Tips Menghadapi Netizen Toxic Ala Biksu di Surabaya

Konten Media Partner
28 Agustus 2023 10:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kajian online yang digelar Young Buddhist Association of Indonesia (YBAI) bersama Young Buddhist Association of Malaysia (YBAM).
zoom-in-whitePerbesar
Kajian online yang digelar Young Buddhist Association of Indonesia (YBAI) bersama Young Buddhist Association of Malaysia (YBAM).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekarang ini akses media sosial cukup mudah digunakan, sehingga setiap orang mempunyai akses buat mengaspirasikan pendapat mereka di media sosial. Sayangnya tak sedikit dari mereka yang menjadi netizen toxic. Netizen toxic biasanya akan langsung berkomentar yang jelek-jelek. Hal ini cukup sering dialami Samanera Abhisarano, Lecturer of STAB Kertarajasa, Conceptor of Go Mindful & Kepo Podcast YouTube Channel.
ADVERTISEMENT
Samanera mengungkapkan, dalam beberapa komentar YouTube yang dia kelola, sudah beberapa kali dia disebut botak atau gundul. Bagi dia, komentar semacam ini sangat menarik dan bisa dijadikan latihan untuk melatih kesabaran.
Bahkan, di sisi lain komentar semacam ini bisa menjadi bahasan baru bagi dia bersama timnya untuk memberikan penjelasan yang lebih komprehensif tentang berbagai hal yang belum orang lain pahami.
“Jadi, toxic people di media sosial itu justru feedback dari orang yang paling kita tunggu. Kalau bukan mereka justru channel kita tidak akan berkembang. Sehingga sebanyak-banyaknya harus kita jaring karena itu yang membuat konten kita menjadi lebih viral, kalau tidak ada mereka konten kita mungkin sepi. Makanya, kalau bisa bikin sesuatu yang sensitif supaya lebih banyak engagement-nya,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam kajian online yang digelar Young Buddhist Association of Indonesia (YBAI) bersama Young Buddhist Association of Malaysia (YBAM), akhir pekan kemarin.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, di sisi yang lain toxic itu adalah bentuk alarm atau warning bagi pengelola konten tersebut bahwa ada batasan-batasan yang meskipun itu benar, tapi tidak seharusnya dibahas.
“Jadi, jadikanlah toxic itu sebagai inspirasi untuk kita bisa mendapatkan gagasan atau ide konten berikutnya. Bagi kami, itu menjadi clue yang harus kami perhatikan. Jadi, kita jangan takut kepada mereka (netizen), justru itu harta yang sangat berharga bagi kita,” jelasnya.
Berbeda dari Samanera, Chairperson of Publication Committee, Young Buddhist Association of Indonesia Jessclyn Tjandra, mengakui bahwa apabila ada netizen toxic dan sudah tidak bisa diajak komunikasi dengan baik, dia bersama timnya mengambil tindakan tegas dengan mendelete komentar tersebut karena dinilai akan merusak pesan yang akan disampaikan dalam konten yang diupload tersebut.
ADVERTISEMENT
“Tapi kalau masih bisa diajak diskusi dan tidak terlalu parah, tentu kita tetap biarkan,” kata dia.