Rempang Eco City: Belasan Kampung Adat Terancam Proyek Strategis Nasional

Konten Media Partner
5 September 2023 7:00 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang warga di kawasan Rempang membentangkan spanduk protes proyek Rempang Eco City.
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga di kawasan Rempang membentangkan spanduk protes proyek Rempang Eco City.
Sebanyak 16 kampung adat di Rempang Galang, Kepulauan Riau, terancam tergusur pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City.
Sebagian masyarakat adat menolak direlokasi imbas proyek ini karena khawatir kehilangan ruang hidupnya. Sementara, BP Batam mengatakan proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Pegiat HAM mengatakan kepolisian mulai "menakut-nakuti" sebagian masyarakat yang "vokal" menolak relokasi dengan pemeriksaan-pemeriksaan. Namun, kepolisian membantah hal tersebut, dan mengatakan tetap mengedepankan "musyawarah mufakat".
Rohimah (kanan) menyampaikan aspirasinya sebagai warga terdampak. Foto diambil saat masyarakat adat berdemo di kantor BP Batam, Agustus silam.
Rohimah, warga yang terdampak proyek pembangunan Rempang Eco City menolak direlokasi dari kampung halamannya.
"Itu sudah harga mati, itu janji kita bersama," kata Rohimah kepada wartawan Yogi Eka Sahputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (04/09).
Rempang Eco City adalah proyek menjadikan sepenuhnya Pulau Rempang dan sebagian Pulau Galang dan Subangmas sebagai kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi sebagai upaya pemerintah mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia. Akhir bulan lalu, Rempang Eco City baru saja ditetapkan sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN).
Bagi Rohimah, Rempang dan sekitarnya adalah pulau bersejarah bagi nenek moyang, dirinya, dan keturunan nanti.
"Makanya kami tidak ingin relokasi, kalau kami relokasi hilang sejarah kami," kata Rohimah yang baru saja merayakan usia 50 tahun, sambil menambahkan kalau ia sama sekali tidak tergiur dengan janji tempat relokasi yang lebih mewah dan bagus.
Begitu juga yang dikatakan Rahimah, 53 tahun, warga Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Kampung ini disebutnya menjadi relokasi tahap pertama.
Rahimah mengatakan, kampung dulu hutan belantara kemudian dibangun oleh datuk dan nenek moyang keluarga. "Saya ini ibu rumah tangga, perasaan kami tidak tentram setelah empat bulan lalu dapat kabar kami digusur, kami sedih macam mana kalau kami dipindahkan," katanya.
Rohimah juga khawatir ketika Rempang Eco City rampung, ia tak bisa leluasa keluar masuk kampung sendiri.
Rohimah menegaskan tidak menolak pembangunan, bahkan dirinya bersyukur ada pembangunan di dekat kampung halamannya.
"Ada pembangunan kami bisa tambah usaha kami, tetapi kenapa harus di kampung kami, silakan bangun luar sana," katanya.

Warga terima pembangunan, tapi tidak direlokasi

Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad
Masyarakat adat yang terdampak proyek Rempang Eco City diperkirakan antara 7.000 - 10.000 jiwa.
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak pembangunan, tetapi menolak direlokasi.
Warga mempersilahkan pemerintah melakukan pembangunan di luar kampung-kampung warga. "Setidaknya terdapat 16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini, kami ingin kampung-kampung itu tidak direlokasi," katanya.
Ia mengklaim warga Rempang dan Galang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu. "Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga," kata Gerisman.
Sebuah nisan di Kampung Sebulang menandakan salah satu bukti pulau ini sudah ditempati bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Sejak 1834 itu kata Gerisman, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat Tempatan di Rempang. Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah meskipun sudah diajukan. "Tiba-tiba sekarang kampung kami mau dibangun saja," tandasnya.
Dalam kesempatan terpisah seorang warga Sembulang, Syamsudin Bujur menunjukkan kuburan nenek moyang mereka di Pemakaman Al Fajri di Kampung Sebulang. Menurut Syamsudin, leluhur mereka sudah menempati pulau sebelum Indonesia merdeka.

Apa kata BP Batam?

Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), Muhammad Rudi, mengatakan "tidak memungkinkan" kawasan industri dibangun berdampingan dengan permukiman warga.
"Karena ada lokasi tersebut sesuai peruntukkan akan dibangun industri pabrik kaca dan solar panel semata terbesar kedua di dunia," kata Muhammad Rudi dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia, Senin (04/09).
Ia melanjutkan, masyarakat yang akan mendapat hak hunian di Kampung Nelayan Modern, lokasinya tidak jauh dari kampung sebelumnya dan masih berada di satu bibir Pantai.

