Menyoal Upah Minimum yang Berbeda-Beda dan Kritik yang Tidak Tepat

Konten dari Pengguna
8 Februari 2018 11:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hampir setiap tahun, kelompok masyarakat yang bekerja sebagai buruh melakukan demontrasi di jalan. Mereka biasanya menuntut adanya kenaikan gaji minimum kepada pemerintah.
Upah minimum secara konseptual merupakan batas minimal upah bulanan terendah dalam suatu wilayah, yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap, yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman pekerja. Upah minimum biasanya diteken setiap 1 November atas rekomendasi dari Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Penetapan Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Adapun KHL itu sendiri dihitung berdasarkan kebutuhan hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan mendasar yang meliputi kebutuhan akan pangan 2100 kkal perhari, perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya.
Untuk menetapkan KHL tersebut, Dewan Pengupahan biasanya melakukan survei terlebih dahulu di wilayahnya. Sehingga KHL yang dimaksud merupakan kebutuhan hidup yang ada berada dalam konteks wilayah tersebut. Itu yang menjadi dasar penetapan upah minimum.
Untuk itu, upah minimum akhirnya bisa berbeda-beda di tiap wilayah. Karena KHL di setiap wilayah juga berbeda-beda nilainya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh daya beli dan inflasi di daerah tersebut.
Dengan demikian, upah minimum tidak dapat disamakan di setiap daerah karena daya beli masyarakat dan nilai kebutuhannya juga berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Misalnya, sebuah keluarga di Jakarta rata-rata menghabiskan biaya hingga 300-400 ribu rupiah untuk makan dalam sehari, sedangkan di Jawa Tengah, misalnya, hanya menghabiskan biaya sekitar 100 ribu rupiah.
Jakarta sebagai pusat aktivitas ekonomi dan politik tentunya memiliki biaya hidup yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Tengah.
Perbedaan itu akhirnya mempengaruhi nilai nominal upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga tampak di hadapan publik bahwa upah minimum berbeda-beda di tiap wilayah.
Di sisi lain, upah minimum di atas juga tidak bisa diperbandingkan dengan upah di negara lain. Karena faktor pembandingnya bisa lebih kompleks. Tak hanya soal daya beli dan inflasi, namun juga harus dihitung nilai kursnya terhadap dollar. Selain itu juga harus dinilai aspek produktivitas negara tersebut dan kondisi perekonomiannya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu membandingkan upah minimum di Indonesia yang terlihat lebih rendah dengan upah di luar negeri, jelas harus memperhatikan aspek itu. Tak bisa dibandingkan secara langsung.
Dengan demikian, pernyataan Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Rusdi, bahwa upah Indonesia dikatakan jauh lebih rendah dibanding luar negeri karena melihat nilai nominalnya saja, jelas tidak tepat.
Apalagi membandingkan upah Jawa Tengah dengan upah di Jakarta yang katanya memiliki selisih hampir setengah. Jelas saja, karena memang faktor seperti yang dijelaskan di atas.
Kita harus paham bahwa adil itu bukan berarti harus sama rata. Menjadi lebih tepat bila adil itu harus dimaknai sebagai sesuatu yang proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya yang nyata. Itulah adil.
ADVERTISEMENT