Cerita Penggali Tulang Belulang yang Mencari Keadilan bagi Korban Tewas dalam 'Perang Lawan Narkoba' Duterte di Filipina

Konten Media Partner
16 Januari 2024 9:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Cerita Penggali Tulang Belulang yang Mencari Keadilan bagi Korban Tewas dalam 'Perang Lawan Narkoba' Duterte di Filipina

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di sebuah pemakaman di Manila Utara, Pastor Flavie Villanueva berdoa bersama seorang ibu yang berdoa di samping makam putranya. Salah satu tangannya memegang Alkitab, dan sebuah botol plastik berisi air suci tersimpan di sakunya.
Mereka menyaksikan peti mati besi dibuka dan diangkat dari liang lahat. Di dalamnya, terdapat tulang belulang dari Felizardo Virgo yang ditembak mati pada 18 Agustus 2019, ketika dia masih berusia 27 tahun.
Tengkoraknya dikeluarkan dengan hati-hati, lalu dimasukkan ke dalam kantong jenazah berwarna hitam.
Sebelum risletingnya ditutup, Pastor Flavie memeriksa peti mati tersebut untuk memastikan bahwa setiap potongan kerangka telah diangkut. Sepotong tulang kecil sekalipun dapat mengungkap lebih banyak hal mengenai penembakan terhadap Felizardo.
Erlinda, ibu dari Felizardo, berarap tulang-tulang putranya bisa mengungkap kematian anaknya sekaligus memberi keadilan bagi ribuan keluarga yang telah kehilangan orang terkasih mereka akibat "perang melawan narkoba" berdarah di Filipina.
Pastor Flavie dan ahli patologi forensik, Dokter Raquel Fortun memimpin upaya ini. Mereka telah bekerja sama mengumpulkan bukti-bukti yang suatu hari nanti dapat digunakan dalam penyelidikan yudisial atas kasus-kasus kematian tersebut.
Hanya ada beberapa investigasi yang telah dilakukan terkait kasus ini, dan Pemerintah Filipina menolak memberi akses kepada penyelidik dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Jaksa penuntut dari ICC pernah menyatakan keprihatinannya mengenai pembunuhan atas nama perang terhadap narkoba pada 2016.
Akan tetapi, kendala semacam itu tidak menyurutkan semangat Pastor Flavie dan Dokter Fortun yang berharap temuan mereka bisa dibawa ke ICC.
Sejak Juli 2021, Dokter Fortun telah mengautopsi jenazah lebih dari 90 korban. Dia menemukan banyak kejanggalan.
Di antaranya, korban-korban penembakan ini di dalam sertifikat kematiannya tertulis meninggal karena "sebab alamiah". Ada pula laporan yang disalin-tempel yang tidak berkaitan dengan penyebab kematian.
Pemerintah Filipina memperkirakan lebih dari 6.252 orang telah ditembak mati oleh polisi dan "pelaku tidak dikenal" sejak mantan Presiden Rodrigo Duterte mendeklarasikan "perang melawan narkoba" pada 2016 saat dia memenangkan pemilu.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korbannya bahkan mencapai puluhan ribu orang.
Polisi mengeklaim bahwa para korban penembakan tersebut merupakan gembong atau pengedar narkoba, yang mereka tembak mati demi "membela diri" dalam baku tembak. Namun, banyak keluarga menyatakan bahwa putra, saudara laki-laki, atau suami mereka hanya berada di tempat dan waktu yang salah.
Kampanye perang melawan narkoba ini telah menuai kontroversi dan kritik internasional. Tetapi kampanye ini justru mendapat dukungan di dalam negeri di mana jutaan orang menggunakan narkoba, sebagian besar metamfetamin alias "sabu".
Sejak Duterte lengser dari jabatannya pada 2022, aksi protes yang menuntut pertanggungjawabannya atas kematian banyak orang akibat perang melawan narkoba pun meluas
Penerus Duterte, Presiden Ferdinand Marcos Jr menjanjikan pendekatan berbeda, yang tidak terlalu keras ketika dia mulai menjabat pada 2022.
