PM Selandia Baru Mengundurkan Diri: Tekanan Unik yang Dihadapi Jacinda Ardern

Konten Media Partner
20 Januari 2023 9:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PM Selandia Baru Mengundurkan Diri: Tekanan Unik yang Dihadapi Jacinda Ardern
zoom-in-whitePerbesar
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi jutaan orang di seluruh dunia, pengunduran diri Jacinda Ardern barangkali mengejutkan — tetapi beberapa perempuan akan membaca kata-katanya dengan ketertarikan khusus.
Karisma dan filosofi kepemimpinan sang perdana menteri Selandia Baru telah membuat namanya dikenal di seluruh dunia.
Banyak penggemarnya adalah perempuan, yang rajin mengikuti perjalanannya dari PM pemula menjadi ibu yang bekerja, dan memandangnya sebagai panutan.
Ardern bukan satu-satunya pesohor yang menjadi berita dalam beberapa tahun terakhir karena tiba-tiba mengumumkan pengunduran diri dengan alasan kelelahan atau burnout - sosok lainnya termasuk atlet Naomi Osaka, Ash Barty dan Virat Kohli; dan bos seperti James Packer.
Tetapi Ardern juga menduduki posisi yang amat langka sebagai ibu yang bekerja sambil memimpin sebuah negara. Dia melahirkan saat menjabat; satu-satunya pemimpin dunia yang pernah melakukannya adalah Benazir Bhutto dari Pakistan.
Dalam banyak hal, itu adalah contoh ujian ekstrem untuk menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga. Tetapi jelas ada faktor politik yang juga berperan.
Pengunduran dirinya terjadi di tengah meningkatnya kekacauan politik, dengan tingkat penerimaannya menurun seiring kekhawatiran warga Selandia Baru tentang biaya hidup dan tingkat kejahatan meningkat.
Memang tidak mudah berada di puncak, tetapi masa jabatan Ardern telah menemui banyak tantangan: memimpin negara melalui pandemi yang tidak pernah terjadi sebelumnya, serangan teror domestik yang mengerikan, dan letusan gunung berapi. Dalam pidatonya pada hari Kamis (19/01), Ardern menyebut tentang keputusan "sulit dan konstan" yang dia hadapi.
Dia juga harus bersaing dengan pengawasan publik yang intens sepanjang perjalanannya, dari mengumumkan kehamilannya hanya beberapa bulan setelah menjabat hingga keputusannya untuk mengambil cuti hamil selama enam minggu, yang memicu perdebatan tentang apakah itu terlalu singkat.
Untuk sementara, dia tampak bertekad untuk menghadapinya secara langsung.
"Saya selalu memperkirakan, karena [Neve] masih sangat muda dan sangat kecil, akan ada ketegangan nyata antara memastikan bahwa saya dapat memenuhi semua kebutuhannya dan tentu saja tanggung jawab saya [sebagai PM]. Tapi saya yakin dengan semua dukungan yang saya dapatkan, kami benar-benar akan melakukannya dengan baik," katanya kepada wartawan waktu itu.
Dia juga senang berbagi pengalaman mengasuh anak di media sosial, mulai dari perjuangan untuk membuat kue ulang tahun yang sempurna untuk putrinya, hingga menemukan noda krim popok di jaketnya setelah rapat seharian.
Tetapi pada akhirnya, adalah biaya manusia dari jabatan tinggi politik yang dia sebutkan di bagian paling emosional dari pidato pengunduran dirinya.
Ardern, yang memiliki putri berusia empat tahun Neve, sering berbagi pengalamannya sebagai ibu bekerja.
"Politikus itu manusia. Kami memberikan semua yang kami bisa, selama kami bisa, dan kemudian inilah saatnya," kata Ardern, suaranya goyah. "Dan bagi saya, sudah waktunya ... Saya tahu apa yang dibutuhkan pekerjaan ini, dan saya tahu bahwa saya tidak lagi memiliki cukup energi di dalam tangki untuk melakukannya dengan baik."
Dia berbicara tentang bagaimana dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarganya karena mereka telah "paling banyak berkorban dari kita semua". Dia mengatakan dia berharap bisa "hadir" untuk putrinya ketika dia mulai sekolah, dan memberi tahu kekasihnya Clarke "akhirnya, mari kita menikah".
Banyak yang berharap bisa menyaksikannya terus membuka jalan dan kecewa karena dia tidak bisa melangkah lebih jauh, tetapi mereka tidak diragukan lagi juga akan bersimpati atas kesulitannya.
Tentu saja ada perhitungan politik dalam keputusannya.
Dia telah mengalami kenaikan meteorik ke tampuk kekuasaan yang dipicu oleh "Jacinda-mania", tetapi hubungan Selandia Baru dengannya mulai masam ketika pemerintahannya kesulitan menavigasi tantangan ekonomi pasca-pandemi seperti meningkatnya biaya hidup dan memburuknya kesenjangan sosial.
Hanya beberapa minggu yang lalu, tingkat penerimaannya mencapai level terendah sejak Agustus 2017 - tepat sebelum dia menjadi PM - seiring popularitas partai Buruh yang dipimpinnya juga menurun.
Terlepas dari penolakannya, langkah Ardern juga dapat dilihat sebagai keputusan yang cerdik untuk menyelamatkan partainya dan menghindari kekalahan yang memalukan dalam pemilihan mendatang sebagai PM petahana.
Beberapa pengkritiknya yang merayakan kepergiannya bahkan menuduhnya menggunakan burnout sebagai alasan untuk menyelamatkan sisa-sisa reputasi politiknya.
Terlepas dari apakah ini benar-benar burnout, atau upaya keluar dari situasi politik yang rumit, atau keduanya, beberapa orang pasti akan melihat kepergiannya sebagai pernyataan yang kuat bahwa penting untuk menetapkan batasan dan menghormati batas pribadi.
Jacinda Ardern sendiri mengatakan pada tahun 2018: "Saya sama sekali bukan perempuan pertama yang melakukan banyak tugas sekaligus, dan dalam politik, ada banyak perempuan yang sudah setahap demi setahap membuka jalan bagi orang-orang untuk melihat masa kepemimpinan saya dan berpikir, ya, saya bisa melakukan pekerjaan itu dan menjadi seorang ibu."