news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Sunan Bungkul, Petinggi Majapahit yang Jadi Penyebar Agama Islam

Konten Media Partner
9 Juni 2019 6:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kompleks pemakaman Ki Ageng Bungkul di Surabaya. Foto: Amanah Nur Asiah/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Kompleks pemakaman Ki Ageng Bungkul di Surabaya. Foto: Amanah Nur Asiah/Basra
ADVERTISEMENT
Popularitas Taman Bungkul bukan hanya bergema di Indonesia. Sejak diresmikan pada tahun 2007, taman yang berlokasi di Jalan Raya Darmo Surabaya ini mendapat penghargaan 'The 2013 Asian Townscape Award' dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sebagai taman terbaik se-Asia tahun 2013.
ADVERTISEMENT
Maka tak heran, jika banyak masyarakat yang berkunjung di Taman Bungkul untuk sekadar menghirup udara segar sembari menikmati kuliner di sekitar Taman Bungkul.
Di balik suasananya yang sejuk serta beragam fasilitas yang memanjakan pengunjung, ternyata di taman yang luasnya mencapai 900 meter ini terdapat sebuah makam yang hingga kini masih ramai dikunjungi para peziarah.
Makam Sunan Bungkul. Foto: Amanah Nur Asiah/Basra
Makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul, tokoh yang menyebarkan agama Islam di akhir kejayaan Kerajaan Majapahit. Mbah Bungkul saat itu berdakwah di wilayah Surabaya dan sekitarnya.
Nama asli Sunan Bungkul adalah Ki Ageng Supo atau Mpu Supo, dan ia merupakan bangsawan di zaman Kerajaan Majapahit. Setelah mendapat hidayah dan memeluk Islam, Sunan Bungkul mengganti namanya menjadi Ki Ageng Mahmuddin/Syaikh Mahmuddin (1400-1481 M).
ADVERTISEMENT
Diketahui, dulunya Sunan Bungkul adalah seorang petinggi Kerajaan Majapahit, setingkat Tumenggung. Beliau diminta oleh Raja Majapahit, yang saat itu dipimpin Brawijaya, untuk menemani putra mahkota, yang lebih tertarik belajar agama dibanding mewarisi kerajaan, ke Sunan Bejagung di Tuban.
Putra Mahkota dan Tumenggung akhirnya belajar agama ke Sunan Bejagung yang memiliki nama asli Syaikh Abdullah Asy’ari. Menurut sejarah, Syaikh Abdullah Asy'ari adalah adik dari Syaikh Maulana Ibrahim Asmoroqondhi, ayah Sunan Ampel dan kakek dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Di kemudian hari, putra mahkota Majapahit tersebut dijadikan menantu oleh Sunan Bejagung.
Kompleks Makam Sunan Bungkul. Foto: Amanah Nur Asiah/Basra
Hingga akhir hayatnya, sang putra mahkota tidak tertarik kembali ke Majapahit. Makam putra mahkota tersebut kini ada di Desa Bejagung, Tuban, dan lebih dikenal dengan makam Sunan Bejagung Kidul. Sedangkan makam Syaikh Abdullah Asyari atau Sunan Bejagung disebut makam Sunan Bejagung Lor.
ADVERTISEMENT
Selepas kepergian Sunan Bejagung Kidul, Sunan Bungkul kembali ke Majapahit. Dalam perjalanannya, dia terus menyebarkan ajaran Islam hingga ke daerah Pati, Jawa Tengah.
Menurut kisah, Sunan Bungkul usianya mencapai sekitar 300 tahun. Bahkan Sunan Bungkul mempunyai banyak murid hingga di daerah Pati, Jawa Tengah. Sesampainya di Majapahit, Sunan Bungkul hidup di daerah Bungkul. Karena itu dia lebih dikenal sebagai Susuhunan Bungkul atau Sunan Bungkul.
Tidak diketahui pasti bagaimana makam Sunan Bungkul ada di Surabaya, sedangkan dulu dia hidup di Majapahit (daerah Trowulan, Mojokerto). Buku Oud Soerabaia yang ditulis GH Von Faber, ahli sejarah asal Belanda, menyebut bahwa saat zaman kolonial, Sunan Bungkul sengaja tidak mengungkap jati diri yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam buku yang diterbitkan pada 1931 itu, tertulis, orang akan celaka (kualat, bahasa Jawa), jika mencoba mengetahui siapa sebenarnya Sunan Bungkul.
Seperti apapun kisah yang diterima masyarakat tentang Sunan Bungkul, yang jelas kini Makam Sunan Bungkul menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang dilindungi Pemerintah Kota Surabaya.
(Reporter: Amanah Nur Asiah/ Editor: Windy Goestiana)