Hidup (Bukan) Hanya Urusan Perut

Konten Media Partner
7 Juli 2018 8:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penulis: Pribakti B (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dan Dokter RSUD Ulin, Kota Banjarmasin). Tulisan ini opini pribadi yang dikirim untuk banjarhits.id
ADVERTISEMENT
Banjarhits.id - Jargon seperti judul di atas tampaknya sangat mengena sebagian besar manusia modern yang terjebak dalam rutinitas kerja menjemukan dan aktivitas yang monoton. Secara tak sadar, sedikit demi sedikit otak kita mulai mengerucut karena lama terjebak dalam pemikiran yang sempit. Saat kita tak lagi bisa memaknai hidup dengan hati dan logika, maka selamanya kita akan terdampar dalam sebuah kehampaan. Ujung-ujung, kita menjadi manusia modern yang tak peka, tak berperasaan, dan antisosial.
Mayoritas kita berprasangka bahwa uang yang banyak, jabatan elit, dan status sosial tinggi merupakan jaminan kebahagian hidup. Namun apa yang terjadi? Justru teramat banyak orang-orang kaya, pejabat, dan tokoh masyarakat yang hidup dalam kegelisahan, kemandulan, stres, gila dan bahkan sebagian nekat bunuh diri. Jadi, mari kita kembalikan ke titik awal: sebenarnya niat kita hidup seperti apa? Sebab sesungguhnya niat itu punya kekuatan luar biasa. Jika niat itu lurus sering membuahkan di luar dugaan. Sebaliknya niat yang ragu-ragu acap berujung jeblok. Atau, kalaupun dipaksakan, sering meleset dari kata hati dan berujung menyalahkan orang lain.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan bekerja, bertetangga dan berteman pun sejatinya tak lepas dari niat. Niat untuk mengabdi, menjalin persaudaraan atau apapun. Misalnya, kerjaan tak beres diingatkan sebagai asal-asalan, malah sewot. ”Merasa ditikam dari belakang”.
Padahal, yang namanya koreksi itu justru cambuk agar kita bisa berlari kencang. Kalaupun dimarahi— lantaran yakin kitadalam koridor kebenaran— sambutlah dengan rasa terima kasih. Sebab itu justru membantu ketenangan dan kebijaksanaan kita, tak usah bete.
Harus diakui, di zaman now ini kita cenderung nikmat untuk berilusi. Puas pada diri sendiri. Kita mungkin sadar memasuki api yang menyala, tapi belum menyadari akibatnya. Sering kali kesadaran itu muncul belakangan, setelah langkah terbentur kiri-kanan, setelah kayu menjadi arang. Kita pasti pernah mengalami bahwa marah itu tidak nyaman. Nafsu itu hanya akan membuat napas tersendat di leher dan badan serasa lemas. Tubuh jadi loyo, energi terkuras. “Minumlah biar marahmu hilang,” kata orang tua dulu.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya orang bijaklah yang mampu mengatasi pertentangan antara terang dan gelap, baik dan buruk, kenikmatan dan rasa sakit, penghormatan dan penghinaan dari dalam diri sendiri. Dia menyadari bahwa hidup yang disebut-sebut sebagai penderitaan terdengar pesimistis, walau itu realitas diubah menjadi sebuah kenikmatan. Tepatnya, kehidupan itu dipenuhi oleh refleksi. Jika bertemu dengan orang yang dipenuhi cinta, maka hati kita pun terefleksikan oleh cinta. Pertemuan dengan orang-orang gelisah hanya melahirkan kegelisahan. Maka, kepada sesama, yang terbaik adalah memberikan cinta, bukan kebencian.
Memang hidup itu warna-warni. Orang bijak menulis: “Kadang-kadang orang yang sibuk mengembangkan mental dengan penyucian mental, harus melakukan pengorbanan-pengorbanan kecil, kegagalan-kegagalan kecil. Namun semua itu hanyalah proses menuju sesuatu yang subtansial, yang sangat berharga”.
ADVERTISEMENT
Irama hidup itu pula yang mewujud dalam diri kenalan baru saya, namanya Markum. Ia berjualan lukisan sejak zaman Orde Baru. Pria itu nyaris buta huruf (kalau tidak ada program Kejar Paket A). Hidup jujur kendati menyadari bahwa kehausan tepatnya keserakahan manusia itu tidak terbatas. Ia tak mau mengambil milik orang lain. Dan jangankan untuk mengambil, urusan sumbang-menyumbang tetangga hajatanpun perlu kepantasan. Padahal sehari hasil dari jualan lukisan, paling banyak dia untung Rp 5.000-Rp10.000 untuk satu lukisan.
Lebih dari itu, hebatnya pula dengan puluhan lukisan dipundaknya, Markum bisa berjalan berkilo-kilometer. Ia percaya pada Allah, Tuhan Nya yang tidak kelihatan, yang selalu menemani dan tidak pernah membuatnya sepi dan sendirian.
Sepertinya senantiasa berakar dari kesucian moral yang dibangun melalui laku prihatin dan menjaga diri dari nafsu. Hidup memang penuh tenggang rasa. Hidup adalah realitas, tapi kebersihan hati yang utama. Dan, bagi mereka, hidup bukan hanya urusan perut tapi sebuah kepribadian tidak akan hilang setelah kematian. Itu yang akan menyertai di akhirat kelak. Tujuan hidup bisa rusak karena melayani perintah nafsu, marah, serakah, khayalan dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sebuah pepatah mengatakan, pikiran orang suci seringkali tampak terlalu bagus untuk hidup dan karena itu diremehkan manusia. Akibatnya seringkali ia tampak bukan bagian dari dunia ini. Ungkapan ”Kamu sok suci!” sering terngiang di telinga. Dituding bodoh karena menampik sogokan atau tak mau berkongkalikong.
Celakanya, seringkali ketidakjujuran dan pikiran kotor itu justru membawa sukses besar seseorang. Misalnya, dengan uang hasil KKN dia menjadi elite politik, menjadi konglomerat, atau pejabat daerah. Tentu semua itu bukan salah orang suci tersebut melainkan kesalahan dunia yang terlanjur busuk.
Jadi jangan heran, bila kini semua orang seakan terobsesi mengejar keberhasilan materi adalah segalanya. Maka, orang yang berpikir jernih pun mengangkat tangan. Adilkah ini? Entahlah. Pertanyaan itu sulit dijawab. “Allah punya skenario yang tidak kita ketahui,” itu jawaban paling aman. Bukan begitu kawan?
ADVERTISEMENT