Makanan Korea yang Berasal dari 1.700 Tahun Lalu

Konten Media Partner
11 Juni 2023 13:10 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Makanan khas Korea. Foto: Matheus Marsely/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Makanan khas Korea. Foto: Matheus Marsely/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dari daerah pegunungan di Gyeonggi-do, seorang biksuni bernama WooKwan Sunim merintis gerakan kuliner kuil yang memiliki akar sejarah kuno tapi dengan selera modern.
"Setiap kali saya pergi ke gunung, saya bisa melihat semua hal yang bisa dimakan di sana. Makanan ada di mana-mana."
WooKwan Sunim berjalan melintasi dedaunan yang membusuk dan pinus kecokelatan, sembari berhati-hati menjaga kebersihan jubah abu-abunya.
Bagi orang-orang seperti WooKwan Sunim yang tahu apa yang harus dicari, hutan di sekitar Kuil Gameun, dekat kota Icheon, Korea Selatan, penuh dengan tanaman yang bisa dimakan.
Setiap tahun, akar ginseng bersembunyi di bawah tanaman carmine; kelompok jamur tiram beludru (songi beoseot dalam bahasa Korea) mekar di antara pohon tumbang; dan cabang-cabang semak rempah meledak seperti kembang api dengan bunga kuning yang dikenal sebagai bunga jahe.
Sebagai seorang biksuni selama hampir 40 tahun, WooKwan adalah master masakan kuil Korea. Dia sering kembali ke Gameun membawa keranjang yang sarat dengan jarum pinus segar, jantung artichoke liar, bunga sakura, biji ginkgo gemuk, dan daun teratai yang gagah.
Tanaman-tanaman itu akan dia olah untuk dijadikan acar, difermentasi, dikeringkan atau digarami untuk digunakan di kemudian hari.
Tidak peduli musim, tanah menentukan menu di kuil-kuil Buddha di seluruh Korea. Di sanalah kuliner organik, vegetarian, tanpa limbah, berumur lebih tua daripada kuil itu sendiri.
"Ketika bergabung dengan kehidupan biksuni atau biksu, kami mulai mempelajari makanan kuil, karena kami memakannya setiap hari," kata WooKwan, yang lahir dari keluarga Kristen dan menganut agama tersebut sebelum menemukan ajaran Buddha hampir 40 tahun yang lalu.
Dia mempelajari ajaran agama Buddha dan masakan kuil dari para lama di New Delhi dan Seoul, sebelum menetap dengan damai di Gameun untuk menyempurnakan keahliannya.
"Di dunia, menurut saya, makanan terbaik adalah makanan kuil Korea," kata WooKwan.
Dia menambahkan bahwa "makanan kuil Korea bukanlah masakan yang sempurna". "Di Korea, ada anggapan bahwa makanan kuil tidak enak, tapi baik untuk kesehatan."
Karena itu, gerakan kuliner kuil dipromosikan tanpa mengundang koki selebritas dan tanpa restoran megah di kota. Makanan kuil sederhana, membumi, dan sepenuhnya berfokus pada praktik berkelanjutan.
Pada dasarnya, kuliner kuil adalah produk pengabdian dan kebutuhan; semua biksu dan biksuni membutuhkan makanan.
Persiapan hidangan yang penuh perhatian adalah bagian dari jalan menuju pencerahan.
Di lingkungan kuil, kombinasi budaya makanan Korea Selatan yang kuat – penekanan pada persiapan hidangan makanan lambat yang sehat – dan ajaran Buddha yang melampaui keinginan fana manusia guna mencapai pencerahan, menghasilkan sesuatu yang benar-benar unik.
Maka tidak mengherankan bahwa penyiapan makanan mengutamakan bahan alami yang sehat. Adapun jalan pintas mudah seperti menambah garam, bawang putih, mentega, dan gula dihindari.
Bahkan, bawang putih dihindari sama sekali.
"Dalam masakan kuil, penting untuk menyampaikan cita rasa asli dari bahan-bahannya, daripada memaksakan rasa yang sensasional," kata WooKwan.
Bawang, daun bawang, kucai, dan daun bawang juga dijauhi karena bau napas dapat mengganggu latihan meditasi orang di sebelah Anda.
Saat bahan-bahan yang lezat serta sebagian besar produk hewani dihilangkan, dibutuhkan kreativitas dan pemahaman mendalam untuk membuat resep hebat.
Melalui resepnya yang sederhana tapi banyak akal, WooKwan terus membuktikan bahwa masakan kuil Korea itu sehat dan lezat. Pembatasan melahirkan penemuan.
Rahasia rasa yang kaya terletak pada bumbunya: "Pasta cabai (gochujang), pasta kedelai (doenjang) dan kecap Korea (ganjang) adalah yang paling penting. Ketiga jenis bumbu ini kami buat dengan tangan di kuil."
Semuanya terasa enak menggunakan ketiga jang ini.
Kuil Gameun terdiri dari kumpulan bangunan satu lantai yang sederhana di lereng bukit berhutan.
Jika berkunjung ke sana, onggi (gerabah wadah fermentasi) WooKwan langsung terlihat terkumpul di sekitar pekarangan kuil. Isinya adalah jang dan segala macam bahan alami yang diawetkan secara tradicional.
