Angkot Bandung

Kemerdekaan Ngedate, Transportasi, dan Kebijakan Tata Kota

Bayu Kharisma putra
Bayu KP, seseorang, semacam orang
27 Februari 2024 14:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Kencan  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kencan Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kesempurnaan memang hanya milik Tuhan, dan jika saja ada jari-jari Mohammad Istiqamah Djamad (Is) yang memetik senar gitar, pun berkenan mengumandangkan Berdua Saja, sore itu mungkin akan jadi sore yang nyaris sempurna.
ADVERTISEMENT
Dua mangkuk kosong, angin berembus pelan, langit temaram, aroma pisang molen dari gerobak di bawah tiang lampu jalan, riuh kondektur angkot memanggil penumpang, ada pula seorang gadis SMA berjaket merah jambu yang asyik bercerita tentang perjalanan di kampung halaman mamanya. Sembari menunjukkan beberapa foto dari BB miliknya, ia pun cekikikan pada setiap bagian yang dianggap lucu.
Tak ada yang abadi, saya tahu konsep ini sejak kecil. Maka, karena tak ada yang abadi, serta kondektur angkot yang biasanya berbohong saat itu sedang jujur (dusta semacam angkot segera berangkat tanpa menunggu penuh, atau banyak bangku masih kosong dan berdusta jika hanya kurang satu penumpang), dan angkot itu adalah yang terakhir beroperasi, saya harus mengakhiri pertemuan yang terkesan terlalu singkat tersebut. Jika saya ngeyel untuk tetap tinggal, atau menuruti maunya untuk berkunjung ke rumahnya, saya terpaksa harus pulang naik ojek. Mengingat dua mangkuk bakso, es teh, es jeruk, sudah cukup untuk menandaskan uang seorang siswa SMK negeri, tak mungkin ada sisa guna membayar ojek.
ADVERTISEMENT
Selayaknya beragam hal lain yang tak abadi, hubungan itu pun harus usai, dengan alasan: saya susah diajak ketemuan. Beragam pleidoi saya haturkan, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini salah tata kota yang berantakan, wabil khusus kebijakan pemerintah yang pilih kasih. Tapi, ia, begitu juga banyak orang lain, tak mau mempercayainya.
***
Ilustrasi bergandengan tangan. Foto: Shutterstock
Fragmen semacam di atas terlalu sering terjadi sejak masa remaja. Selain kesulitan kencan, mau pedekate pun sulit. Ajakan jalan berduaan yang tak begitu banyak, terpaksa sering saya tolak. Tentu keadaan saya sekarang sudah berubah. Jika dahulu menunggu angkot setengah jam sudah terasa menyiksa, kini menunggu satu jam tanpa dapat angkot adalah hal biasa. Jika dahulu langsung galau, kini menyadari untuk mundur teratur. Baik menunggu angkot maupun patah hati, saya anggap diri ini sudah terlatih akan keduanya. Namun, selain bersepeda, kini saya lebih terbantu juga dengan hadirnya ojek online.
ADVERTISEMENT
Kota yang car sentris, memang tak pernah cocok bagi kantong tipis. Selain mobil atau kendaraan pribadi yang seolah menjadi anak emas, naik kendaraan umum masih diidentikkan dengan kemiskinan semata. Tak banyak yang menyadari jika angkutan massal yang penggunanya setiap tahun turun 1%, adalah jalan keluar bagi banyak problema, patah hati mungkin salah satunya.
Untuk banyak orang, kendaraan umum adalah nyawa dan esensi kehidupan. Tak semua orang bisa beli mobil atau motor, itu juga yang saya alami. Motor mungkin bisa saya jangkau sambil terseok dan berpeluh darah. Namun, lebam dan keseleo yang saya alami berkali-kali, tetap tak membuat kemampuan berkendara saya meningkat sedikit pun. Dan soal mobil, saya tak punya finansial yang memadai. Tapi, terkait kendaraan umum, esensi yang kerap dilupakan adalah manfaatnya yang teramat banyak bagi kehidupan umat manusia.
ADVERTISEMENT
Mulai dari isu polusi udara, hingga penghematan bahan bakar fosil, kendaraan umum adalah jalan keluar yang terbaik. Misalnya orang-orang beralih ke KRL yang mampu menampung 30.000-60.000 orang per jam, atau bus kecil (3.000 orang/jam), tentu sangat amat mungkin mengurai kemacetan juga. Idealnya begitu, meski kenyataan di lapangan tak seindah angan. Ketersediaan kendaraan umum kita tak memadai dan aksesnya belum merata.
