Literasi Pancasila dibalik Tembok Penjara

24 November 2021 13:07 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Sosialisasi dan Komunikasi BPIP, M. Akbar Hadiprabowo saat mengunjungi perpustakaan Merah Putih di Lapas Klas IIA Bengkulu (Kamis, 18/11)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Sosialisasi dan Komunikasi BPIP, M. Akbar Hadiprabowo saat mengunjungi perpustakaan Merah Putih di Lapas Klas IIA Bengkulu (Kamis, 18/11)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bengkulu, Seorang wargabinaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Bengkulu, Sebut saja R, narapidana kasus narkoba terlihat asyik komat kamit menyimak sebuah buku bertajuk “Kerukunan Umat Beragama” karya Heliarta yang diterbitkan oleh Chyyas Putra Semarang.
ADVERTISEMENT
Buku setebal 44 halaman itu baru dibacanya separuh. Dari buku itu, dia baru mengenal seluk beluk tentang profil agama-agama resmi yang ada di Indonesia.
"Dari buku ini saya belajar tentang toleransi antar umat beragama," ujar R, saat ditemui wartawan pada Kamis (18/11/2021) sore, ia mengaku sangat terbantu dengan kehadiran perpustakaan mini ini.
”Ngisi waktu kosong. Daripada ngelamun, enak baca di sini,” kata wargabinaan yang diganjar 14 tahun pidana penjara.
Sebelum masuk penjara, diakui kegiatan membaca buku hampir tidak pernah dilakukan oleh R.
Namun, ia seakan ”dipaksa” mengakrabi lembar demi lembar kertas yang dengan mudah dapat diaksesnya melalui Perpustakaan Merah Putih yang disediakan pihak Lapas, sehingga masa pidana di penjara bisa dilewatinya.
ADVERTISEMENT
R biasanya membaca buku-buku tentang agama atau peternakan, misalnya cara beternak ikan atau ayam. R ”menabung” pengetahuan tentang budidaya hewan sehingga siap untuk membuka usaha setelah waktu bebas tiba nanti.
Buku-buku tersebut dibacanya di meja yang disediakan pihak perpustakaan sembari menghirup sedikit kelegaan setelah semalaman terkungkung di selnya. Dengan membaca, ia dapat membunuh waktu. Saat ini, ia baru menjalani masa pidananya selama tiga tahun.
Tidak hanya R yang terlihat sedang membaca buku di perpustakaan. Tetapi, ada puluhan warga binaan lainnya yang memiliki hobi membaca atau sekadar mengisi waktu luangnya.
Perpustakaan Merah Putih di Lapas Bengkulu itu hanya sebuah bangunan kecil seluas 3 meter x 4 meter persegi yang menempati salah satu sudut area berolahraga lingkungan Lapas yang berdiri di atas lahan seluas 52.134 meter persegi. Bangunannya pun berbahan dasar tripleks. Meskipun sederhana, perpustakaan itu menjadi pusat literasi bagi para narapidana yang tinggal di lapas tersebut.
ADVERTISEMENT
Kepala Lapas Kelas II A Bengkulu Ade Kusmanto mengatakan, Perpustakaan Merah Putih ini dibentuk untuk memberikan sarana kepada warga binaan. Dengan harapan, dengan membaca mereka bisa menambah pengetahuannya.
Terkait pengadaan buku-buku, Ade mengungkapkan pihak Lapas bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan Propinsi Bengkulu. Adapun judul buku sangat beragam antara lain buku tentang pengetahuan umum, buku yang bersifat wawasan kebangsaan, nasionalisme, kepahlawanan, buku motivasi, dsb dengan harapan warga binaan memiliki nilai-nilai Pancasila. Tidak lagi melanggar hukum, tapi memahami norma-norma yang berlaku di masyarakat, lebih kreatif dan innovatif.
“Soal buku-buku ini, saat ini jumlahnya masih di kisaran 300-an buku. Pihak Lapas terus bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan Provinsi Bengkulu. Nanti ada perjanjian kerja sama. Diharapkan kegiatan ini tidak hanya di perpustakaan (membaca buku saja), tapi ada kegiatan lanjutan lain seperti bedah buku, lomba literasi," kata Ade.
ADVERTISEMENT
Lanjut menurut Ade buku-buku yang boleh masuk adalah buku yang tidak mengandung isi tentang radikalisme maupun yang mengundang perpecahan.
"Kami mengedepankan buku-buku motivasi, bagaimana bangkit dari kesalahan. Atau buku-buku keterampilan, dan buku-buku terkait kebangsaan dan Pancasila," kata Ade.
Direktur Sosialisasi dan Komunikasi BPIP, M. Akbar Hadiprabowo menyerahkan secara simbolis literasi Pancasila kepada Kalapas Klas IIA Bengkulu, Ade Kusmanto
Perpustakaan Pancasila di Lapas
Direktur Sosialisasi dan Komunikasi, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) M Akbar Hadi Prabowo saat mengunjungi perpustakaan tersebut mengatakan, bahwa budaya literasi diyakini ampuh menumbuhkan kecintaan terhadap Tanah Air sekaligus aktualisasi Pancasila.
"Literasi mendorong Warga Binaan bertransformasi menjadi manusia baru. Lebih kreatif, inovatif, dan bermanfaat bagi diri sendiri, keluarganya dan masyarakat sekitarnya," ujar Akbar saat meninjau Perpustakaan Merah Putih di Lapas Kelas II A Bengkulu.
Akbar mencontohkan Presiden pertama Sukarno yang menjadikan penjara sebagai tempat transformasi diri.
