Tak Menutup Kemungkinan KPK Turut Bermain Politik

Konten dari Pengguna
13 Februari 2018 15:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikenal sebagai lembaga negara yang bertugas dalam upaya pencegahan dan penindakkan hukum terhadap kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia.
Karena sepak terjangnya tersebut, masyarakat kemudian begitu mengelu-elukan lembaga ini. Seakan lembaga tersebut merupakan "malaikat" yang tak memiliki kesalahan dan celah untuk melanggar ketentuan dalam UU. Apalagi tak bermain politik dengan kewenangan besar yang dimilikinya. Benarkah demikian?
ADVERTISEMENT
Mungkin kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, ini bisa membuka mata kita semua.
Alkisah, Marianus Sae selaku Bupati Ngada saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi suap terkait proyek pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam penangkapan itu, Marianus Sae tidak sendirian ketika KPK mengamankan dirinya pada saat OTT. Ada Baba Maming (pengusaha), Petrus (Kepala KCP BNI Bajawa), Santi (Psikolog teman Bupati dan tim uji calon Gubernur) dan Dino (Asisten Pribadi Bupati Ngada).
Dugaan Tindak Pidana suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Ngada itu adalah pekerjaan jalan di Kabupaten Ngada. Dengan total 6 proyek dan mencapai Rp 46 M.
ADVERTISEMENT
Namun, meski disebut sebagai OTT, faktanya ternyata KPK tidak mendapatkan barang bukti sama sekali dari operasi tersebut.
Di sisi lain, ternyata KPK sudah mengincar kasus ini sejak Desember 2017 lalu. Maka tidak tepat bila penangkapan Marianus Sae itu disebut OTT.
Padahal, kalau itu penangkapan maka harua dilengkapi beberapa persyaratan, seperti dilakukan oleh penyidik, ada barang bukti cukup, surat tugas dan pemberitahuan kepada keluarga. Faktanya itu tidak ada.
Dengan berbagai fakta tersebut, maka tindakan KPK tersebut bisa dikatakan cacat hukum. Hal itu bisa dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan bila mau ditempuh dengan cara praperadilan di PN.
Akhir-akhir ini, modus operandi OTT selalu dipergunakan oleh KPK dalam melakukan penangkapan terhadap beberapa target tertentu, khususnya para Kepala Daerah / Partai Politik.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini mengindikasikan bahwa KPK ikut bermain politik dan kemungkinan juga bertindak berdasarkan pesanan pihak-pihak tertentu, sehingga tidak sepenuhnya murni sebagai upaya penegakan hukum. Hal ini persoalan serius dalam penegakkan hukum oleh KPK.
Tindakan politis KPK itu diperkuat dengan adanya dugaan tebang pilih kasus. Lembaga anti-rasuah itu terlihat hanya menargetkan pejabat publik dari partai tertentu saja, khususnya partai politik selain PKS. Karena hingga saat ini, KPK tidak pernah menangkap Gubernur atau Bupati dari PKS.
Bukan karena partai tersebut sangat bersih, melainkan karena ada indikasi tebang pilih itu sendiri.
Dalam melihat KPK saat ini kita tak boleh naif apalagi polos. Mengandaikan sebuah negara bekerja tanpa kepentingan politik merupakan sebuah kekonyolan belaka.
ADVERTISEMENT
Karena apa? Lembaga itu selalu diisi oleh manusia. Meski telah dibatasi oleh peraturan sebagai pagar, namanya manusia selalu memiliki kepentingan. Pertemuan diantara kepentingan itu menciptakan kesepakatan-kesepakatan tertentu, termasuk dalam politik.
Untuk itulah KPK sebagai lembaga negara harus diawasi, dikontrol dan harus tunduk pada ketentuan UU. Itulah upaya membatasi kewenangan sebuah lembaga negara agar kekuasaannya terbatas dan tidak bertindak sewenang-wenang.
Karena sebagaimana ungkapan Lord Acton yang masih relevan saat ini, "power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely".