Bentrok FPI Versus Polisi, Momentum Perbaikan Proses Penegakan Hukum Pidana?

Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
9 Januari 2021 5:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Chessa Ario Jani Purnomo, dosen dan peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang; Anggota MAHUPIKI.
zoom-in-whitePerbesar
Chessa Ario Jani Purnomo, dosen dan peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang; Anggota MAHUPIKI.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perkembangan terbaru terkait bentrok antara FPI versus Kepolisian atau dinamai sebagai “Peristiwa Karawang” oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berujung kepada dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh pihak Kepolisian. Hal ini mengenai penembakan 4 (empat) orang anggota FPI mengakibatkan mati di luar proses hukum atau dengan bahasa lain tindakan extra judicial killing dalam perspektif hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Peristiwa Karawang di atas mendapat sorotan publik, secara intelektual juga mengindikasikan terdapat persoalan pada cara kita berhukum sebagai bangsa dan negara, khususnya pada penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Dengan demikian, tujuan penulis bukan untuk mengkoreksi atau mengintervensi kasus hukum antara FPI dan Kepolisian itu, tetapi mengingat-ingat kembali konsep sistem peradilan pidana modern.
Sistem Peradilan Pidana
Untuk konteks Indonesia, sistem peradilan pidana (SPP) mengklaim ide integrasi. Apa yang dintegrasikan? Katakanlah “sub-sistem” dalam sistem peradilan pidana seperti fungsi penyidikan, fungsi penuntutan dan fungsi pengadilan untuk mengadili dan memutus perkara pidana di bawah prinsip diferensiasi fungsional. Sampai sini lahir konsep sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system). Kendatipun demikian, terdapat paradoks bahwa ada professor hukum pidana yang berpendapat, mestinya kata “integrasi” tidak perlu disematkan atau digunakan karena kata “sistem” dengan sendirinya mengandung suatu kesatuan antar sub-sistem yang bersifat integrasi. Seperti mesin.
ADVERTISEMENT
Sementara Fakultas Hukum mengajarkan kepada mahasiswa/i mata kuliah “Hukum Acara Pidana” yang secara sederhana, mempelajari ketentuan mengenai tindakan penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan dan pemeriksaan di pengadilan oleh Mahkamah Agung beserta asas-asas, teori, dan doktrin yang menyertainya.
Sependek pengetahuan penulis mempelajari dan mengajarkan konsep hukum acara pidana bahwa kajian mengenai “SPP” melebur kedalam mata kuliah Hukum Acara Pidana (HAPID) yang diajarkan di Fakultas Hukum. Tegasnya, tidak ada kajian SPP secara mandiri pada level Pendidikan Tinggi Hukum yang dirasa sangat penting untuk dikembangkan. SPP berarti juga penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di bidang peradilan pidana bilamana diperiksa dan direnungkan Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Turunannya, ada UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
ADVERTISEMENT
Dalam buku teks standar HAPID untuk keperluan pengajaran, menurut penulis jarang sekali pembahasan SPP dan atau HAPID dihubungkan dengan konsep kekuasaan. Padahal bentuk nyata dari proses HAPID atau bekerjanya SPP itu kental dengan nuansa kekuasaan negara yang bersifat memaksa yang tercermin dari tindakan upaya paksa atau tindakan hukum oleh negara seperti penangkapan, penahanan, pengeledahan, penahanan dst. Hukum acara pidana kita tidak cukup mampu membendung "kekuasaan penyidikan" karena berangkat dari ide lama yang selalu didengungkan demokratis dengan embel-embel jaminan "hak tersangka" dalam sistem hukum positif itu sendiri. Dijamin oleh hukum belum tentu dilaksanakan oleh penegak hukum. Apa sebab? "kekuasaan penyidikan" tidak diawasi oleh hakim. Buktinya? kasus extra judicial killing terjadi. Siapa yang mampu menghidupkan orang mati dari tindakan polisi? Atau upaya praperadilan bisa menghidupkan orang mati? Sampai sini, terlihat paradoks dari proses SPP sebagai sebuah sistem yang bekerja. Sebagaimana Mayeux (2018) berkata: “the Body is a System or Constitution: So is a Tree: So is every Machine." Konstitusi termasuk proses SPP bagaikan mesin yang kaku oleh karena terpengaruh metode ilmu alam zaman pencerahan (enlightenment).
ADVERTISEMENT
SPP Model Herbet Packer
Di Indonesia, SPP mengadopsi model Herbert Packer sejak tahun 1960 yang terdiri dari crime control model (CPM) dan due process model (DPM). Berdasarkan literatur HAPID di Indonesia, ada kecenderungan dikotomis mengenai mana lebih baik antara CCM atau DPM. CCM menghendaki efisensi maka pelaku didudukan sebagai objek yang diperiksa pada level penyelidikan/penyidikan oleh polisi dan penuntutan oleh penuntut umum. Sedangkan DPM menganggap pelaku sebagai subjek bukan objek, karena menuntut fairness dan quality control yang menginisasi konsep “hak-hak tersangka” dalam hukum acara pidana.
Setiap orang yang diduga atau disangka dalam proses SPP mesti mendapatkan haknya antara lain akses bantuan hukum yang seirama dengan Miranda rules dimana si pelaku tidak boleh diinterogasi oleh polisi dan dituntut oleh penuntut umum tanpa didampingi Advokat apalagi sampai hati betul untuk dipukuli, disiksa, bahkan ditembak mati! Sebagai produk ide 60-an, model SPP Packer banyak kritik, misalnya tidak diperhatikannya kedudukan korban kejahatan dalam proses SPP serta hubungan antara SPP dan Feminisme yang kini mendorong orang untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Demokratisasi Sistem Peradilan Pidana
Dalam negara hukum demokratis, SPP bukan milik dan perbincangan sarjana hukum atau praktisi hukum semata, tetapi mesti milik semua warga negara. Tahun 2020 terbit artikel berjudul “Criminal Justice Citizenship” yang ditulis oleh McConkie, Jr (2020) selaku associate professor of law, Northern Illinois University College of Law dimana menawarkan ide tentang keanggotaan, partisipasi dan deliberatif dalam proses SPP. Terkait keanggotaan merujuk kepada kesetaraan para pihak yang terlibat dalam SPP. Mengenai partisipasi berbicara tentang manfaat sosial dan individu serta berbagi standar etika dan hukum. Terakhir, mengenai deliberatif menghendaki proses SPP terjadi diskusi yang wajar tanpa berdasarkan emosi dan ancaman.
Sebagai penutup, sudah barangtentu ide di atas perlu diperiksa dan dikaji lebih lanjut dengan karakter Pancasila dan UUD 1945 dan bukan disini tempatnya. Dengan mengingat KUHAP masuk Prolgenas tahun ini, kiranya sudah sepantasnya untuk memeriksa draft RUU No. 8 Tahun 1981 dengan bahan kajian yang bersifat penelitian empirik bukan sekedar perbandingan, misalnya dari kasus hukum konkret di Indonesia sendiri.
ADVERTISEMENT