ADVERTISEMENT
"Bung Karno dipaksa masuk Lapas Banceuy dan Lapas Sukamiskin, lalu diasingkan di beberapa tempat salah satunya ke Bengkulu. Tapi beliau ikhlas. Malah makin rajin beribadah, membaca buku, mempelajari Islam dan Alquran,"kata Akbar yang mewakili BPIP saat menyerahkan bantuan literasi Pancasila dalam bentuk buku dan majalah yang terkait dengan Pancasila dan wawasan kebangsaan untuk dijadikan koleksi di Perpustakaan Merah Putih Lapas Kelas II A Bengkulu.
Akbar mengatakan, dengan aturan di Lapas dan Rutan yang melarang setiap warga binaan mengakses telepon genggam, perpustakaan menjadi sarana yang efektif untuk mengisi waktu luang mereka. Sehingga, perpustakaan sangat cocok berada di dalam Lapas karena bisa dimanfaatkan dengan baik oleh semua warga binaan.
Akbar juga mengingatkan tentang pentingnya seleksi terhadap buku-buku yang masuk ke perpustakan di Lapas. Dia mengingatkan agar buku-buku yang masuk tak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
ADVERTISEMENT
"Dengan membaca buku saja bisa memengaruhi pola pikir seseorang. Nah ini makanya kita harus menghadirkan literasi yang betul-betul sejalan dengan nilai-nilai Pancasila," kata Akbar.
Akbar mengatakan, pembinaan dan sosialisasi nilai-nilai Pancasila di lingkungan Lapas dan Rutan merupakan program kerja antara BPIP dan Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini berdasarkan MoU antara BPIP dan Kemenkumham pada 2019 dan perjanjian kerja sama antara Deputi BPIP dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada 2021 ini.
"Salah satu poin kerja samanya adalah soal mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila di lingkungan Lapas yang salah satunya kerja sama membentuk perpustakaan Pancasila," kata Akbar.
Sebelumnya, pada pertengahan November 2021 lalu, Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi telah menandatangani prasasti Perpustakaan Pancasila dan Klinik Pancasila di UPT Pemasyarakatan Sewilayah Aceh. Namun, untuk pertama kali perpustakaan Pancasila diresmikan oleh Kepala BPIP pada Juni 2021 lalu di Lapas Samarinda.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kesempatan, Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi mengungkapkan bahwa membaca itu sebuah mukjizat bermanfaat sepanjang zaman.
Bahkan, ia menilai dengan memanfaatkan buku-buku yang ada di perpustakan, seseorang termasuk narapidana akan memiliki jiwa baru dan juga keterampilan baru.
Yudian menyemangati para napi bahwa penjara bukanlah akhir perjalanan hidup.
Banyak tokoh di dalam sejarah yang merasakan dinginnya hidup di balik jeruji besi. Presiden RI pertama Soekarno telah membuktikannya. Semasa hidupnya, Soekarno pernah menghuni Penjara Banceuy Bandung, LP Sukamiskin, hingga sejumlah tempat pengasingan.
Kondisi tersebut membuat Soekarno muda menenggelamkan diri dalam buku bacaan.
”Dengan berbagai alasan, banyak tokoh dipenjara sejak dahulu kala,” ujarnya.
Tak hanya Soekarno, pemimpin-pemimpin dunia lain juga pernah dipenjara.
ADVERTISEMENT
Sebut saja Benazir Bhutto (perempuan perdana menteri pertama di Pakistan), Fidel Castro (Presiden ke-17 Kuba), Xanana Gusmao (pernah menjadi Presiden dan Perdana Menteri Timor Leste), dan Nelson Mandela (Presiden Afrika Selatan yang mendekam di penjara selama 27 tahun dari pidana seumur hidup yang dijatuhkan kepadanya).
Meski badan terperangkap dan tak dapat bergerak bebas, tebalnya tembok penjara tak mampu mengerangkeng pikiran dan jiwa bebas.
Buktinya, tak sedikit karya besar yang justru dilahirkan di saat pengarangnya mengalami krisis kebebasan di fase kehidupannya.
Tak sedikit karya-karya besar yang dilahirkan dari penjara. Misalnya, buku Description of the World atau yang dikenal dengan Travel karya Marco Polo yang menceritakan petualangannya selama 24 tahun di Benua Asia, termasuk masa-masa dia mengabdi pada Kubilai Khan.
ADVERTISEMENT
Mein Kampf juga dihasilkan oleh Adolf Hitler ketika berada di penjara selama 13 bulan karena memimpin Gerakan Munich Beer Hall Putsch tahun 1923.
Soekarno sendiri menulis Indonesia Menggugat yang merupakan pleidoi atau pembelaannya saat ditangkap Belanda dan kemudian dihukum selama 4 tahun.
Di masa berikutnya, ada Tan Malaka yang menuliskan pergulatan batinnya dalam buku Dari Penjara ke Penjara.
Masyarakat tentu juga tak lupa dengan karya besar Pramoedya Ananta Toer, tetralogi Pulau Buru, yakni Bumi Manuisa, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Karya Pram tersebut dihasilkan ketika ia dipenjara di Pulau Buru selama 10 tahun.
Melihat kenyataan di atas, benar adanya bahwa penjara bukanlah menjadi akhir segalanya.
Sebuah krisis di dalam fase hidup seseorang justru menjadi pendorong untuk melahirkan karya-karya terbaik dan monumental.
ADVERTISEMENT
Proklamator kita, Bung Hatta, menyadari hal tersebut.
Ia bahkan sempat mengungkapkan kerelaannya hidup di penjara dengan catatan ditemani buku.
Ia sempat berujar, ”Aku rela di penjara asalkan bersama buku. Sebab, dengan buku, aku bebas.”