"Kami lebih memilih menangkap bandar skala besar dibandingkan memburu para pengguna, karena menurut pandangan presiden, ini adalah masalah kesehatan, masalah kecanduan," kata asisten sekretaris di Departemen Kehakiman, Jose Dominic Clavano.
Namun Proyek Dahas di Universitas Filipina mencatat telah terjadi 342 pembunuhan terkait narkoba pada tahun pertama Marcos menjabat. Jumlah ini lebih tinggi 40 kasus dibandingkan tahun terakhir pemerintahan Duterte.
Temuan mereka menunjukkan bahwa sekitar 40% dari orang-orang yang terbunuh adalah pengguna dan pengedar kecil-kecilan.
“Itu bukanlah sesuatu yang dimaafkan oleh pemerintah,” kata Calvano.
Tetapi, Calvano menyadari bahwa pelanggaran itu dilakukan oleh polisi.
Kembali ke pemakaman tadi, ekshumasi dua jasad lainnya juga dilakukan di bawah pengawasan Pastor Flavie. Sama seperti Felizardo, kedua mendiang laki-laki ini ditembak mati pada 2019.
Keluarganya yang menyaksikan tidak dapat menahan rasa duka. Salah satu anggota keluarganya bahkan sampai jatuh ke tanah dengan kaki tertekuk.
"Ini sangat traumatis," kata Pastor Flavie.
"Ini bukanlah kematian yang wajar, jadi ini menyakitkan. Ini berat dan ini membuat marah."
Pemerintahan Duterte mengatakan bahwa mereka memburu para pengedar, bandar narkoba, dan orang-orang yang melindunginya. Namun menurut para pengkritik, para korban yang mayoritas merupakan laki-laki ini berasal dari kelompok masyarakat miskin.
Banyak yang disemayamkan di makam-makam sewaan. Kalau keluarga mereka tidak bisa membayar perpanjangan sewa, maka sisa-sisa tengkorak mereka akan dibuang ke kuburan massal.
Pastor Flavie bertekad bahwa hal semacam ini tidak boleh terjadi pada jemaat tercintanya.
Jadi sebagai bentuk dukungan keberlanjutannya kepada para korban perang narkoba, dia mengatur penggalian, kremasi, dan pengembalian abunya kepada keluarga-keluarga korban saat pemberkatan di gereja.
Setelah proses pengangkatan tulang belulang selesai, mobil van yang membawa tiga jenazah itu kemudian meninggalkan area pemakaman. Tetapi, ada yang perlu dilakukan terhadap sisa-sisa tengkorak ini selanjutnya.
Di kamar mayat di Rumah Sakit Umum Filipina, Dokter Fortun menunggu untuk menerima kedatangan jenazah-jenazah yang baru diambil dari makam.
Dengan jumlah populasi yang melebihi 100 juta orang, hanya ada dua patologi forensik di Filipina. Dokter Fortun adalah salah satunya.
Dia bertemu dengan Pastor Flavie ketika pembunuhan atas nama perang narkoba dimulai.
"Saya mendengar rencana bahwa mereka akan melakukan ekshumasi. Saya ikut turun tangan dan meminta ditunjukkan jenazahnya. Jadi dia [Pastor Flavie] mulai membawa jenazah-jenazah itu," katanya.
"Yang menjadi perhatian utama saya adalah apakah ada peluru? Peluru adalah bukti yang dapat menghubungkan korban dengan penembak dan senjatanya."
Dia telah menyimpan semua peluru yang dia temukan sejauh ini. Jika kasus ini tidak dibawa ke pengadilan Filipina, Dokter Fortun berarap ICC akan meminta laporan autopsi dan peluru-peluru yang dia simpan dengan cermat.
"Saya sangat berharap suatu saat kita bisa mendapatkan keadilan," kata dia.
Di dalam kamar mayat, Dokter Fortun mulai memeriksa jenazah pemuda lainnya yang baru saja diserahkan oleh Pastor Flavie.
Dia membuka risleting kantong jenazah itu, memperlihatkan tumpukan tulang. Beberapa di antaranya masih ada jaringan lunak yang menempel. Setelah itu, dia mulai mengambil foto.
"Saya sudah melihat patahan tulang di kepala," katanya sambil menyingkirkan sejumlah rambut hitam panjang.
"Yang ini tampak seperti lubang peluru, di sisi kanan kepala pemuda ini."
Dia kemudian mengeluarkan pakaian yang telah hancur dari kantong jenazah itu, yang terdiri dari kemeja putih dan celana panjang hitam.
"Keluarga berupaya memakamkan mereka dengan cara yang spesial, jadi mereka mengenakan pakaian formal, yang mungkin belum pernah mereka kenakan semasa hidup."
"Kalau Anda lihat, giginya tidak terawat dengan baik. Ini menandakan bahwa mereka telah membunuh orang yang sangat miskin. Jangan lupa bahwa mereka adalah manusia, dan mereka dicintai."
Dokter Fortun selalu mengembalikan barang-barang pribadi korban kepada keluarga mereka. Beberapa di antaranya tidak terduga.
"Benar-benar ironis, ada dua kasus di mana saya menemukan sisa-sisa gelang plastik dari kampanye Duterte. Salah satu istri dari laki-laki tersebut mengatakan bahwa suaminya mengira akan aman kalau mengenakan gelang itu, karena dia adalah pendukung Duterte."
Dokter Fortun kemudian mengangkat tulang-tulang itu; mulai dari tulang kaki, rusuk, tengkorak, lalu menempatkannya di sebuah nampan besar bewarna perak.
Petugas kamar mayat akan membersihkannya dan menatanya di atas meja kayu dengan posisi anatomi yang benar untuk dipelajari lebih lanjut.
Selama ini di Filipina, autopsi tidak otomatis dilakukan dalam kasus-kasus kematian akibat kekerasan. Dokter Fortun pun telah melobi agar ada perubahan undang-undang terkait ini.
"Ilmu forensik mencari kebenaran, dan mungkin kebenaran itulah yang jadi masalah. Banyak orang Filipina tidak ingin kebenaran terungkap."
Polisi merupakan yang bertanggung jawab atas ini.
"Mereka menginvestigasi tempat kejadian perkara, mereka melakukan pemeriksaan medikolegal terhadap jenazah, laboratorium kejahatan adalah milik mereka. Jadi apa hasilnya? Polisi yang membunuh dan mereka yang menginvestigasi. Begitulah caranya lolos dari tuduhan pembunuhan."
Para pembela perang melawan narkoba Duterte, termasuk Jenderal Ronald dela Rosa yang merupakan Kepala Kepolisian Filipina hingga 2018, mengatakan para tersangka tidak akan mati jika mereka tidak melawan saat ditangkap.
Dia mengeklaim kampanye antinarkoba telah berhasil menurunkan jumlah ketergantungan narkoba di negara itu.
Sementara itu, apa yang dilakukan Dokter Fortun sangat melelahkan. Apalagi dia juga bertugas sebagai profesor di Fakultas Kedokteran sekaligus Kepala Departemen Patologi di Universitas Filipina.
Butuh waktu berminggu-minggu sebelum dia menyelesaikan laporannya tentang tiga korban yang baru diekshumasi – termasuk Felizardo.
Felizardo ditembak mati pada suatu malam di bulan Agustus 2019 setelah meninggalkan rumah untuk suatu keperluan.
Erlinda kemudian keluar dan melihat putranya tergeletak berlumuran darah di tanah. Salah satu saksi mengatakan kepadanya bahwa penembaknya tampak seperti polisi.
"Saya bertanya kepada saksi itu, apakah Anda bersedia bersaksi? Tapi tentu saja dia mengatakan tidak, mereka tidak bersedia. Jika orang-orang melihat sesuatu yang salah, mereka cenderung menutup mata dan menjauhi potensi masalah."
Felizardo tinggal di Parola Tondo, yang digambarkan sebagai kawasan kumuh dan paling buruk di Manila. Kawasan ini dekat dengan pelabuhan, dengan gang-gang kecil beraspal dan rumah-rumah semi-permanen.
