25 Tahun (Pasca) Reformasi: Lalu Apa?

Christiaan
Penulis Telah terbit 2 buku: Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri (Kumpulan puisi, 2022) Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan (Kumpulan cerpen, 2023)
Konten dari Pengguna
23 Mei 2023 13:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya akan mulai tulisan ini dari kata "pasca" pada judul. Kenapa saya taruh di dalam kurung? Kenapa kata itu perlu? Bagi saya, itu sangat perlu. Bagaimana tidak, selama ini, banyak orang salah kaprah memaknai rentang waktu reformasi.
ADVERTISEMENT
Dengan menyebutkan 25 tahun reformasi, artinya kita memaknai hari ini masih sebagai fase reformasi. Dan itu keliru sama sekali. Reformasi macam apa, yang butuh waktu seperempat abad untuk mewujudkan tujuannya?
Kata "pasca" saya tambahkan pada judul, menandakan bahwa sudah 25 tahun, sejak ide reformasi pertama kali dicoba manifestasikan pada tahun 1998. Lalu soal rentang waktu reformasi itu sendiri, pembabakan atasnya mudah saja dilakukan, yaitu masa-masa amandemen konstitusi.
Kenapa? Sebab, amandemen konstitusi itulah yang diyakini sebagai langkah awal menuju demokratisasi politik kita. Dengan demikian, babak reformasi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia berlangsung hanya sekitar 4 tahun, yakni 1999 hingga 2002.
Lantas, babak setelah 2002 kita namai apa? Bagi saya sederhana saja. Jika memang tak punya sesuatu yang sedemikian signifikan sebagai penanda masa, maka mari kita sebut saja era setelah 2002 sebagai era pasca reformasi. Maka, menurut saya, tak ada yang namanya 25 tahun reformasi. Kalau 25 tahun pasca reformasi, nah, itu baru ada. Selanjutnya, mari bergerak ke pertanyaan terakhir di paragraf pertama.
ADVERTISEMENT
Saya bukan ingin menjawab tanya perihal reformasi macam apa, melainkan mengajak kita menyegarkan ingatan kolektif mengenai 1998 itu sendiri. Kita boleh sepakat, bahwa rakyat Indonesia sudah jengah dengan rezim opresif Presiden Soeharto yang berlangsung selama 3 dekade lebih sejak pertengahan tahun 1960-an.
Rakyat kemudian berpikir untuk mengadakan perubahan radikal atas situasi ini. Dan untuk itu, rezim Presiden Soeharto harus tumbang terlebih dahulu. Lalu di tahun 1998 itulah kita menumbangkan rezim Soeharto.
FOTO ARSIP: Mahasiswa meluber hingga ke kubah Grahasabha Paripurna ketika menggelar unjuk rasa yang menuntut reformasi menyeluruh, Selasa (19/5/1998). Foto: Saptono/ANTARA FOTO
Tapi, apakah perubahan radikal terjadi setelahnya? Maaf, tulisan ini terlalu banyak bertanya alih-alih memberi jawab. Memang modelnya begitu. Namanya, tulisan reflektif.
Kita barangkali bisa mengatakan perubahan radikal itu telah terjadi melalui amandemen konstitusi. Ya, kita mengamandemen konstitusi kita empat kali, dari tahun 1999 sampai tahun 2002. Substansi konstitusi kita kemudian jadi lebih demokratis.
ADVERTISEMENT
Pasal tentang batasan masa jabatan presiden—yang jadi sumber legitimasi berlarut-larutnya masa jabatan Soeharto—direvisi. Presiden boleh menjabat hanya untuk dua periode jika terpilih kembali. Pasal-pasal yang menegaskan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) juga ditambahkan.
Amandemen konstitusi di masa reformasi memang adalah perubahan radikal. Namun baru pada tataran normatif, pula sifatnya yang masih teoritis. Sementara perubahan radikal di tataran praktik adalah perkara lain. Perubahan radikal normatif teoritis ini barulah “alat” yang akan memungkinkan terjadinya perubahan radikal yang sesungguhnya, yakni yang praktikal itu tadi.
Contohnya, bagaimana Presiden Soeharto beserta orang-orangnya tak lagi diberi akses dalam ruang politik Indonesia. Atau bagaimana mereka seharusnya ditangkap dan diadili atas pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan selama memimpin. Atau bagaimana korban-korban pelanggaran oleh rezim Soeharto itu dipulihkan hak-haknya.
ADVERTISEMENT
Sejauh pembacaan saya pada apa yang kita sebut sebagai reformasi, hal-hal inilah yang tidak dilakukan secara optimal. Pemerintahan-pemerintahan transisional kala itu seakan tak punya cetak biru mengenai apa yang harus segera dilakukan pasca mundurnya Presiden Soeharto.
Gejalanya dapat kita rasakan hari ini: anasir-anasir Orde Baru Soeharto masih "berkeliaran" dalam konstelasi politik kita, aktor-aktor pelanggaran HAM selama rezim Soeharto belum pula diadili, dan korban-korban masih hidup dalam bayang-bayang trauma masa lalu.
Kita lantas mempertanyakan kembali orientasi para pemimpin politik di masa-masa krusial itu. Adakah tokoh reformasi yang sungguh-sungguh mengusung semangat pembebasan rakyat dari ketertindasan akibat rezim Orde Baru. Atau, jangan-jangan kemelut itu mentok hanya pada perebutan kekuasaan. Ah, semoga dugaan saya kadar kebenarannya cuma sedikit.
ADVERTISEMENT

Setelah 25 tahun

Massa dari Aliansi Demokrasi Rakyat peringati 25 tahun reformasi di DPR, Minggu (21/5/2023). Foto: Dok. Istimewa
Kondisi Negara Republik Indonesia hari-hari ini mendorong kita melakukan pembacaan-ulang terhadap reformasi. Anak-anak muda sekarang, yang tak mengalami masa-masa itu misalnya, mulai meragukan kalau kita sungguh-sungguh telah beranjak dari era Orde Baru.
Lihat saja bagaimana aktivis-aktivis muda kita meneriakkan slogan bahwa reformasi telah dikorupsi. Bahwa rezim pemerintahan saat ini tak ubahnya orde paling baru alias kelanjutan dari orde baru Soeharto.
Teriakan-teriakan ini tidak mengherankan manakala kita melihat gejala-gejala sebagaimana saya sebutkan sebelumnya. Ditambah lagi isu penguasaan sumber daya alam yang mirip-mirip era Soeharto, di mana penguasa bermesraan dengan pengusaha. Ketika itu hukum hanya sekadar "pelumas" investasi. Tanpa peduli aspek-aspek kelestarian lingkungan maupun masyarakat yang terpinggirkan akibat pembangunan.
ADVERTISEMENT
Hari ini kita menyaksikan hal serupa. Sebut saja UU Cipta Kerja sebagai contoh. Undang-undang ini mendapat penolakan dari publik, tapi malah dikebut pengesahannya. Bahkan sampai menabrak prosedur yang ada.
Undang-undang ini disebut akan memudahkan jalannya investasi dan meningkatkan perekonomian. Tapi karena undang-undang yang sama pula, lingkungan akan hancur, hutan akan dibabat, masyarakat adat akan diusir dari rumahnya, buruh akan diperas keringatnya sampai ke tulang, dan seterusnya.
Masyarakat melawan. Unjuk rasa pecah di mana-mana. Lalu dipukul mundur oleh aparat pengawal rezim. Saluran komunikasi diretas. Jurnalis dibungkam. Warga diintimidasi. Mahasiswa meregang nyawa di ujung bedil aparat. Bukankah ini adalah cerita lama dari orde baru yang konon telah kita tumbangkan itu?

Penutup

Massa dari Aliansi Demokrasi Rakyat peringati 25 tahun reformasi di DPR, Minggu (21/5/2023). Foto: Dok. Istimewa
Saya pikir, tidak ada tendensi ataupun pretensi dalam slogan-slogan kita hari ini. Kita hanya membaca masa silam dan mengalami masa kini. Lalu kita merumuskan pertanyaan untuk masa depan. Kita juga tak sepatutnya mendelegitimasi reformasi 1998 sebagai titik balik Indonesia dari rezim otoriter menuju rezim yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi HAM.
ADVERTISEMENT
Tapi kita juga menolak—meminjam istilah Ben Anderson—memfosilkan reformasi 1998 sebagai sekumpulan kisah heroisme belaka, yang acapkali malah mengaburkan pandangan kita terhadap kondisi saat ini.
Sebaliknya, kita memang harus setia membaca-ulang reformasi 1998 sebagai fase krusial dalam perjuangan masyarakat sipil. Dengan begitu, kita bisa menemukan apa-apa yang tak selesai pada masa itu, dan mengantisipasinya agar tak menjadi pintu masuk VVIP bagi kembalinya kekuatan-kekuatan otoritarian. Ancaman akan selalu ada, tentu. Kita cuma bisa bersiaga, dan mengkonsolidasikan gerakan masyarakat sipil yang lebih solid.
Tahun ini, 25 tahun sudah berlalu sejak reformasi pertama kali dicetuskan pada 1998. Seorang kawan berkelakar, sepatutnya kita merayakan pesta perak reformasi.
Tapi saya menjawab serius. Tak ada pesta. Tak ada perayaan. Tahun ini hanya ada peringatan. Peringatan terhadap korban kekejaman Orde Baru. Peringatan pada diri sendiri agar tidak lengah. Peringatan pada pemerintah agar sungguh-sungguh memperhatikan kesengsaraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Kita sudah cukup kewalahan akibat reformasi yang tidak tuntas. Tak perlu memperparahnya dengan mereduksi esensi perjuangan dengan pesta dan perayaan.