Perihal Tulisan Rumit

Christiaan
Bergiat di Beta Martapian Project
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2023 21:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menulis. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menulis. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa itu tulisan rumit? Apa itu pembaca sulit? Sebuah artikel di situs omong-omong.com berjudul Tulisan Rumit Bikin Pembaca Sulit mendefinisikan tulisan rumit sebagai tulisan yang cenderung menggunakan istilah-istilah “asing” alih-alih istilah yang “membumi”.
ADVERTISEMENT
Lantas, pembaca sulit, berdasarkan artikel itu, adalah pembaca yang kesulitan mengartikan sebuah tulisan akibat penggunaan istilah-istilah asing tadi. Yang mencengangkan kemudian adalah, tulisan rumit yang sulit dipahami pembaca itu, bagi penulis artikel tersebut, adalah tulisan yang tidak ada artinya! Sebuah kesimpulan yang berani, bukan?
Sayangnya, kesimpulan itu tidak ditopang argumen yang mumpuni. Kesimpulan yang ditarik tentang ketidakberartian tulisan rumit tidak nyambung dengan alasan-alasan yang diutarakannya. Berikut penjelasannya.
Pertama, tentang literasi dan peradaban. Artikel tersebut mengatakan bahwa literasi—dalam konteks ini pendokumentasian melalui media tulis—di satu era adalah supaya era tersebut bisa dikaji oleh generasi di masa-masa berikutnya. Si penulis artikel bercerita ihwal hieroglif Mesir kuno sebagai contoh. Pertanyaannya, memangnya si penulis ngobrol sama leluhur Mesir perihal ini?
ADVERTISEMENT
Tulis menulis sebagai medium komunikasi, iya. Tapi tulis-menulis agar bisa dibaca generasi berikutnya, tunggu dulu. Bagaimana cara si penulis artikel melacak intensi ini? Intensi generasi berikut untuk melacak peradaban generasi sebelumnya, iya. Tapi intensi generasi sebelumnya untuk mewariskan, siapa tahu? Atau lebih tepatnya, dalam artikel yang saya sebutkan di atas, ini hanya jadi klaim tanpa dasar.
Klaim tentang intensi inilah yang kemudian digunakan si penulis untuk menopang kesimpulannya. Sekaligus meletakkan beban berat di pundak setiap orang yang menulis hari-hari ini: kalau menulis, harus meninggalkan jejak manfaat untuk dilacak di kemudian hari! Kalau tidak seperti itu, maka tulisanmu tidak ada artinya sekalipun menggunakan istilah-istilah rumit.
Kedua, tentang tulisan rumit dan segmen pembaca. Artikel tersebut telah menyinggung soal segmen pembaca. Adalah benar bahwa kita tidak mungkin menemukan tulisan luwes macam artikel tersebut di laman-laman jurnal. Pun demikian kita tidak akan menemukan istilah rumit khas jurnal dalam tulisan yang memang diniatkan sebagai bacaan ringan.
ADVERTISEMENT
Tapi tidak ada undang-undang yang akan memenjarakan seorang akademikus jika menggunakan diksi sederhana dalam jurnalnya. Begitu pula jika si penulis artikel yang sedang kita bahas ini menggunakan istilah rumit (baca: asing, baru, ilmiah, dll) dalam tulisan sederhananya di situs popular besutan Okky Madasari.
Maka sudah jelas bahwa segmen pembaca adalah sebuah keniscayaan. Konyol belaka jika kita menyumpahi kerumitan sebuah jurnal ilmiah. Sama konyolnya kala kita meremehkan artikel popular yang tanpa catatan kaki.
Sebuah keniscayaan juga untuk menyederhanakan jurnal ilmiah dalam artikel popular, atau merumitkan artikel popular dalam jurnal ilmiah. Soal pilihan pembaca, tentu tergantung selera, meski keduanya sama-sama penting. Bahasan artikel di atas tentang segmen pembaca tidak menjelaskan apa-apa tentang ketidakberartian tulisan rumit.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perihal kesulitan pembaca. Argumen tentang pembaca yang kesulitan membaca tulisan rumit juga merupakan klaim tanpa dasar yang kuat. Berangkat dari pemahaman soal segmen pembaca tadi, boleh jadi seorang pembaca yang sedang mengharapkan bacaan luwes merasa kesulitan. Karena, yang dibacanya ternyata adalah jurnal ilmiah! Ini adalah satu hal. Adalah hal lain jika si pembaca menyumpahi jurnal ilmiah itu sebagai tulisan rumit yang tidak ada artinya, yang tidak memberi manfaat apa-apa kepada generasi mendatang.
Namun berapa banyak pembaca yang terlalu dungu untuk kesimpulan semacam itu? Dan berapa banyak yang ternyata cukup cerdas untuk memilih-milah sumber bacaan?
Dalam artikel yang saya sebutkan di atas, penulisnya hanya mengandalkan asumsi bahwa pembaca yang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dari sebuah tulisan karena tulisan itu rumit, akan menyimpulkan tulisan rumit itu sebagai tulisan yang tidak ada artinya. Selain kegagalan si penulis menjabarkan kesulitan pembacaan terhadap tulisan rumit, ia juga gagal menjadikannya sebagai penguat kesimpulannya tentang ketidakberartian tulisan rumit.
ADVERTISEMENT
Keempat, tentang glorifikasi tulisan rumit. Ini menarik. Jika selalu mengaitkan tulisan rumit dengan tendensi menggunakan istilah-istilah yang terdengar asing, memang ada kecenderungan untuk memuji sebuah tulisan rumit.
Mungkin saja pembaca akan menganggap si penulis sudah sedemikian sesak dengan gagasan. Sesak dengan ide para pemikir terdahulu. Nah, kalau situasinya seperti ini, bukankah kesimpulan tentang ketidakberartian tulisan rumit gugur dengan sendirinya? Sebab, pembaca malah senang, bahkan mengagungkan tulisan rumit yang mereka anggap “daging semua”.
Padahal, tulisan rumit itu bisa saja mengutip secara keliru (misquotation). Bisa saja menyebut nama tokoh hanya untuk pamer (name-dropping). Tapi tentu ini soal nalar kritis pembaca. Kita tak pernah bisa memastikan seorang penulis tidak akan melakukan perbuatan tercela itu.
ADVERTISEMENT
Jika situasinya seperti ini, maka yang menjadi isu adalah nalar kritis pembaca, bukan tendensi penulis membuat tulisannya rumit agar dinilai bagus. Lagi-lagi, inilah yang gagal dijelaskan si penulis dalam tulisannya, tapi sekonyong-konyong menarik kesimpulan kalau tulisan rumit tidak ada artinya.
Pada dasarnya, saya menyepakati apa yang disepakati dalam artikel tersebut. Bahwa
"Intelektual yang bijak adalah mereka yang mampu merekonstruksi gagasan rumit menjadi konsep-konsep yang lebih sederhana dan mudah dipahami."
Seorang fisikawan bernama Richard Feynman pernah bilang begini:
Kalau kamu tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan bahasa yang sederhana, maka kamu sendiri sebenarnya tidak memahaminya. Tapi perkataan ini jelas bukan untuk memisah secara ekstrem mana yang rumit dan mana yang sederhana.
Kerumitan dan kesederhanaan adalah satu kesatuan menurut Feynman sebagaimana saya membacanya. Sebab, kesederhanaan apa yang akan Anda jelaskan, kalau Anda belum paham kerumitannya?
ADVERTISEMENT
Kita tentu harus memahami lebih dulu apa-apa yang rumit, baru kita bisa menjelaskannya secara sederhana. (Kalau memang orang butuhnya yang sederhana. Kalau butuh yang rumit, ya mari kita buat rumit.)
Hal inilah yang barangkali ingin disampaikan oleh si penulis dalam tulisannya. Intelektual bijak mampu merekonstruksi gagasan rumit dengan bahasa yang lebih sederhana. Tapi, tetap saja, langkah awalnya harus memahami gagasan rumit itu terlebih dahulu, bukan? Salah satu caranya adalah dengan membaca tulisan rumit. Atau lebih tepatnya, merumitkan yang sederhana. Setelah itu, niscaya kita menyederhanakan yang rumit. Begitulah siklusnya saya kira.