Profauna Soroti Maraknya Perdagangan Satwa Liar di Facebook

Konten Media Partner
22 Mei 2019 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak tapir di Kebun Binatang Bandung. (Agus Bebeng/Bandungkiwari)
zoom-in-whitePerbesar
Anak tapir di Kebun Binatang Bandung. (Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANDUNG, bandungkiwari – Bertepatan dengan momen Hari Keanekaragaman Hayati Dunia atau International Day for Biological Diversity yang jatuh hari ini, Rabu (22/5), Organisasi Protection Forest and Fauna (Profauna) Indonesia, sebagai elemen masyarakat yang gencar melawan perdagangan satwa liar dilindungi menyoroti aksi jual beli satwa dan tanaman yang dilindungi melalui media sosial Facebook.
ADVERTISEMENT
Koordinator Profauna Indonesia wilayah Jawa Barat, Nadya Andriani mengatakan, penegakan hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi sedang marak. Namun, hal itu tidak lantas memberantas praktik penjualan melalui dunia maya.
"Untuk saat ini, lagi marak penegakan hukumnya. Akan tetapi transaksi perdagangan satwa tidak pernah surut karena mereka selalu berusaha mencari bentuk baru," kata Nadya saat ditemui di Bandung.
Nadya mengatakan, larangan di media sosial Facebook terkait kebijakan perdagangan satwa liar dilindungi perlu diapresiasi. Namun, kata dia, aturan tersebut masih longgar karena pemasaran satwa liar dilindungi cukup memungkinkan dilakukan di beranda atau iklan.
"Tidak boleh menjual binatang di marketplace atau grup jual beli. Termasuk postingan tentang adopsi binatang. Perlu diingat bahwa Anda boleh membuat postingan kabar beranda atau iklan tentang menjual binatang," ucapnya menirukan isi aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ia menegaskan, aturan tersebut akan mempermudah pengawasan perdagangan satwa liar dilindungi.
"Berdasarkan pemantauan yang kami lakukan, akun jual beli satwa liar dilindungi di Facebook hingga 2018 mengalami penurunan sekitar 40 persen," kata Nadya.
Menurutnya, dalam kurun empat tahun terakhir, perkembangan akun jual beli satwa mengalami fluktuasi. Pada 2015 misalnya, ditemukan 22 akun aktif dan 7 grup aktif.
Pada 2016, terdapat 31 akun dan 16 grup 31 aktif. Satu tahun kemudian, jumlah akun bertambah menjadi 46 dan 20 grup. Pada tahun yang sama, Profauna juga menemukan penjualan satwa liar yang dilindungi melalui 11 akun media sosial Instagram
Tahun 2018 lalu, seiring maraknya penegakan hukum, jumlah akun menurun jadi 28 dan 4 grup. Adapun akun Instagram justru bertambah menjadi 28.
ADVERTISEMENT
Nadya menyatakan, meski jumlah akun jual beli satwa di Facebook mengalami penurunan, para pedagang satwa tak pernah kehabisan akal.
Selain melalui grup jual beli, aktivitas perdagangan kemudian bergeser pada penawaran satwa melalui timeline atau status akun pribadi yang di-tag ke sejumlah akun jaringannya. Akun jaringan ini sebenarnya berasal dari grup jual beli yang telah berubah format. Pola penjualan sangat unik, satu individu satwa bisa saja dipasarkan oleh lebih dari satu akun Facebook kepada sejumlah grup jual-beli.
"Media sosial masih menjadi sarana utama dalam perdagangan satwa. Modusnya, barangkali tidak menyertakan kata kunci 'jual' atau 'adopsi' tapi tetap masih bisa dideteksi seperti menggunakan kata nambah dulur, silaturahmi call, dan sebagainya," ujar Nadya.
ADVERTISEMENT
Menurut pantauan Profauna Jabar, kata dia, satwa yang dijual kebanyakan jenis satwa reptil dan burung predator. Bahkan, pihaknya sempat menemukan permintaan bayi macan tutul.
Nadya juga turut mengkritisi peraturan pemerintah melalui Permen LHK P.106/2018 yang merupakan perubahan dari P.20/2018 dan P.92/2018, yang mengubah status beberapa tanaman yang sebelumnya dilindungi menjadi tidak dilindungi.
"Tanaman pohon sonokeling pun dikeluarkan dari statusnya. Hal itu juga disesali peneliti," ujarnya.
Nadya menegaskan, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa Indonesia. Dia menyebutkan, lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lalu, lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak.
ADVERTISEMENT
Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula harganya.
Adapun satwa liar Indonesia dalam hukum dibagi dalam dua golongan yaitu jenis dilindungi dan jenis yang tidak dilindungi. Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi adalah tindakan kriminal yang bisa diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta.
"Padahal hasil dari penjualan lebih dari dendanya, sehingga belum membuat penjualnya jera," ujarnya.
Ia berharap, di Hari Keanekaragaman Hayati Dunia ini, masyarakat mau mengenal dan melestarikan satwa liar dan tanaman yang dilindungi.
"Perdagangan itu bukan solusi, karena yang penting dalam mempertahankan populasi adalah tetap berada di habitatnya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Momen Hari Internasional untuk Keanekaragaman Hayati bagi Indonesia merupakan suatu kebanggaan. Sebab. Negeri ini sebagai salah satu negara dengan kekayaan hayati tertinggi di dunia.
Hari yang dicanangkan PBB ini merupakan salah satu hari perayaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan kecintaan seluruh penduduk bumi terhadap keanekaragaman hayati atau biodiversitas (biodiversity). (Ananda Gabriel)