Sengketa Pileg 2024: Jumlah Perkara Meningkat, Independensi MK Kembali Dipertanyakan

Konten Media Partner
29 April 2024 20:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Sengketa Pileg 2024: Jumlah Perkara Meningkat, Independensi MK Kembali Dipertanyakan

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi mulai memeriksa permohonan sengketa Pemilihan Legislatif 2024 pada Senin (29/04). Mereka akan menangani 297 perkara, lebih banyak ketimbang yang mereka sidangkan pada Pileg 2019.
Peningkatan jumlah perkara ini, menurut pakar, menunjukkan “kualitas pemilu yang menurun” dan “ketidakmampuan penyelenggara pemilu menyelesaikan persoalan di tingkat lokal”.
Siapa saja yang mengajukan sengketa pileg kali ini? Apa preseden yang muncul pada lima tahun lalu? Dan bagaimana pro-kontra yang mengiringi sengketa pileg saat ini? Berikut rangkumannya.

Mengapa jumlah perkara bertambah?

Permohonan sengketa Pileg 2024 yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi berjumlah 297 perkara.
Dari angka itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan pihak yang paling banyak mendaftarkan perkara. Partai yang gagal lolos ke DPR karena tak memenuhi ambang batas parlemen itu mendaftarkan 29 perkara. Merujuk penghitungan KPU, secara nasional mereka meraih 5,8 juta suara (3,7%).
Secara berturut-turut, partai yang mengajukan permohonan sengketa terbanyak berikutnya adalah Nasdem (20 perkara), PAN (19), Demokrat dan Gerindra (17), Golkar (14), PDIP (13), dan PKB (12).
Sejumlah partai lain juga mengajukan permohonan sengketa hasil Pileg ke MK, tapi di bawah 10 perkara. Partai itu adalah Partai Bulan Bintang, Perindo, Hanura, PKN, Gelora, PKS, PSI, Partai Garda Republik Indonesia, Garuda, Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera Aceh, dan Partai Nanggroe Aceh.
Di luar politik, 126 permohonan sengketa lainnya diajukan oleh perorangan, yaitu para calon anggota legislatif di berbagai tingkat, dari DPR, DPD, hingga DPRD.
Jumlah permohonan perkara Pileg 2024 yang diterima MK lebih banyak ketimbang Pileg 2019 yang berjumlah 260 perkara.
Menurut Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu, Kaka Suminta, peningkatan ini dipicu kualitas penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu yang menurun.
Pileg di sejumlah daerah, menurut Suminta, berlangsung dengan intimidasi dan kecurangan. Pemegang hak suara, berdasarkan hasil pemantauannya, tidak secara bebas menentukan hak pilih mereka.
Menurut Suminta situasi yang melanggar asas pemilu tersebut diperburuk kinerja para penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu.
“Bawaslu tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya secara penuh sesuai peraturan perundangan. Mereka tidak melakukan penindakan yang bisa menjaga keadilan pemilu,” kata Suminta.
Dalam berbagai kesempatan, komisioner Bawaslu RI menyatakan bahwa mereka selalu bertindak netral dan tegas dalam menangani dugaan pelanggaran yang terjadi.
Pekan lalu, mereka memerintahkan anggota Bawaslu di daerah untuk mempersiapkan segala bukti untuk menghadapi sengketa hasil Pileg di MK.
"Muka Bawaslu ada pada kita, maka ini pertanggungjawaban kita pada negara. Ini tanggung jawab bersama. Silakan bekerja, selamat berjuang," ujar anggota Bawaslu RI, Totok Hariyono, dalam keterangan tertulis.
Suminta juga menyorot bagaimana selama Pemilu 2024 berlangsung, muncul berbagai dugaan ketidaknetralan anggota KPU. Namun dugaan itu, kata dia, terus-menerus menjadi desas-desus karena tidak ditindak atau dibuktikan secara hukum.
“Di beberapa daerah, anggota KPU diduga terlibat dalam sejumlah kecurangan. Ini memicu penurunan kualitas pemilu,” ujar Suminta.

