Keterpurukan Bangsa dan Peran Kita

Konten Media Partner
2 Juni 2018 19:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penulis: Pribakti B (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dan Dokter RSUD Ulin Banjarmasin). Tulisan ini opini pribadi yang dikirim untuk banjarhits.id
ADVERTISEMENT
Banjarhits.id - Syahdan, tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pria sepuh yang rumahnya di pinggir pantai. Setiap pagi Pak Tua itu memunguti hewan kecil yang terdampar di pinggir daratan akibat deburan ombak malam hari. Berbagai hewan kecil itu akan mati, jika tidak bisa kembali kelaut lepas. Karenanya, setiap pagi Pak Tua memunguti ikan-ikan kecil serta ubur-ubur untuk dilemparkan kembali ke laut.
Suatu kali datang bocah kecil menertawakan apa yang dilakukan pria itu. Kata si bocah: “Pak, bukankah pekerjaan ini sia-sia, karena pantai ini begitu panjang dan jauh lebih banyak binatang laut yang tidak bisa bapak selamatkan ketimbang yang bisa bapak pungut yang jumlahnya mungkin hanya belasan”. Pak Tua menjawab, ”Kalaupun aku tidak bisa menyelamatkan semuanya, maka aku merasa berkewajiban menyelamatkan sebisa-bisanya yang masih dalam jangkauanku”.
ADVERTISEMENT
Sama pula dengan hal keterpurukan multidimensi yang melanda bangsa ini. Tentunya semua tahu persoalan bangsa sudah berskala besar dan mengkuatirkan: tenaga kerja asing, nilai tukar rupiah anjlok dan hutang negara, boleh jadi itu semua di luar kemampuan pribadi seorang presiden untuk mengatasinya. Meski demikian, seperti nasehat pak tua, kita wajib berbuat mengurai kusut untuk bangsa ini. Lalu, dari mana harus dimulai?
Pertama, mulai dari diri sendiri. Kita harus perkuat tekad dan komitmen berani tampil melawan arus gelombang demoralisasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam lingkungan kantor, keluarga maupun masyarakat. Kedua, harus menetapkan target untuk berusaha membantu teman agar satu haluan dengan kita. Setiap hari kita bertanya, apa yang telah aku lakukan buat diriku dan temanku untuk mempengaruhi komitmen moral agar tidak tergelincir?
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, kita perlu memperluas dan memperkuat penyadaran dan pencerahan hidup melalui berbagai forum apa saja yang bisa dimanfaatkan. Sesungguhnya jatuh bangun sebuah bangsa pasti digerakkan oleh faktor sebab yang bekerja di balik semua peristiwa, baik yang dianggap kecil maupun besar, yang disadari maupun yang tidak disadari, yang baik maupun yang buruk, dan yang diterima maupun yang diingkari.
Dengan logika seperti itu, sejatinya keterpurukan yang menimpa bangsa ini jelas merupakan produk kita sendiri. Jalinan antara faktor struktur dan kultur politik yang demikian pengap sehingga sudah sulit dipisahkan lagi mana variabel sebab dan mana variabel akibat. Tapi, bagaimanapun juga, akhirnya kita semua menanggung akibatnya dan secara moral kita semua turut bertanggung jawab mengingat struktur dan kultur tidak bisa dimintai tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang begitu dangkal memahami dan menjalani hidup, mata hati, dan pikirannya hanya mampu memandang karma dalam jarak pendek, terutama terkait langsung kebutuhan fisik. Orang yang menjadikan kekayaaan materi sebagai ukuran sukses dan sumber kebahagiaan harus siap hidupnya gelisah karena kualitas dan masa berlakunya hanya berlangsung pendek. Terlebih jika cara meraihnya tidak mengikuti kaidah hukum moral dan sosial, maka karma negatif akan menemuinya.
Banyak contoh di sekeliling kita. Mereka yang dahulu hebat karena dengan seenaknya menjarah harta negara, kini mulai merasakan akibatnya. Rasa harga diri lenyap dan sejarah mengutuk sebagai perusak bangsa, bukannya pembangun bangsa. Di tengah hantaman keterpurukan yang massif, kita harus bisa keluar dari jeratan dampak negatif masa lalu. Kita bangun optimisme sambil melakukan pertobatan serta belajar dari kesalahan masa lalu.
ADVERTISEMENT
Yang pasti, Tuhan tidak pernah menghukum suatu bangsa, tetapi mereka sendiri yang sebenarnya berbuat aniaya dan bertindak kejam pada dirinya. Celakanya, manusia lebih senang memilih bertindak bengis dan bodoh terhadap sesama. Untuk itu mari semua ini kita renungkan.
Kita berharap keterpurukan ini merupakan sebuah proses menuju ke arah kedewasaan dan peningkatan dalam berbangsa dan bernegara. Minimal kita berniat menggapai tahapan hidup yang lebih bermartabat, meski ongkosnya kita rasakan terlalu mahal. Hanya sebuah bangsa bodoh dan zalim yang harus membayar mahal untuk meraih jalan kebenaran.
Lebih dari itu, tanpa ada komitmen berusaha memelihara diri melalui latihan pencerahan hati dan pikiran, energi kita cepat terkuras. Sumber energi yang tak pernah habis sesungguhnya ketika selalu mendekat ke Tuhan. Selebihnya lakukan spiritual and intellectual gathering untuk memperoleh sinergi batin, sehingga memperkuat energi dan motivasi berbuat baik.
ADVERTISEMENT
Kita luangkan waktu dari jebakan rutinitas, lalu bersama-sama berdialog dengan diri, dengan kehidupan, dengan imajinasi masa depan, dalam suasana batin yang jernih dan hati yang tulus untuk menciptakan suasana damai. Damai dalam diri, damai dalam keluarga, dan damai dalam kehidupan sosial.
Maka benarlah kata seorang kawan, bacalah koran, lihatlah televisi dan dengarkanlah radio. Maka kita mudah berkesimpulan bahwa banyak orang, termasuk para elite politik republik ini, hanya menonjolkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Mereka terampil memaksakan kehendak, saling tuduh, mempermainkan hukum, dan tega mengorbankan anak sebangsa yang dililit kemiskinan dan pengangguran.
Sesungguhnya saat ini kita benar-benar membutuhkan tampilnya sosok ekonom, teknokrat dan politikus yang memiliki kenegarawanan, bukan sekadar tokoh partai yang sibuk menghitung kalkulasi dan konspirasi bagaimana caranya bisa langgeng berkuasa.
ADVERTISEMENT
Patut diingat, semangat awal mendirikan Republik ini untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.
Sayangnya, selama ini para pemimpin kita masih kurang taat asas pada pencapaian tujuan nasional tersebut. Oleh karena itu, kita harus merasa terpanggil untuk terus mengembuskan angin sejarah biar air laut bergolak dan bumi bergetar. Biar semua komponen bangsa ini, terutama para pemimpinnya, terbangun dan bekerja mati-matian untuk bangsanya. Itulah harapan Pak Tua. (*) Ilustrasi: Pixabay