Tentu teramat indah saat membayangkan menuju halte sembari bergandengan menyusuri trotoar yang dinaungi pohon atau lampu jalan seperti di Belanda. Pada kenyataannya, kalau kaki tak tersangkut tali tenda pecel lele, ya, paling banter melipir karena ada motor parkir. Keliling kota naik MRT atau trem saat senja, sembari bercerita tentang hari kemarin, lalu pulang agak malam sehabis nonton, sudah pasti indah. Sayang, yang justru terjadi adrenalin terpompa ketika di jalan, manakala menyadari ada kemungkinan celurit panjang hendak menebas leher atau tertimpa baliho caleg.
ADVERTISEMENT
Di kampung saya, angkot adalah satu-satunya. Selain jumlah armadanya yang kini turun drastis, terutama untuk kencan, ia tak pernah benar-benar bisa diandalkan. Dua kali kehilangan barang berharga, diberaki ayam, tak ada yang beroperasi 24 jam, dan hampir selalu ngaret. Pada akhirnya angkot hanya menjadi perantara menuju ojek online. Dari rumah, saya masih perlu naik angkot beberapa kilometer untuk mendapatkan transportasi online.
Meski begitu, ojek online masih menyisakan masalah ketika saya harus pulang di atas jam sembilan malam. Tak hanya sekali saya ditolak driver, dan saya memaklumi. Jalur ke kampung saya memang gelap, jalannya tak rata, sering ada garangan menyeberang sembarangan, dan banyak kejadian pembegalan serta seringnya para klitih memilih jalur tersebut untuk bergerilya. Meski bercengkerama berdua membahagiakan, dan konon menyayangi kekasih perlu pengorbanan, pulang gasik adalah upaya bertahan hidup yang sesungguhnya lebih penting diperjuangkan pada usia muda ini.
ADVERTISEMENT
Mungkin Anda bertanya-tanya dalam kalbu dan sukma, kenapa tak menggunakan taksi online saja? Ya, di negara yang upah buruh merangkak terlalu pelan pun air putih saja harus beli-jika tak tega disebut tak punya duit-seyogyanya saya harus hidup dengan arif dan menjunjung tinggi frugal living.
Kota besar macam Jakarta mungkin sedikit lebih beruntung perihal akses kendaraan umum. Masih kurang jumlahnya, dan macetnya abadi. Tapi, setidaknya ada. Yang dibutuhkan mungkin adalah integrasi antar-moda transportasi umum. Sejauh ini, Jakarta dan kota-kota besar lain masih terkesan membiarkan beragam moda angkutan umum berjalan sendiri-sendiri. Padahal, semua alat transportasi tersebut seharusnya menjadi satu kesatuan. Dalam teori transportasi, angkutan yang kecil menjadi pendukung angkutan yang lebih besar daya angkutnya. Angkot atau bus kecil, seharusnya menjadi perantara menuju ke stasiun atau terminal bus, dan kemudian jalur kereta bisa melewati bandara. Yang pasti keberpihakan pemerintah harus jelas, tak setengah-setengah atau sekedar yang penting ada.
Angkot Bandung (ilustrasi). Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
Saya bukan tidak pro kendaraan umum dan hanya menjunjung tinggi kendaraan pribadi. Harap maklum, transportasi massal yang kita miliki memang belum memadai. Keamanan, kenyamanan, hingga jumlahnya memang jauh dari sekedar kata cukup. Kendaraan pribadi memang tak seharusnya digunakan untuk setiap hari, tapi dengan catatan fasilitas publik sudah mumpuni. Sudah berapa banyak ngedate cantik yang terhalang kebijakan tata kota dan transportasi yang buruk? Belum lagi masalah yang lebih gawat macam membawa anak saat jam sibuk, bangku prioritas yang dianggap milik semua, pelecehan, pencopetan, hingga tablet yang berevolusi menjadi keramik. Apalagi jika ada keadaan genting nan mendadak, ambulan di negara ini tak bisa langsung datang saat seseorang berteriak “Call 911!”.
ADVERTISEMENT
Karena itulah, punya mobil masih saya usahakan, begitu juga belajar naik motor, dan mungkin suatu hari nanti mempertimbangkan konsep taaruf (mengingat kencan tanpa punya kendaraan pribadi itu merepotkan, mendingan tak usah sekalian). Harus sedia berusaha mati-matian. Pasalnya, saya tak berasal dari keluarga yang jika tak sanggup melihat keadaan negaranya bisa ngomong, “Ayo kita pindah ke luar negeri, mari tinggalkan lubang biawak ini!”.
Susah memang, naik sepeda tak ada jalurnya, jalan kaki terserempet baliho pecel lele, kendaraan umum masih seadanya jika tak boleh disebut ampas, tata ruang kota masih berkutat pada memperbanyak parkiran serta mal, dan semua itu menunjukkan jika tak ada keberpihakan pada asmara kawula muda bernyawa UMR minim. Selayaknya para sopir angkot yang masih saja curhat akan sunyinya penumpang serta sulitnya membayar setoran, sepertinya saya memang harus bertahan lebih keras dan lebih bersabar lagi.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten