Ejekan Lagu Kebangsaan, Benturan Demokrasi Liberal Hong Kong dan Tradisi Otoriter di China - Dilema Sepak Bola Hong Kong

Konten Media Partner
28 April 2024 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Ejekan Lagu Kebangsaan, Benturan Demokrasi Liberal Hong Kong dan Tradisi Otoriter di China - Dilema Sepak Bola Hong Kong

Pada 1 Januari 2024 Hong Kong mengalahkan China dalam pertandingan sepak bola untuk pertama kalinya dalam 30 tahun.
zoom-in-whitePerbesar
Pada 1 Januari 2024 Hong Kong mengalahkan China dalam pertandingan sepak bola untuk pertama kalinya dalam 30 tahun.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 1 Januari 2024 Hong Kong mengalahkan China dalam pertandingan sepak bola untuk pertama kalinya dalam 30 tahun. Tapi sebenarnya hasil resmi pra Piala Asia adalah Hong Kong dengan perolehan skor 2-1.
Nama tim sepak bola Hong Kong berubah pada 2023 dan di tengah meningkatnya kendali wilayah tersebut dari Beijing, telah memunculkan spekulasi bahwa kancah independensi sepak bola di negara bekas jajahan Inggris itu tinggal menghitung hari.
"Tidak dapat dihindari bahwa suatu saat nanti Asosiasi Sepak Bola Hong Kong (HKFA) tidak lagi menjadi anggota independen FIFA," ujar Mark Sutcliffe, Ketua HKFA dari tahun 2012 sampai 2018, kepada BBC Sport.
"Itu hanya masalah waktu."
Kemenangan terbaru Hong Kong atas China bukan lah kemenangan terbesar mereka.
Keberhasilan itu pernah terjadi pada Mei 1985 ketika menang 2-1 di babak kualifikasi Piala Dunia dan mengejutkan 80.000 penonton di Stadion Pekerja Beijing.
"Semua penggemar sepak bola di Hong Kong mengetahui hal itu, meskipun banyak dari kami yang belum lahir pada waktu itu," kata penggemar sepak bola, Kei Leung.
"Itu adalah salah satu malam terbaik dalam sejarah kami."
Kejadian itu kurang membekas di China, pasalnya kekalahan tersebut memicu kerusuhan dan pengunduran diri pelatih kepala dan presiden Asosiasi Sepak Bola China.
Sebelum pertandingan, Hong Kong—yang saat itu masih menjadi koloni Inggris—menyanyikan God Save the Queen sebagai lagu kebangsaan mereka.
Kebiasaan tersebut berubah pada 1997 saat Inggris menyerahkan kendali kepada Beijing. Sebagai bagian dari perjanjian itu, China berjanji untuk mempertahankan kebebasan dan status Hong Kong sebagai "Wilayah Administratif Khusus" di bawah pendekatan "satu negara, dua sistem" selama 50 tahun ke depan.
Stadion Pekerja Beijing yang asli adalah salah satu dari 10 proyek bangunan berskala besar yang diselesaikan di Beijing pada 1959 untuk menandai peringatan 10 tahun berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.
Sementara itu, sepak bola telah menjadi arena di mana sejarah demokrasi liberal Hong Kong dan tradisi otoriter di China daratan saling berbenturan.
Ketika kendali Beijing semakin ketat, pertandingan di Hong Kong menjadi salah satu dari sedikit jalan yang tersedia bagi warga setempat untuk mengekspresikan perasaan mereka.
"Sepak bola adalah pilihan yang alami bagi banyak orang," ucap Leung.
"Ini lebih penting dibandingkan olahraga lainnya."
Pentingnya sepak bola menjadi jelas setelah Gerakan Payung atau Umbrella Movement pada 2014, ketika serangkaian aksi protes pro-demokrasi yang berlangsung di pusat keuangan terpenting di dunia ini.
Gerakan tersebut dikenal dengan Umbrella Movement setelah para pengunjuk rasa menggunakan payung untuk melindungi diri dari gas air mata dan semprotan merica yang digunakan polisi.
Aksi protes ini dipicu oleh keputusan Beijing yang hanya mengizinkan kandidat yang telah mendapatkan persetujuan yang bisa mengambil bagian dalam pemilu tahun 2017 untuk kemudian memimpin Hong Kong.
Pada 2015 Hong Kong menjamu China di babak kualifikasi Piala Dunia 2018 dan beberapa pendukung tuan rumah mencemooh lagu mereka sendiri, yang sekarang dibagikan kepada pihak oposisi, berjudul The March of the Volunteers.
Beberapa orang juga tampak mengangkat poster bertuliskan "Hong Kong bukan China". Atas tindakan itu, Asosiasi sepak bola setempat didenda oleh FIFA.
Ketua HKFA dari tahun 2012 sampai 2018, Mark Sutcliffe, menilai tidak semua yang datang saat pertandingan adalah penggemar sepak bola.
"Tidak diragukan lagi, pertandingan internasional memberikan platform bagi warga Hong Kong untuk menyuarakan rasa frustasi mereka," tambahnya.
"Ejekan terhadap lagu kebangsaan China memberikan publisitas besar bagi mereka. Jumlah penonton meningkat dan banyak orang datang ke pertandingan yang dalam keadaan normal, tidak akan pernah menonton pertandingan sepak bola."
Sutcliffe mengaku tidak mengingat keluhan apapun dari Beijing.
"Kami tentu saja mendapat tekanan dari SAR Hong Kong [Daerah Administratif Khusus] untuk melakukan segala yang kami bisa untuk menghentikan tindakan itu," katanya.
"Kami menjalankan kampanye publisitas. Kami menerapkan keamanan yang lebih ketat ketika pertandingan, termasuk penggeledahan dan penyitaan spanduk."
"Tapi kami tidak bisa menghentikannya sama sekali dan hasilnya kami didenda oleh FIFA beberapa kali."
Pada 2020, badan legislatif Hong Kong juga mengambil tindakan dengan mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi tindakan yang disebut tidak menghormati lagu kebangsaan dengan hukuman penjara maksimal tiga tahun.
Meski begitu, pada laga kandang pertama yang dibuka untuk umum sejak diberlakukannya undang-undang baru pada September 2022, lagu kebangsaan China kembali dicemooh oleh sebagian penonton sebelum kick-off melawan Myanmar.
Penggemar sepak bola Hong Kong tidak lagi mendengarkan lagu kebangsaan negaranya sebelum kualifikasi Piala Dunia melawan Iran pada September 2019.
Tiga bulan kemudian, 83 asosiasi olahraga di Hong Kong diberitahu bahwa mereka harus menambahkan "China" ke nama tim mereka atau berisiko kehilangan anggaran.
Penggemar sepak bola langsung berbondong-bondong membeli kaus terakhir yang masih berlogo Hong Kong, sebelum kata "China" ditambahkan pada lambang naga.
Sutcliffe mencoba tetap menjaga keseimbangan dengan mengakomodasi permintaan China itu sambil menjaga jarak dan identitas yang terpisah.
"Itu semacam aturan tidak tertulis untuk tidak terlalu dekat jika FIFA memutuskan untuk mencabut status anggota," ucapnya.
"Tidak ada pembagian sumber daya atau pengetahuan atau apapun yang bersifat seperti itu."
"Tentu saja, kami memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Jepang, yang jauh lebih altruistik dan melihat peran mereka dalam membimbing asosiasi anggota yang lebih kecil serta meningkatkan sepak bola di seluruh Asia."
Tapi perkembangan yang luar biasa dari Liga Super China (CSL) sempat mengancam hubungan tersebut.
Pada awal 2010-an klub-klub papan atas China mulai menghabiskan banyak uang untuk membeli pemain-pemain terkenal dunia seperti Nicolas Anelka, Didier Drogba, Hulk dan Carlos Tevez.
Sementara pelatih seperti Marcello Lippi, Luiz Felipe Scolari dan Fabio Capello telah didatangkan.
Jumlah penonton meningkat menjadi yang terbesar di Asia dan standarnya juga meningkat.
Guangzhou Evergrande, yang hanya berjarak satu jam perjalanan kereta berkecepatan tinggi dari Hong Kong, menjadi juara Liga Champions Asia pertama dari China pada 2013 dan kembali berjaya pada 2015.
Di Hong Kong, kemungkinan mengirimkan tim untuk berkompetisi di CSL ditingkatkan dengan harapan hal itu akan menambah standar dan pendapatan.
Pada akhirnya keriuhan CSL tidak bertahan lama. Masalah keuangan di sepak bola China, yang diperburuk oleh pandemi global, menyebabkan sejumlah klub berhenti.
Tapi gagasannya tetap hidup.
Mantan gelandang Tottenham, Paulinho dan manajernya serta rekannya dari Brasil Luiz Felipe Scolari adalah dua nama besar yang datang ke Guangzhou Evergrande.
Pimpinan HKFA saat ini, yang tidak menanggapi permintaan wawancara, masih melihat China sebagai peluang.
"Saya yakin itu lah arah kami," kata wakil presiden HKFA, Eric Fok Kai-shan pada 2023.
"Semua orang melihat pasar China. Dalam hal sepak bola, kami ingin menjadikannya berkelanjutan dalam cara Anda menghasilkan nilai komersil."
"Ada banyak contoh tim yang berbasis di satu tempat dan bermain di liga lain, dengan klub-klub Welsh Cardiff, Swansea City dan Wrexham semuanya merupakan bagian dari piramida Inggris."
Pelatih tim nasional, Jorn Andersen, juga menyambut baik prospek klub-klub terbaik Hong Kong bersaing melawan tim China.
Di bawah kepemipinan orang Norwegia itu, Hong Kong lolos ke Piala Asia pada Januari lalu untuk pertama kalinya sejak 1968, menempati posisi terbawah grup yang berisi Iran, Uni Emirat Arab, dan Palestina.
China juga tidak tampil lebih baik, finis ketiga di grup mereka dan gagal pada rintangan pertama tanpa mencetak gol.
Fans China yang sudah lama menderita rupanya terkesan dengan upaya Hong Kong.
"Di media sosial, warga daratan China memuji keberhasilan Hong Kong baru-baru ini dan bahkan penggemar di Qatar pun kagum," kata Tobias Zuser, akademisi di Hong Kong yang fokus pada olahraga, budaya, dan kebijakan.
"Beberapa orang bahkan berpikir bahwa tim China bisa belajar dari Hong Kong."
Bagi HKFA, dilemanya tetap ada: jika ingin tetap menjadi entitas terpisah dengan tim terpisah, maka HKFA harus menjadikan dirinya berguna bagi Beijing.
Pemungutan suara yang dilakukan di Konfederasi Sepak Bola Asia dan FIFA mendukungnya. Namun keberadaannya bertentangan dengan sistem kendali terpusat di China.
Pada bulan Februari, hampir 40.000 orang membeli tiket untuk menonton Inter Miami menghadapi Hong Kong Select XI.
Ketika bintang seperti Lionel Messi, yang sedang menjalani perawatan cedera hamstring tetap berada di bangku cadangan Inter Miami, penonton meneriakkan pengembalian dana sebelum mencemooh pidato pasca-pertandingan dari pemilik Inter Miami yang juga pernah menjadi duta Liga Super China, David Beckham.
Lionel Messi memposting video setelah kontroversi di Hong Kong yang mengatakan dia "selalu ingin bermain" tetapi dilarang karena cedera. Ia berharap Inter Miami segera kembali ke Hong Kong.
"Secara politis, pemerintah di Beijing pada dasarnya memandang Hong Kong sebagai bagian dari China daratan," ujar Simon Chadwick, profesor olahraga dan ekonomi geopolitik di Skema Business School di Prancis.
"Jika ada kontroversi, seperti kasus Messi baru-baru ini, maka China akan menghindari kehilangan muka dan pasti akan mengambil tindakan untuk mengendalikan timbulnya masalah tersebut."
"Kalau sepak bola di Hong Kong ingin berumur panjang, akan lebih bijaksana jika melakukan depolitisasi dan menerapkan nilai-nilai yang dipandang pro-sosial dan tidak mengancam."
"Yang terbaik, sepak bola di Hong Kong bisa menantikan masa depan yang netral. Yang terburuk, sepak bola mungkin menghadapi kepunahan karena sudah dimasukkan ke dalam struktur dan pemerintahan China daratan."
Tobias Zuser tidak percaya bahwa transformasi Hong Kong menjadi Hong Kong, China berarti perubahan besar akan segera terjadi.
"Hong Kong telah berpartisipasi dalam Olimpiade seperti Hong Kong, China sejak 1997, sehingga perubahan yang terjadi baru-baru ini di asosiasi olahraga nasional lainnya lebih merupakan tindakan penyederhanaan secara simbolis," tuturnya.
"Itu tidak banyak mengubah cara orang mendukung atau memikirkan tim."
Namun, Sutcliffe berpendapat bahwa penambahan satu kata mungkin layaknya tulisan di dinding.
"Saya sama sekali tidak terkejut dengan perubahan nama itu," ucapnya.
"Ini merupakan contoh dari apa yang saya katakan bahwa hal ini hanya masalah waktu saja. Ini adalah bagian dari transisi menuju asimilasi."