Ketika Gizi Rakyat Serba Salah

Konten Media Partner
25 Januari 2019 17:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kemiskinan anak-anak. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kemiskinan anak-anak. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banjarhits.id - Soal gizi, bangsa kita masih kedodoran. Padahal para pemimpin sedunia sepakat bahwa gizi menentukan nasib bangsa. Namun, kenyataan yang terjadi di Indonesia: Orang kaya sakit sebab gizi berlebih di tengah masih banyak rakyat rawan gizi.
ADVERTISEMENT
Penyebabnya mayoritas lantaran sama-sama tidak paham gizi. Namun, siapa yang harus memberitahu rakyat kalau menu bergizi tak perlu mahal? Bahwa sayur kangkung, pepaya, telor, dan lele melengkapi gizi keluarga bisa ada di depan rumah. Seorang futurolog, Alfin Toffler, sudah lama menujum bahwa bakal tiba masanya “prosumen” hadir.
Ketika itu masyarakat dunia bakal mencukupi sendiri kebutuhan pangannya dalam arti luas. Dan ketika produsen kewalahan meladeni konsumen dunia, maka masyarakat berswalayan memenuhi kebutuhan bahan pangan hariannya.
Untuk ihwal gizi, pemanfaatan pekarangan rumah saatnya dijadikan sebuah gerakan. Hal ini terlebih berfaedah buat kondisi rakyat kita yang rata-rata lemah pranata hidup sehatnya. Selama ini kasus gizi kurang diberi makanan tambahan.
ADVERTISEMENT
Alokasi anggaran gizi buat proyek pemberian makanan tambahan anak sekolah ternyata belum menambah pintar rakyat tentang gizi. Seturut medis sungguh tak rasional kurang gizi diobati hanya melalui minum susu atau bubur kacang hijau. Padahal lebih murah dan tepat kalau wawasan gizi rakyat dicerahkan.
Revitalisasi puskesmas, pemberdayaan kader kesehatan, dan reformasi kurikulum pendidikan kesehatan sekolah dijadikan jalan pintas memintarkan rakyat mencukupi gizi secara murah. Ketika jajanan di sekolah rata-rata kosong gizi, sebagian malah berbahan berbahaya maka sikap kritis rakyat memilih menu menyehatkan yang justru perlu dibangun.
Mestinya makan bukan soal enak, tapi terjangkau dan bergizi. Menyuluh rakyat agar lebih pintar menghindar dari kejadian gizi salah, perlu diberi bobot lebih.
ADVERTISEMENT
Data menunjukkan meningkatnya angka penyakit kanker dunia sekarang terkait pula dengan kelirunya memilih menu harian. Hanya gara-gara tak tahu jika dua tahun pertama balita lebih butuh telur atau ikan, maka lahirlah generasi kerupuk.
Generasi yang harus bersaing global, tapi IQ sekian digit di bawah sebayanya di dunia hanya karena tak lengkap gizi meja makan ibu sejak bayi.
Maka mengoreksinya tak cukup memberi susu dan bubur kacang hijau. Padahal orang papa masih mungkin mencukupi gizi dari pekarangan rumah. Daun singkong, belimbing, dan lele di gentong sebuah terobosan mengisi kecukupan gizi rakyat.
Jadi tak ada alasan lagi balita jadi dungu gara-gara tak cukup protein kalau semua ibu diberitahu bahwa telur lebih bernilai ketimbang kerupuk. Artinya tidak ada jalan lain buat paham gizi bagi setiap ibu. Lebih dari itu, gerakan “prosumen” memberdayakan ibu lengkap mengisi gizi meja makan dan swadaya berbudaya bahan pangan di rumah.
ADVERTISEMENT
Untuk itu perlu penyuluhan teknik hidroponik menanam sayur dan bumbu dapur di kaleng bekas, budidaya lele di gentong, berternak ayam dan itik diambil telurnya sebagai pendongkrak gizi keluarga. Itu alasan kenapa anggaran gizi secara nasional sebaiknya lebih dialokasikan buat memberikan modal berbudaya setiap keluarga papa.
Dengan memodali bibit sayur, pohon buah, lele, ayam dan itik petelur, keluarga papa sanggup swadaya mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Artinya membangun masyarakat pintar gizi lebih murah dan tepat ketimbang memboroskan anggaran buat satu-dua kali memberi susu dan bubur kacang hijau.
Diniscayai , solusi masalah gizi nasional bukan lagi memberi ikan, melainkan mengajarkan masyarakat memakai kailnya. Buat jangka panjang, sekolah wajib membentuk anak cermat memilih menu bergizi.
ADVERTISEMENT
Paham mana menu menyehatkan, mana yang merugikan. Dengan begitu pemerintah tak berat memikul masyarakat korban gizi salah nantinya. Problem yang terjadi sekarang, rakyat papa maupun yang berkecukupan sama-sama salah mengisi meja makan keluarga.
Sekarang kasus stroke dan serangan jantung menimpa usia lebih dini karena salah memilah gizi. Pola makan cenderung menu gorengan, jajanan manis serba berlemak tinggi, lebih lama duduk main games, dan nonton telivisi menjadi faktor resikonya.
Kondisi itu membentuk generasi mati premature (premature death). Mestinya tidak begitu kalau masyarakat dibuat cerdas gizi. Selain mengecilkan angka rawan gizi, bangsa tak perlu kehilangan sumber daya usia produktif. Untuk diketahui gemuk sejak kecil adalah ”bom waktu” beragam penyakit ketika dewasa.
ADVERTISEMENT
Menariknya tak rela kehilangan generasi produktif. Pemerintah Singapura menimbang anak sekolah agar berat badan terjaga tetap ideal, tidak gemuk, tidak pula kurus sedari kecil. Bagaimana pemerintah Indonesia? Di masyarakat kita gemuk masih dianggap simbol kemakmuran.
Berseberangan dengan generasi kerupuk yang lemah dan sakit-sakitan akibat kurang gizi, anak dari keluarga yang berkecukupan berisiko mati muda akibat penyakit dagu berlipat (double chin syndrome).
Dua penyakit itu hampir pasti hadir bila rakyat tidak diberitahu. Maka seeloknya kita makan dengan kepala, bukan dengan hati.
Selamat Hari Gizi Nasional, 25 Januari!
____
Kolumnis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.id.
ADVERTISEMENT