Di mana tempat relokasinya?

Google Maps menunjukkan lokasi Pulau Rempang dalam lingkaran merah di Kepulauan Riau, berdekatan dengan Singapura.
Warga rencananya direlokasi ke Dapur Tiga, Sijantung, Pulau Galang.
Masyarakat yang memperoleh hak hunian dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, mereka yang dikategorikan warga kampung lama di luar kawasan hutan negara (APL). Kedua, warga kampung lama di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan ketiga warga di luar kampung lama di APL.
Kategori keempat adalah warga atau badan hukum di dalam hutan. "Tidak dapat ganti rugi," kata Muhammad Rudi.
Ketiga kategori warga ini akan memperoleh hunian tipe 45 dengan nilai Rp120 juta, dan maksimum 500 meter persegi, biaya sewa rumah selama masa pembangunan hunian, dan biaya hidup ditanggung sesuai ketentuan. Satu rumah terdampak akan diganti dengan satu hunian baru.
Warga yang terdampak juga akan menerima fasilitas hunian sementara dari BP Batam, termasuk biaya hidup selama relokasi sementara Rp1.034.636/orang dalam satu KK (maksimal tiga orang dalam satu KK). Biaya ini termasuk biaya air, listrik dan kebutuhan lainnya.
"Fasilitas mobilisasi pemindahan dari hunian ke hunian relokasi sementara akan difasilitasi oleh BP Batam. Tersedia layanan kesehatan dan pelayanan keamanan," tambah Muhammad Rudi.
Di kawasan hunian relokasi nantinya juga akan dilengkapi fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, olahraga, ibadah, sosial, dan dermaga.
"Kawasan hunian akan dielevasi menjadi Kampung Wisata Unggulan yang mewakili budaya melayu, berdaya saing secara ekonomi dan berkesinambungan bagi masa depan generasi," kata Muhammad Rudi.

Bagaimana sosialisasinya?

Kepala BP Batam, Muhammad Rudi mengklaim sosialisasi proyek ini telah dimulai sejak April 2023, melalui media massa, media sosial, siaran pers resmi, hingga dibentuk tim yang langsung datang untuk melakukan sosialiasi ke Masyarakat sampai saat ini.
Ia juga mengatakan proyek ini ditindaklanjuti "secara serius, hati-hati dan selalu membuka ruang bagi masyarakat Rempang untuk berdialog dan berdiskusi."
Hal ini sekaligus menjadi bantahannya atas tudingan kelompok masyarakat sipil bahwa sosialisasi dilakukan secara tidak transparan.

Mengapa pegiat HAM memberi perhatian?

