Life Doesn’t End When You’re 17: Trauma and Mindfulness

Carissa Caroline
Hi! Carissa here. Currently studying Psychology at Brawijaya University.
Konten dari Pengguna
16 Desember 2023 14:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carissa Caroline tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi trauma. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi trauma. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Traumatic events, dua kemungkinan yang dapat dihasilkan darinya: either you survived or you stuck. Mungkin Anda pernah mendengar atau melihat trend TikTok ‘Life doesn’t end when you're 17’. Para partisipan dari trend ini ingin menunjukkan bahwa hidup tidak boleh ‘berakhir’ hanya karena suatu pengalaman traumatis. Trend ini bertujuan untuk meningkatkan awareness dari para audience bahwa life is worth living. And it sure is! In fact, life doesn’t end when you’re 10, 13, 19, 26, and so on.
ADVERTISEMENT
Namun, tentu tidak semudah itu. Untuk menyembuhkan luka bakar, kita perlu air, obat luka bakar, perban, dan yang paling penting; waktu. Luka itu tidak akan secara instan sembuh dalam hitungan detik, menit, jam, hari, bulan, bahkan tahun.
Perlu kesabaran, kelembutan, dan kesetiaan untuk merawat luka itu. Dan pada akhirnya, luka itu akan sembuh. Tetapi, ketika kita terlena dengan rasa sakit dari luka bakar itu dan tidak mengambil langkah apa pun untuk menyembuhkannya, luka itu akan semakin sulit untuk hilang atau mungkin akan mencapai kondisi yang semakin parah.
Same goes with traumas. Hidup tidak menjanjikan apa pun pada kita, namun kita sendiri yang menaruh ekspektasi padanya. Ada beberapa kenangan dan momen yang hidup di dalam kita untuk waktu yang terasa seperti selamanya. Sayangnya, ada kenangan yang tidak seindah ekspektasi kita. Kita disakiti dan berakhir terluka. Apabila luka itu tidak kita rawat, we’d end up in a dark place. Traumatized.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin mendapati diri kita bersembunyi dari masa lalu yang menyakitkan alih-alih menerima kehidupan dan bergerak maju. Sulit untuk bergerak maju apabila trauma itu masih terasa nyata dan kita masih terikat dengan luka itu.
Namun, hidup dalam bayang-bayang masa lalu tidak akan membawa kita pada jalan keluar dari rasa sakit. Justru dengan mereka ulang kejadian tersebut secara terus-menerus, hanya akan menambah penderitaan yang tak berujung.
Ketika mengalami traumatic events; rasanya hidup berhenti di sana. Sulit menerima realita bahwa hidup tetap berjalan. Rasanya tidak adil; saya belum sembuh dari luka saya, kenapa saya harus move on? Kenapa saya harus melanjutkan hidup?
Kembali lagi ke statement awal. Traumatic events, dua kemungkinan yang dapat dihasilkan darinya: either you survived or you stuck. Pilihan selalu kembali ke tangan kita. Apakah kita ingin terus terjebak dalam loop perasaan duka akibat masa lalu atau menerima apa yang terjadi pada kita dan bergerak maju.
ADVERTISEMENT
Luka bakar akan sembuh walaupun tetap meninggalkan bekas. Namun, kita bisa hidup dengan bekas luka itu tanpa merasakan sakitnya lagi. How? Dengan menerima realita apa adanya. Menerima bahwa ya, saya trauma; ya, saya tersakiti; ya, saya berduka untuk luka saya.
And this is where mindfulness kicked in.
Mindfulness merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh dan dengan sikap menerima tanpa mengadili (Mathias, dkk., 2008). Tindakan apa? Menerima realita. Tanpa mengadili apa? Realita tersebut. Dalam bukunya, Gerner (2005) menyebutkan ada tiga komponen utama dalam mindfulness, yaitu kesadaran (awareness), pengalaman saat ini (present experience), dan penerimaan (acceptance).
Awareness. Ketika kita ‘sadar’ bahwa luka yang kita peroleh dari pengalaman di masa lalu meninggalkan bekas dan trauma; sudah menjadi langkah awal dari proses menyembuhkan luka tersebut. Kesadaran berarti kita menyadari bahwa dalam diri ini ada hal yang tidak baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Ada hal yang mengganjal. Ada hal yang ingin diubah. Memiliki kesadaran juga berarti kita sadar bahwa trauma yang kita miliki saat ini merupakan buah dari kejadian di masa lampau. Kesadaran juga berarti kita sadar bahwa nasi sudah menjadi bubur, dan kita tidak dapat mengubah apa pun yang terjadi di masa lalu. Kesadaran juga berarti kita sadar bahwa despite the trauma, life’s still going on. Saat ini, at this very moment.
Present Experience. Menjalani hidup dengan luka sama sekali bukan hal yang mudah. Namun, kita dapat menjalani hidup sambil merawat luka itu. Jangan biarkan perasaan sakit menjebak kita dalam neverending loop of helplessness. Let’s start living, not just surviving.
Take a look around, lihat apa yang kita miliki saat ini di depan kita. Nikmati dan syukuri. Tarik napas panjang, rasakan sensasinya. Fokus pada momen saat ini. Fokus pada apa yang Anda miliki dan siapa diri Anda sekarang. Nikmati dan syukuri. Jangan lupa, bahagia bisa sesederhana memakan ice cream di tengah teriknya mentari dan memperoleh rasa segar.
ADVERTISEMENT
Acceptance. Lihat luka bakar yang sudah dirawat. Sembuh, bukan? Meskipun ada bekasnya, namun rasa sakit itu sudah tidak terasa lagi. Ketika kita menerima realita dengan apa adanya; menerima kejadian traumatis di masa lalu yang terjadi pada kita dengan apa adanya, menerima rasa sakit itu, kita juga menerima kenyataan bahwa hal itu merupakan part of our story and supposed to happen.
Tidak akan ada pertanyaan, penyesalan, dan dendam dalam diri kita. Bukan berarti kita ‘pasrah’ pada keadaan. Namun, menerima keadaan. Menerima apa yang sudah diberikan di piring kita. Menikmatinya. Dan kemudian, melanjutkan hidup.
‘Cause then again, life doesn’t end when you’re 17.