang mengakibatkan suatu pemerintahan yang amat terpusat, sebagaimana yang diperagakan selama pemerintahan Orde Baru (hlm.38). Carey dan Haryadi pun menulis “KKN merupakan warisan kolonial yang diperparah Orde Baru (hlm.47).
Betapapun dikatakan bahwa indeks persepsi korupsi lebih baik dibanding Orde Baru. Namun fenomena belakangan patut menjadi kegelisahan kita bersama, ada indikasi-indikasi kuat mengenai pelemahan lembaga seperti KPK yang selama ini diharapkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentu ini menjadi ironi di tengah masalah korupsi yang menggurita.
ADVERTISEMENT

Membedah Akar Korupsi di Indonesia

Bila berkaca pada pemaparan di atas, tentu kita bisa mempertanyakan, mengapa korupsi menjadi permasalahan yang begitu akut dalam sejarah politik di Indonesia? Bahkan di era Orde reformasi yang diharapkan menjadi antitesis dari Orde Baru, korupsi tetap marak dilakukan?
Agustino dan Fitriani berusaha memberikan jawabannya, keduanya membedah akar korupsi menjadi tiga kategori, yakni kategori antropologis (melihat aspek manusianya), kemudian kategori sosiologis (menilai aspek kemasyarakatan, lingkungan dan keluarga), dan selanjutnya adalah aspek politik (ekonomi-politik) (hlm.30).
Dalam kategori antropologis ini, Agustino dan Fitriani berangkat dari perspektif Hobbesian, yang menyebut bahwa keadaan alamiah manusia (state of nature) adalah negatif. Dalam konteks ini, manusia diasumsikan memiliki sifat mudah iri, tak kuasa melawan nafsu, serakah dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dari state of nature seperti itulah yang kemudian mendorong manusia melakukan praktik koruptif. Untuk menguatkan argumennya tersebut, Agustino dan Fitriani memberikan contoh kasus, bagaimana banyak pejabat yang padahal sudah kaya, tetapi mereka tidak juga puas dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri (hlm.30-33).
Sementara itu, akar lain yang menyebabkan praktik korupsi, yaitu akar sosiologis, di mana lingkungan dianggap menjadi penyebab terjadinya praktik korupsi. Leo dan Indah mencontohkan, seorang anak yang pernah diberitakan amat santun, sederhana, berbakti kepada orang tua dan sebagainya, tetapi ketika menjadi pegawai pajak, ia justru memiliki kekayaan yang janggal (hlm.39-41).
Faktor lain yang merujuk akar sosiologis ini, yakni: pertama, kurang adanya pemimpin yang bisa dijadikan role model yang berintegritas; kedua, tidak ada atau minimnya kultur organisasi yang berintegritas; ketiga, minim atau kurang memadainya sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintahan (hlm.43-44).
ADVERTISEMENT
Akar ketiganya, yaitu akar politik. Kita tahu, sudah banyak studi yang menyebut betapa mahalnya ongkos politik di Indonesia, kita bisa meninjau, misalnya saja studi Edward Aspinall dan Ward Berenshcoot, yaitu Democracy for Sale (2019), kemudian studi Burhanuddin Muhtadi, yaitu Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru (2020) dan sebagainya. Selain itu, faktor ekonomi politik pun tidak bisa diabaikan, struktur yang oligarkis adalah lahan yang kondusif bagi perilaku-perilaku korup, perburuan rente, patronase dan sebagainya.
Secara umumnya, Agustino dan Fitriani menyebut bahwa ada tiga sumber korupsi dalam akar politik ini, yaitu: 1). Mengganti biaya politik yang terlalu tinggi; 2). Mewabahnya politik patronase; 3). Jual pengaruh atau kekuasaan (hlm.33-66). Masalah korupsi ini, jelas bukan hanya terdapat di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia lainnya juga (hlm.67-88).
ADVERTISEMENT

Jalan Terjal Melawan Korupsi

Bila melihat pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa permasalahan korupsi begitu mengakar dan merupakan salah satu masalah utama dalam sejarah republik ini, dan sayangnya, sejarah tersebut terus berlanjut hingga hari ini, korupsi banyak dilakukan oleh banyak aktor di banyak locus (hlm.89-197).
Oleh sebab itu, usaha untuk melawan korupsi amat tidak mudah dan akan melalui jalan yang amat terjal. Agustino dan Fitriani sendiri menyarankan agar kita bisa belajar dan mereplikasi apa yang sudah dilakukan oleh negara-negara yang dianggap bersih seperti negara-negara di Eropa Utara (hlm.202).
Agustino dan Fitriani pun berpendapat, negara mesti bersungguh-sungguh dalam melawan korupsi, dan itu bisa dimulai dengan melakukan: 1). Formulasi regulasi substantif (yang tegas dan keras) guna melawan korupsi; 2). Struktur kelembagaan yang transparan dan akuntabel yang berujung pada good governance; 3). Mengadakan revolusi mental pegawai (hlm.204-205).
ADVERTISEMENT

Pandangan Reflektif atas Korupsi

Meskipun faktor antroplogis maupun sosiologis yang diungkap di atas memang menjadi faktor penyebab korupsi juga, tetapi faktor dominan, yakni masalah institusional-ekonomi politik. Dan pandangan ini selain menghindari cara pandang esensialis, juga berimplikasi pada pengutamaan strategi pemberantasan korupsi.
Ada adagium lama, yang bila saya parafrasekan berbunyi “Betapapun buruknya seorang manusia, tetapi ketika ia memasuki sistem yang baik (dan kuat), maka ia akan dipaksa untuk menjadi baik sebagaimana sistem itu bekerja”. Sebab itu, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah penegakan hukum, di samping aspek-aspek pencegahan yang mensyaratkan akuntabilitas lembaga publik atau pemerintahan.
Mencegah atau mengurangi korupsi dengan mendasarkan pada kerangka institusionalis pun bila merujuk pada pemaparan penyebab korupsi di atas, seperti untuk mengganti biaya pemilu yang mahal, akan menyebabkan kita secara terbuka mengoreksi dan atau setidak-tidaknya memikirkan ulang mengenai desain institusi yang sekurang-kurangnya bisa menekan biaya pemilu.
ADVERTISEMENT
Koreksi pun harus dilakukan juga di lembaga seperti partai politik, termasuk dalam soal mekanisme perkaderan, rekrutmen dan sebagainya, yang pada ujungnya berupaya untuk menguatkan pelembagaan partai politik. Terlebih, kita tahu selama ini dikenal istilah “politik kartel” yang juga sangat kondusif bagi perilaku koruptif.
Aspek penegakan hukum pun diperlukan, termasuk untuk menangani jejaring informal antara penguasa dan pengusaha yang melakukan akumulasi kapital dengan menyalahi kewenangan dan atau ketentuan yang berlaku. Meskipun, yang menjadi soal, sebagaimana pemaparan Jeffrey Winters “Oligarchy and Democracy in Indonesia” (2014), bahwa oligarki memungkinkan untuk memanipulasi hukum.
Dalam konteks itulah kita memerlukan civil society yang kritis dan cerdas, sebagai entitas yang melakukan kontrol publik (untuk turut mengawasi dan mencegah perilaku penyimpangan), menantang dominasi elite (termasuk mengoreksi partai politik), atau sekurang-kurangnya agar tidak menormalisasi bentuk penyelewengan yang bisa saja terjadi di level pemerintahan desa, kecamatan dan sebagainya. Saya melihat, di era masifnya sosial media seperti sekarang, peran semacam tadi lebih dimungkinkan dan menjadi peluang tersendiri bagi civil society.
ADVERTISEMENT
Lalu, mengapa saya menitik beratkan pada civil society? Jawabannya, betapapun saya sepakat bahwa political will sangat diperlukan, tapi kita tidak bisa sepenuhnya berharap pada elite, karena sedikit atau banyak, para elite yang justru menikmati kondisi struktural yang ada untuk kepentingan private tadi (memperkaya diri).
Riwayat Buku
Judul : Korupsi: Akar, Aktor dan Locus
Penulis : Leo Agustino dan Indah Fitriani
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tahun : 2017
ISBN : 928-602-229-751-2