Warga membawa spanduk penolakan relokasi saat aksi damai Aliansi Pemude Melayu di depan Kantor BP Batam. Massa meminta 16 kampung tua yang ada di Rempang tidak direlokasi untuk pembangunan Rempang Eco City.
Pada 23 Agustus lalu, ribuan warga dari sejumlah pulau di Kepulauan Riau berunjuk rasa di depan Kantor BP Batam. Mereka menolak direlokasi.
Edi Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan penolakan warga untuk direlokasi dalam Rempang Eco City menjadi bukti bahwa sosialisasi yang dilakukan tidak transparan.
Edi memperkirakan jumlah masyarakat yang terdampak proyek Rempang Eco City antara 7.000 sampai 10.000 jiwa. Mereka sudah tinggal berpuluh tahun secara turun temurun.
"Masalahnya, penetapan proyek ini tidak melalui konsultasi atau tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak langsung dari proyek ini. Masyarakat juga kaget, tiba-tiba ada proyek besar," kata Edi kepada BBC News Indonesia, Senin (04/09).
Edi menambahkan dalam proses penolakan warga untuk direlokasi, "terjadilah serangkaian intimidasi hukum, ada upaya kriminalisasi, ada upaya menakuti-nakuti warga".
YLBHI bersama dengan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru dan Walhi sedang mendampingi 10 warga Rempang yang sempat diperiksa kepolisian.
"Mereka ini macam-macam dijeratkan pasal pidana, ada pidana penguasaan kawasan hutan, ada pidana pelanggaran tata ruang, ada pidana pemalsuan dokumen, ada pidana pemerasan, dan ada pidana korupsi. Dan salah satu ketuanya dipanggil Kejaksaan Agung karena ada dugaan korupsi," kata Edi. Namun belum ada satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tertentu.
Baca Juga:
Menurutnya, cara ini yang biasa digunakan dalam melancarkan proyek strategis nasional (PSN). Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2022 terdapat 32 letusan konflik agraria, 11 di antaranya terkait dengan PSN. Luasan konflik mencapai 102 ribu hektar dan berdampak pada 28 ribu keluarga.
"Karena ini hampir semua proyek strategis nasional polanya sama," tambah Edi.
Ia menambahkan pemerintah harus bijak dan hati-hati dalam menangani polemik proyek Rempang Eco City yang berdampak pada kehidupan ribuan orang. Pemerintah kata dia, harus benar-benar mendengar aspirasi masyarakat adat.
"Kalau tidak disikapi dengan bijak dan serius, pemerintah maupun penegak hukum, kami khawatir ini akan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM yang luar biasa," kata Edi.
Kabid Humas Polda Keprim, Kombes Pol. Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan warga yang diperiksa dalam hal pemeriksaan klarifikasi terkait kepemilikan lahan. Sejauh ini belum ada yang disangkakan dalam kasus tertentu.
"Tujuannya untuk kita melakukan pendataan... Jadi sekali lagi, tujuan polisi itu untuk mengklarifikasi, bukan untuk melakukan kriminalisasi," katanya.
Kabid Humas Polda Kepri Kombes. Pol. Zahwani Pandra Arsyad (tengah) mengatakan polisi selalu mengedepankan "musyawarah mufakat".
Kepolisian, kata Arsyad, mengedepankan "musyawarah mufakat" dalam kasus ini, sementara "penegakan hukum" disebut sebagai upaya hukum terakhir.
"Harus kita selesaikan dengan... hati boleh panas, tapi kepala kita dingin. Tidak ada pekerjaan yang tidak ada jalan keluarnya," kata Zahwani Pandra Arsyad.
Terkait pemeriksaan Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang-Galang, Gerisman Ahmad baru-baru ini, Arsyad mengatakan, "belum ada kasus yang benar-benar mengarah itu belum ada."
Sebelumnya, Gerisman mengatakan diperiksa secara intensif sebagai saksi terkait dugaan kasus pengrusakan terumbu karang.
"Belum ada persangkaan-persangkaan," lanjut Arsyad.

Apa itu Rempang Eco City?

Proyek ini disiapkan pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG). Proyeksinya menyiapkan Pulau Rempang sebagai Mesin Ekonomi Baru Indonesia, menurut keterangan BP Batam.
Kawasan ini diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080. Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang yang luasnya sekira 17.000 hektar akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata. Tujuannya mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.
Tujuh zona yang nanti akan dikembangkan antara lain zona industri, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zona margasatwa dan alam serta zona cagar budaya.
Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah akan cari solusi terbaik.
Proyek ini juga diproyeksikan dapat menyerap 306.000 tenaga kerja selama pengembangan kawasan hingga 2080.
Dalam keterangan tertulis, BP Batam mengatakan pengembangan Pulau Rempang diawali dengan investasi produsen kaca terkemuka dari China sejak akhir Juli. Perusahaan yang berkomitmen berinvestasi sekira Rp175 triliun akan membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai pasok industri kaca dan kaca panel surya.
"Penandatanganan kerja sama dengan Xinyi Group pun disaksikan langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo, dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xi Jinping," kata Kepala BP Batam.
Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia, sudah mengetahui polemik proyek Rempang Eco City. Kata dia, pemerintah akan "cari solusi terbaik".
"Saya mengerti apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Tapi saya mohon, masyarakat juga mengerti apa yang menjadi tujuan negara," ujar Menteri Bahlil seperti dikutip dari situs BP Batam.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring yang ikut mengadvokasi warga Rempang-Galang menilai semestinya proyek investasi tidak mengorbankan masyarakat adat. Persoalan ini, katadia, selalu berulang dalam kasus konflik agraria karena ketiadaan persetujuan dari masyarakat adat.
"Seharusnya seluruh investasi yang masuk seluruh yang akan bekerja di Rempang-Galang itu kulonuwun ke masyarakat adat, pamit ke masyarakat adatnya, bukan kabarin mau digusur," kata Boy.