Membuat acar atau fermentasi adalah teknik pengawetan kuno yang diangkat menjadi bentuk seni di kuil ini. Rasa pedas dan umami berlimpah.
Khasiat penyembuhan yang diklaim berasal dari kimchi sekarang terkenal di seluruh dunia. Sayuran apa pun bisa menjadi kimchi, bukan hanya kubis. Dan WooKwan juga mengubah banyak tanaman menjadi teh.
Misalnya, bunga kering artichoke liar Yerusalem diubah menjadi teh. Adapun umbi artichoke diasamkan, diubah menjadi sejenis kimchi, atau dikeringkan menjadi camilan renyah.
Tidak ada yang terbuang dalam proses persiapan maupun dalam proses konsumsi. "Kami hanya mengisi mangkuk kami dengan apa yang kami butuhkan. Kami makan setiap butir nasi terakhir," kata WooKwan.
Budaya makanan lambat seperti masakan kuil Korea merupakan sisa-sisa terakhir dari era produksi makanan pra-komersial.
Namun meski pola makan seperti itu jelas punya manfaat, perkembangan konstruksi akhir-akhir ini kian merambah hutan di sekitar Gameun sehingga pencarian tanaman liar dan pertanian organik semakin menantang.
Pembangunan lapangan golf baru di sini, atau gudang di sana, menyudutkan satwa liar yang tersisa ke ruang yang semakin kecil dan tidak terhubung.
"Gorani (rusa air) terus datang dan memakan semua sayuran kami,” kata WooKwan.
Akibatnya, biksuni itu hanya bisa menanam tanaman dengan aroma harum, seperti rosemary, wijen, dan mint, yang biasanya tidak disentuh rusa. Banyak bahan-bahan lain harus diambil dari pertanian lokal sebagai gantinya.
Pot-pot tembikar yang diisi dengan bahan fermentasi juga tidak kebal. "Suatu hari, seekor gorani (rusa air Korea) membuka penutup salah satu pot dan memakan semua gochujang," kata WooKwan merujuk pasta cabai merah. "Artinya gochujang saya sangat bagus," candanya.
"Saya pikir alam dan manusia tidak terpisah, tapi terhubung. Penting untuk dipahami bahwa hubungan ini dibuat melalui hati dan pikiran," kata WooKwan merujuk prinsip "tidak membunuh dan menghormati kehidupan" yang menjadi landasan masakan kuil Korea.
Pada 2018, WooKwan merilis buku masak berbahasa Inggris pertamanya, WooKwan's Korean Temple Food.
Di dalamnya, dia menjembatani kesenjangan antara Timur dan Barat, terkadang memasukkan bahan-bahan yang tidak biasa dimakan di Korea, seperti kubis Brussel, artichoke, dan alpukat.
Bersama dengan beberapa biksuni lainnya, dia terus memperkenalkan masakan kuil Korea ke khalayak dunia.
"Bahan favorit saya adalah terong dan hidangan favorit saya adalah rebusan tomat, terong, dan cabai. Saya mengembangkan resep itu di bawah bimbingan kepala Kuil Bongeun di Seoul, ketika saya memulai perjalanan saya dalam masakan kuil," tuturnya.
Kebaikan adalah akar pembuatan resep; WooKwan ingin membuat hidangan berbahan lebih lembut agar bisa dikunyah dengan nyaman oleh para tetua.
Resep baru dibuat dengan filosofi yang tidak berubah selama berabad-abad.
“Makanan enak bukan hanya makanan yang terasa enak. Makanan enak berarti apa yang Anda butuhkan,” katanya.
Anda dapat mengetahui hanya dengan melihat hidangan yang disajikan bahwa bahan-bahan masakan WooKwan tidak hanya sehat, tetapi juga terlihat bagus dengan menyeimbangkan tekstur dan warna.
Akar teratai yang lembut diberi taburan kenari yang dihancurkan dan cabai merah yang dipotong dadu; gulungan rumput laut kenyal diparut di atas sup selada laut; dan kue renyah dari nasi ketan goreng dikemas dengan mugwort dan labu berbentuk kubus.
Setiap orang mendapat menu yang sedikit berbeda. "Orang-orang semakin kecanduan hanya pada makanan yang terasa enak," kata WooKwan.
Padahal, di zaman modern, makanan enak sering kali makanan olahan dan dapat menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan.
"Kami mencoba mendengarkan bunyi tubuh kami, itu adalah suara."
Makanan kuil Korea bertujuan memperbaiki ketidakseimbangan yang diciptakan pola makan modern anorganik.
“Kita butuh rasa asin, manis, dan asam, semua jenis, tapi tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Perlu harmoni dan keseimbangan yang baik,” katanya.
"Saya suka hidup sederhana. Hidup lebih baik jika sederhana, jadi makanan juga butuh resep sederhana. Tidak rumit. Tidak terlalu banyak. Maka Anda akan mengembangkan kehidupan yang bebas."
Itu adalah filosofi kuliner yang dapat didengarkan bagi siapa saja yang pernah berupaya menyeimbangkan batasan waktu dengan pola makan sehat.
Rebusan terong, tomat, dan cabai ala WooKwan hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk dimasak. Siapa bilang makanan cepat saji harus berdampak buruk untuk Anda?
Anda dapat membaca artikel ini dalam bahasa Inggris berjudul The 1,700-year legacy of Korean temple cuisine pada laman BBC Travel