Jurnal: 'Dominic Toretto' Membawa Saya ke Tempat Lahirnya Pancasila

15 Juli 2017 21:13 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Etape kedua  Tour de Flores (Foto: Tour de Flores 2017)
zoom-in-whitePerbesar
Etape kedua Tour de Flores (Foto: Tour de Flores 2017)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu silam, saya pernah menyaksikan sebuah video yang beredar di media sosial Twitter. Dalam video tersebut, saya melihat dua orang pengendara di Jakarta adu jotos di lampu merah.
ADVERTISEMENT
Usut punya usut, penyebabnya adalah ada salah satu dari pengendara tersebut yang tidak terima diklakson sang lawan ketika lampu belum beralih kelir menjadi hijau. Entah siapa yang menang di situ -- dan saya pun tidak peduli --, tetapi mungkin kita semua bisa bersepakat dalam satu hal: bunyi klakson memang menyebalkan.
Saat ini, saya sedang berada di Pulau Flores yang jaraknya tiga jam perjalanan via udara dari Ibu Kota. Setelah kemarin mendarat di Bandar Udara Frans Seda dan bermalam sehari di Maumere, pada hari kedua ini saya bergerak menuju Ende.
Ende, bagi saya, mirip dengan Alan Tudyk. Keduanya punya nama yang tingkat familiaritasnya di kuping publik sama-sama samar. Maksudnya begini. Ketika Anda mendengar nama "Ende" dan "Alan Tudyk", saya yakin di benak Anda pertanyaan yang muncul adalah: Kayak pernah denger, ya, tapi dari mana?
ADVERTISEMENT
Nah, di dunia perfilman Hollywood, Alan Tudyk adalah salah satu aktor yang punya predikat "That Guy Actor". Artinya, para pemirsa entah hanya pernah dengar nama tapi tak tahu rupanya, atau sebaliknya. Padahal, pria yang mencuat lewat serial televisi 'Firefly' ini sudah seringkali muncul entah di layar perak maupun emas.
Ende pun begitu. Kota ini terasa begitu familiar, tetapi juga begitu asing. Jika Anda tak familiar dengan nama Ende, coba ingat-ingat lagi duit lima ribuan yang muncul di era Orde Baru. Di sana, ada gambar Danau Kelimutu alias Danau Tiga Warna yang menurut masyarakat sekitar merupakan gerbang surga dan neraka. Nah, danau itu terletak di Ende.
Masih belum familiar atau belum cukup tua untuk mengingat duit yang saya maksud? Oke. Ende nyantol di pikiran Anda karena guru sejarah Anda dulu pasti pernah bercerita bahwa Pemerintah Kolonial Belanda pernah mengasingkan Ir. Soekarno ke sini.
ADVERTISEMENT
Konon, di kota ini pulalah rumusan awal Pancasila lahir. Di bawah pohon sukun, di tempat yang kini menjadi Lapangan Pancasila, Soekarno duduk dan menuliskan konsep awal Pancasila. Tak heran jika nama Soekarno begitu dominan di sini. Ada jalan yang diberi nama Jalan Soekarno; jalan yang kebetulan menjadi lokasi finis Tour de Flores etape kedua. Lalu, rumah tempat Putra Sang Fajar dulu bertempat tinggal pun menjadi salah satu atraksi turisme utama di sini.
Etape kedua Tour de Flores (Foto: Tour de Flores 2017)
zoom-in-whitePerbesar
Etape kedua Tour de Flores (Foto: Tour de Flores 2017)
Lalu, apa hubungannya semua ini dengan klakson? Ya, tidak ada. Ketika saya bicara soal klakson tadi, saya ingin bercerita soal perjalanan dari Maumere menuju Ende yang melewati jalan berbukit dan berliku.
Anda tahu Dominic Toretto? Well, maaf-maaf saja, Dominic, tetapi sopir minibus yang saya dan rekan-rekan tumpangi tadi jauh lebih hebat dari dirimu dalam urusan setir-menyetir. Saya yakin apabila Dom -- sapaan akrab Toretto -- diminta untuk menyetir di medan seperti Maumere-Ende dengan muscle car-nya, dia pasti akan nyemplung ke jurang.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, saya sudah pernah melewati jalur macam itu, yakni ketika sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata saat masih kuliah dulu. Kala itu, saya bertugas di Wonosobo dan dari Yogyakarta -- tempat saya berkuliah --, saya lebih suka mengambil jalur alternatif via Sapuran alih-alih Temanggung. Alasannya, karena lebih dekat.
Namun, jalur itu punya dua kekurangan: jalannya sempit dan tidak rata. Alhasil, saya pun harus ekstra berhati-hati setiap kali melintasi jalur itu.
Nah, jalan Maumere-Ende kurang lebih seperti itu. Naik, turun, berkelok, tetapi untungnya kondisi jalan jauh lebih baik ketimbang Sapuran. Tetapi tetap saja. Mengendarai minibus di jalur macam itu butuh keahlian khusus. Apalagi untuk mengendarainya dengan kecepatan tinggi.
Di situlah sopir kami berubah menjadi sosok yang lebih hebat dibanding Dom Toretto. Tanpa ba-bi-bu, kelokan dia hajar. Jika ada kendaraan lain yang menghalangi, bahkan kendaraan polisi sekalipun, tetap akan dia dahului. Kami memang terburu-buru, tetapi tidak seterburu-buru itu juga karena ketika kami tiba di Ende, kami masih punya sisa satu setengah jam untuk menunggu pebalap selesai.
Etape kedua  Tour de Flores (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Etape kedua Tour de Flores (Foto: Yoga Cholandha/kumparan)
Perlu diingat bahwa mobil yang dikendarai sang sopir adalah minibus yang dimensinya jauh lebih besar dibanding Ford Mustang milik Toretto. Dari situ saja sang sopir sudah unggul. Belum lagi soal senjata andalan di mobil mereka.
ADVERTISEMENT
Jika Toretto harus mengandalkan NOS untuk memacu mobilnya dengan optimal, sopir kami hanya mengandalkan klaksonnya saja. Ya, dalam situasi apa pun, tak peduli siapa pun yang dihadapi, mau itu polisi atau bocah-bocah, sopir kami nyaris tak berhenti membunyikan klakson. Ini berlangsung sejak kami bertolak dari Maumere pukul 09.30 WITA sampai pukul 12.00 WITA.
Awalnya, saya sempat kesal juga dengan bebunyian itu. Akan tetapi, saya pun kemudian jadi terbiasa. Tak terasa tiga kali saya tertidur pulas. Selain karena dininabobokan bunyi klakson tadi, angin sepoi-sepoi yang bertiup pun turut membuai saya ke alam bawah sadar.