Sengketa terbanyak dari Papua Tengah

Jika dirinci per provinsi, Provinsi Papua Tengah menjadi daerah dengan jumlah permohonan sengketa terbanyak, dengan total 26 perkara. Data ini dipaparkan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, kepada pers di Jakarta, Senin (29/04).
Di Papua Tengah—provinsi yang baru diibentuk tahun 2022—enam kabupaten menerapkan sistem noken tanpa pengecualian. Menurut sistem ini, pemungutan suara tidak dilakukan dengan prinsip ‘satu orang satu suara’ melainkan kesepakatan bersama di antara suatu kelompok warga untuk memilih calon tertentu.
Pada rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat nasional, Maret lalu, Papua Tengah memicu kritik dari perwakilan partai politik. Yang dipersoalkan saat itu adalah dugaan rekapitulasi di tingkat provinsi yang tidak transparan dan KPU provinsi yang tidak mengakomodasi keberatan saksi partai.
Menurut Kaka Suminta, persoalan yang muncul di Papua secara umum dimulai dari proses rekrutmen penyelenggara pemilu.
“Atas dasar terjadi intimidasi, mereka dengan mudah membawa hasil penghitungan suara seadanya. Mereka tidak menyelesaikan permasalahan di daerah, tapi ke pusat dan kini ke MK,” ujar Suminta.
“Seharusnya penyelenggara pemilu menyelesaikan masalah di daerah secara maksimal. Makna dari persoalan ini: supervisi KPU lemah,” tuturnya.
Pada sidang di Gedung MK, Senin (29/04), Partai Gerindra membuat dalil bahwa terjadi kecurangan terstruktur dalam pemungutan suara berbasis noken di Papua Tengah. Mereka menuding, hasil rekapitulasi suara mereka berubah-ubah.
“Suara yang sudah diikat dengan sistem noken pada setiap distrik dihilangkan begitu saja pada saat pleno tingkat kecamatan,” kata Subadria, kuasa hukum Gerindra dalam sidang.
“Hasil yang diperoleh dari rekapitulasi kecamatan juga bisa berubah drastis di pleno tingkat kabupaten, begitu seterusnya hingga pleno tingkat provinsi,” ujar Subadria.
Gerindra meminta MK membatalkan hasil rekapitulasi KPU dan memerintahkan pemilihan suara ulang di enam kabupaten: Puncak Jaya, Paniai, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Deiyai.
Pada sidang hari pertama, PDIP juga memperkarakan hasil rekapitulasi suara di Papua Tengah, yaitu di Dapil 3 dan 5. Partai banteng membuat dalil serupa dengan Gerindra, bahwa suara mereka berubah dari tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Partai Garuda, di sisi lain, mempersoalkan hasil rekapitulasi suara Dapil 1 Papua Tengah. Mereka menuduh terjadi pelanggaran administratif dan pencurian suara di Distrik Sugapa dan Distrik Hitadipa. Partai Garuda membuat klaim, suara mereka di dua distrik itu berubah dari 4.666 suara menjadi nol.

Independensi MK lagi-lagi dipertanyakan

Setidaknya terdapat dua hal yang bisa membuat penanganan sengketa Pileg 2024 bermasalah secara etis, menurut Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Pertama, kata Bivitri, hakim konstitusi Anwar Usman semestinya tidak dilibatkan dalam seluruh proses penanganan perkara.
November lalu, saudara ipar Presiden Joko Widodo ini diberhentikan secara tidak hormat dari kedudukan ketua MK pasca putusan Majelis Kehormatan MK. Dia terbukti melanggar lima prinsip yang tertuang dalam Sapta Karsa Hutama: ketidakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, serta kepantasan dan kesopanan.
Persoalan kedua, menurut Bivitri, ada pada sosok hakim konsitusi Asrul Sani. Asrul berkarier sebagai politikus PPP sebelum mengucapkan sumpah jabatan sebagai hakim MK pada 17 Januari lalu.
“Kalau benar mau etis, memperbaiki kewibawaan, MK harus serius menghindari conflict of interest,” kata Bivitri.
“Anwar Usman tidak ikut sama sekali dan sewaktu Rapat Permusyawaratan Hakim yang berkaitan dengan PPP, Asrul Sani tidak boleh ikut,” ujarnya.
Meski tidak melibatkan Anwar maupun Asrul, Bivitri menilai proses penanganan sengketa Pileg 2024 tidak akan terganggu, termasuk dari segi komposisi hakim.
“Kemarin waktu sidang sengketa Pilpres, komposisi hakim juga tidak ganjil,” kata Bivitri.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono, angkat bicara terkait potensi relasi kepentingan antara Asrul dan PPP—pihak yang mendaftarkan perkara terbanyak ke MK.
Fajar berkata, Asrul akan tetap mengikuti Rapat Permusyawaran Hakim dalam perkara terkait PPP, tapi tidak akan ikut mengambil putusan. Dia berkata, Asrul tidak dilarang oleh Majelis Kehormatan MK untuk ikut menyidangkan sengketa Pileg 2024.
"Memang Hakim Konstitusi Arsul Sani sudah jauh-jauh mengirimkan sinyal bahwa beliau tidak akan ikut mengadili perkara yang berhadapan dengan PPP,” ujar Fajar.
“Kemudian, RPH memutuskan dia ikut memeriksa, mengadili, tapi tidak ikut mengambil keputusan," kata Fajar kepada pers, Senin (29/04) ini.
Dalam penanganan sengketa Pileg 2024, MK membentuk tiga panel yang masing-masin terdiri dari tiga hakim.
Panel pertama beranggotakan Suhartoyo (ketua), Daniel Yusmic Foekh, dan Guntur Hamzah. Panel kedua berisi Saldi Isra (ketua), Ridwan Mansyur, dan Asrul Sani.
Adapun panel ketiga terdiri dari Arief Hidayat (ketua), Anwar Usman, dan Enny Nurbaningsih. Tiga panel hakim ini memiliki waktu 30 hari untuk menuntaskan seluruh perkara yang mereka periksa, atau maksimal 10 Juni 2024.

Bagaimana putusan MK pada Pileg 2019?

MK menyidangkan 260 perkara sengketa Pileg 2019. Dari jumlah itu, MK hanya mengabulkan gugatan pada 12 perkara.
Secara rinci, merujuk putusan MK, 106 perkara ditolak, 99 tidak dapat diterima, 33 gugur, dan 10 perkara lainnya ditarik kembali oleh pemohon.