Berdialog dengan Gagasan Besar Dunia: Belajar pada Sukarno-Hatta

Cusdiawan
Penulis adalah sarjana ilmu sejarah dengan konsentrasi sejarah politik di Univ. Padjadjaran, dan menyelesaikan studi master di Ilmu Politik pada universitas yang sama. Menulis di berbagai laman, seperti PMB LIPI, Nuralwala, MJS, Mizan.com, dsb.
Konten dari Pengguna
16 Januari 2024 5:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cusdiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/files/images/2023/08/proklamator.jpg
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/files/images/2023/08/proklamator.jpg
ADVERTISEMENT
"Menjadi seorang konformis adalah jauh lebih mudah dibanding menjadi seorang pemberontak yang kompeten" (Gunnar Mydral dalam Bangsa-bangsa Kaya dan Miskin).
ADVERTISEMENT
Sebuah teori dan atau pengetahuan tentu tidak lahir dalam ruang hampa, ia dipengaruhi oleh berbagai kondisi, latar sejarah dan sebagainya yang mengitari kemunculan teori tersebut. Bahkan, kemapanan suatu teori juga dipengaruhi oleh suatu relasi kuasa dan berbagai kepentingan yang melatarbelakanginya meskipun kerap kali berbagai teori-teori itu berlindung di balik jubah “objektivisme”.
Kesadaran bahwa teori bukan sesuatu yang bersifat netral dan bebas nilai, setidaknya lebih berpotensi untuk membawa implikasi pada dua hal, pertama, untuk keperluan wacana akademik itu sendiri, terutama dalam hasanah ilmu-ilmu sosial, ekonomi dan sebagainya, sehingga “taji” generasi ilmuwan kita dalam pengembangan teori akan lebih terlihat, dan bahkan dalam skala diskursus akademik dunia.
Dan keduanya kita bisa merumuskan teori dan pengetahuan yang lebih aplikatif untuk diterapkan dalam konteks Indonesia, karena pengetahuan atau teori tersebut disusun dengan melihat setting sosial historis dan budaya kita dan menyerap berbagai keberbutuhannya sehingga lebih relevan, bahkan saat dijadikan sebagai landasan kebijakan publik dan atau visi pembangunan kita. Dari sini pengetahuan yang disusun diandaikan mempunyai kekuatan praksis dan membawa suatu transformasi sosial yang lebih berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Point saya selanjutnya, bukan berarti kita anti terhadap pengetahuan mapan yang berkembang di Barat. Namun, kita tidak bisa bersikap taken for granted atas pengetahuan-pengetahuan itu. Sikap yang ideal adalah dengan melakukan pembacaan dan dialog secara kritis dengan berbagai teori-teori besar tadi.
Penulis mencoba memberi beberapa contoh, misalnya dalam studi ekonomi politik dan atau pembangunan, kita tidak bisa menerima begitu saja pola Industrialisasi ala negara-negara Barat tanpa memperhatikan kontekstualisasi kondisi sosio-kultur masyarakat kita, mengingat konteks historis dan pengalaman yang berbeda yang berimplikasi pada keperluan untuk menggunakan pendekatan dan atau memecahkan masalah yang tidak bisa sepenuhnya sama pula.
Contoh lainnya, jargon-jargon pertumbuhan ekonomi berbasiskan Produk Domestik Bruto (PDB), yang sarat akan kepentingan kapitalisme neo-liberal, jika kita terlalu tergoda untuk terlalu fokus pada pengejaran tersebut dan kemudian mengabaikan aspek lainnya, maka bukan tidak mungkin yang tercipta justru kerapuhan sosial, kerusakan ekologis dan sebagainya, dan jurang ketimpangan yang semakin lebar.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, kita perlu memikirkan alternatif yang lebih relevan untuk mengejar kesejahteraan dan pertumbuhan yang berkualitas. Ini yang perlu disadari dan diupayakan secara sungguh-sungguh oleh para ilmuwan dan intelektual kita.
Berbicara mengenai dialog kritis dengan tradisi pemikiran dan atau pengetahuan teoretis dunia, sebetulnya bangsa kita mempunyai rekam jejak yang mengagumkan, hal itu setidaknya terlihat dalam kecemerlangan pikiran para tokoh pergerakan nasional dan atau para pendiri negara-bangsa kita.
Dengan kalimat lain, mereka para tokoh pergerakan nasional dan atau pendiri bangsa ini mempunyai kecerdasan literasi dan semangat serta kecakapan tersebut perlu kita replikasi dan bahkan kokohkan. Refleksi historis atas tradisi keilmuan dan intelektualitas yang diparktikkan oleh para pendiri bangsa ini termasuk bagaimana mereka berdialog dengan gagasan-gagasan besar dunia penting untuk didiskusikan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT

Belajar dari Intelektualitas Sukarno-Hatta

Sukarno-Hatta. Foto: kitlv.nl
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kita perlu belajar kepada generasi Sukarno-Hatta yang memang mempunyai kecerdasan dalam melakukan pembacaan atas berbagai teori dan pengetahuan dunia dan dialogkan secara kritis dengan kondisi-kondisi empiris masyarakat kita.
Contoh pertama yang kita angkat, yakni Sukarno. Dulu, penulis sering bertanya-tanya, “Mengapa Sukarno melakukan sintesis atas tradisi pemikiran yang berbeda, dalam hal ini adalah Marxisme, Nasionalisme dan Islamisme? Bukankah karena berasal dari tradisi yang berbeda-beda, sehingga jelas ketiganya mempunyai landasan ontologis dan epistemologis yang berbeda? Apakah Sukarno tidak memahami ontologis dan epistemologis dari ketiga tradisi tersebut?”
Namun, ketika penulis memasuki studi sejarah yang mana penulis mendapat pelajaran bahwa memahami teks harus juga memahami konteks, termasuk zeitgeist (jiwa zaman) yang mengitari kemunculan teks tersebut, penulis justru mandapat jawaban atas pertanyaan di atas, bahwa melakukan sintesis atas ketiga tradisi tersebut justru menunjukkan kecerdasan seorang Sukarno.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian, jawabannya, karena kondisi historis saat itu yang dihadapkan pada perpecahan, sementara pada sisi yang lain, Sukarno menyadari bahwa untuk bisa menikam kolonialisme diperlukan persatuan. Sebab itulah, alih-alih terlalu fokus pada perbedaan-perbedaannya, Sukarno berupaya mencari titik temu di antara ketiganya, yakni semangat antikapitalisme-imprealisme.
Walaupun Sukarno jelas bukan orang pertama yang berupaya melakukan sintesis antara marxisme dan Islam misalnya, namun apa yang dilakukan oleh Sukarno jelas tidak lazim dalam tradisi berpikir Barat yang banyak dipelajarinya. Gaya berpikir elektik yang dilakukan oleh Sukarno saat itu, justru berangkat dari kecakapan dalam tradisi literasi yang tinggi, yakni kemampuan dalam mendialogkan secara kritis antara teori dan realitas.
Lalu bagaimana dengan seorang Hatta? Sebagai seorang intelektual, Hatta jelas tidak kalah canggih dibanding Sukarno. Seperti halnya Sukarno, kecemerlangan Hatta pun bisa dilihat dari kepiawannya dalam memadukan berbagai pengetahuan dan atau teori dengan realitas masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, dalam tatanan ideal yang diimpikan oleh Hatta, ia tak sepenuhnya mengambil gagasan demokrasi liberal ala Barat yang menekankan pada individualisme. Hatta mengandaikan bahwa demokrasi tidak hanya dalam politik, tapi juga dalam ekonomi, dan hal tersebut mewujud pada perkoperasian. Gagasan koperasi jelas lebih relevan bila melihat struktur sosial masyarakat kita yang masih terjadi banyak penghisapan di antara sesama masyarakat. Perkoperasian juga berguna untuk pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Contoh lainnya, yakni saat Hatta turut merumuskan landasan filosofis dalam bernegara. Hatta tentu menyadari bahwa secara sosiologis, agama menjadi bagian penting dalam masyarakat kita, sehingga ia turut menjadikan doktrin agama sebagai legitimasi untuk merumuskan landasan filosofis tersebut.
Namun, doktrin agama tersebut dikontekstualisasikan dengan keberbutuhan republik yang saat itu baru saja berdiri. Hal tersebut tercermin dalam pandangan Hatta bahwa pelaksanaan syariat haruslah dengan mempertimbangkan ruang dan waktu, suatu gagasan doktrin ushul al-fiqh yang berbunyi “taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azman” (perubahan hukum menurut perubahan zaman). Cara pandang Hatta, jelas menguatkan legitimasi Pancasila secara sosiologis untuk dijadikan landasan falsafah kita dalam bernegara.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup diskusi dalam tulisan ini, yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa yang perlu kita replikasi dan bahkan kokohnya adalah spiritnya, spirit membaca yang luar biasa sebagai salah satu hal yang mendasar, dan hal penting lainnya yang ditunjukkan oleh Sukarno-Hatta dan generasinya adalah dalam membangun esensi literasi, yakni kemampuan mereka dalam berdialog secara kritis dengan berbagai gagasan dan pengetahuan besar dunia dengan realitas masyarakat kita.
Barangkali, dengan spirit atau semangat seperti itulah, kita punya harapan lebih baik bahwa generasi intelektual dan ilmuwan Indonesia ke depan bisa mengatasi kemacetan intelektualisme dan keilmuan serta bisa menghasilkan pengetahuan yang transformatif. Dan pengetahuan-pengetahuan transformatif tersebut diandaikan relevan untuk digunakan dalam ide-ide perbaikan masyarakat dan atau pembangunan yang mewujud dalam suatu kebijakan publik.
ADVERTISEMENT