Dia juga merupakan seorang pengguna narkoba. Namun ibunya mengatakan bahwa Felizardo sudah mulai mendewasakan diri. Belakangan sebelum kematiannya, dia mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan angkutan truk.
“Dia telah mengubah hidupnya,” kata Erlinda sambil menangis. “Inilah saatnya Felizardo membuktikan dirinya kepada mereka yang tidak mempercayainya.”
Bagi Erlinda, Duterte "tidak punya hak untuk hidup".
"Polisi dibiarkan begitu saja di lapangan. Itulah penyebab semua pelanggaran ini terjadi," kata Clavano.
Jose Dominic Clavano dari Departemen Kehakiman mengatakan bahwa dengan reformasi yang tengah berjalan berarti jaksa akan bekerja lebih erat dengan polisi termasuk dalam mengunjungi tempat kejadian perkara.
"Ini cara kami saling mengontrol dengan polisi."
Namun dia tidak merasa ICC perlu berkunjung.
"ICC hanya bisa hadir kalau tidak ada sistem peradilan yang berfungsi di Filipina. Tapi ada sistem peradilan yang berfungsi."
Sementara itu, ICC mengatakan mereka tidak yakin bahwa Filipina sungguh-sungguh menyelidiki kasus-kasus ini untuk penuntutan pidana. Penyelidikan ICC sendiri akan terus berlanjut.
Pastor Flavie meletakkan daftar panjang nama korban-korban perang narkoba di dalam guci di tugu peringatan yang dibangun untuk mereka
Sejauh ini, ada beberapa kasus kecil di mana petugas polisi ditangkap karena pembunuhan semacam ini.
Enam orang ditahan dan didakwa atas pembunuhan Jerhode "Jemboy" Baltazar, seorang nelayan berusia 17 tahun yang ditembak mati di tengah siang bolong di Navotas, Metro Manila pada Agustus lalu.
Lantaran salah mengira Jemboy adalah tersangka pembunuhan yang mereka kejar, polisi menembaknya saat sedang membersihkan perahu nelayannya.
Dia jatuh ke dalam air. Namun polisi tidak berusaha menariknya keluar. Paman Jemboy-lah yang mengambil jenazahnya beberapa jam kemudian.
Ketika Pastor Flavie mendengar cerita itu, dia mengatur pemindahan jenazah Jemboy dari rumah duka ke kamar mayat Dokter Fortun.
Dokter Fortun menyimpulkan bahwa tembakan di kepala Jemboy tidak menyebabkan kematian secara langsung. Dan jika polisi menariknya keluar dari air, "kemungkinan dia bisa selamat".
“Jadi dia tenggelam karena terjatuh ke air, karena tertembak di kepala. Kami kategorikan ini pembunuhan,” ujarnya.
Akan tetapi di tengah upaya ini, Dokter Fortun berulang kali mendapat kunjungan yang tidak diharapkan.
Pertama, dari Kepolisian Navotas yang bertanggung jawab atas penembakan tersebut. Kedua, dari kejaksaan. Keduanya sama-sama menginginkan laporan polisi.
“Cukup. Saya dilecehkan,” pikir Dokter Fortun.
Pembunuhan terhadap figur publik di Filipina bukannya tak pernah terjadi. Oleh sebab itu, Dokter Fortun memberi tahu 170.000 pengikutnya melalui X mengenai kunjungan tersebut. Dia menambahkan bahwa dia menyebarkan informasi tersebut demi perlindungan apa pun yang bisa dia dapat.
Sementara itu, Pastor Flavie masih menangani dampak penembakan tersebut. Keluarga Jemboy diduga diawasi. Kini keluarga tersebut tinggal di sebuah lokasi rahasia yang dibiayai oleh dana yang dikumpulkan Pastor Flavie.
Mengingat tidak ada tanda-tanda Duterte akan dimintai pertanggungjawaban, Dokter Fortun mengatakan, “semua orang berharap ICC akan turun tangan". Dia pun siap untuk itu.
Pastor Flavie juga optimistis para korban perang narkoba Duterte akan mendapatkan keadilan.
“Satu keluarga pada satu waktu, satu jiwa pada satu waktu," ujar Pastor Flavie.