Pengamat: Sejak 1970, Angkot Bandung Kurang Disentuh Inovasi

Konten Media Partner
12 Maret 2019 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Angkot jurusan Cicaheum-Ciwastra, Bandung. (Iman Herdiana)
zoom-in-whitePerbesar
Angkot jurusan Cicaheum-Ciwastra, Bandung. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANDUNG, bandungkiwari - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tengah uji coba program transportasi carpooling Grab to Work atawa naik Grab bareng-bareng. Untuk sementara, program ini berlaku bagi PNS di Dinas Perhubungan Kota Bandung yang ke depannya tidak menutup kemungkinan berlaku bagi semua PNS.
ADVERTISEMENT
Program tersebut diklaim sebagai inovasi untuk mengurangi peredaran kendaraan pribadi di Bandung. Namun pengamat pengamat kebijakan publik dan tata kota, Frans Ari Prasetyo, menilai program tersebut tidak menyentuh akar permasalahan transportasi di Bandung.
“Program ini terlihat elegan dan populis tetapi mensimplifikasi masalah transportasi Kota Bandung yang sudah akut,” kata Frans, saat dihubungi Bandungkiwari, Senin (12/3).
Dosen planologi ini justru menyarankan Pemkot Bandung agar melakukan inovasi terhadap sistem transportasi yang sudah lama ada di Bandung, yaitu angkutan kota (Ankot).
“Bandung miliki sistem yang sebenarnya baik bisa menjangkau semua lintasan atau kawasan, yaitu angkot. Tetapi sejak tahun 70-an trayek angkot ini tak berubah, sedangkan kultur atau gaya transportasi masyarakat cenderung berubah. Ini sebenarnya yang perlu solusi sehingga bisa mengatasi membludaknya jumlah kendaraan pribadi maupun kemacetan Kota Bandung,” papar Frans.
ADVERTISEMENT
Ia menuturkan, tahun 70-an pertama kali ada angkot di Bandung, memang terasa sekali manfaat dan kegunaannya. Waktu itu, jumlah transportasi pribadi masih langka, tidak semasif era tahun 2000 hingga sekarang. Menghadapi fakta ini, Frans tidak melihat upaya pemerintah daerah membangun solusi berupa revitalisasi sistem perangkotan di Bandung.
“Skema angkot dari tahun 70-an hingga sekarang begitu-begitu saja, tidak berubah. Padahal banyak pakar atau ahli yang bisa membuat skenerio angkot yang sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.
Pemkot Bandung justru banyak mengeluarkan program yang dinilai reaksioner atau populis tanpa menyentuh akar permasalahan seperti yang saat ini diluncurkan, yakni Grab to Work.
Ia menyebut program transportasi Pemkot Bandung sebelum diluncurkannya Grab to Work, yakni bus sekolah. Menurutnya, program bus sekolah tidak berjalan efektif. Bus sekolah dinilai kurang sinkron dengan angkot.
ADVERTISEMENT
“Di satu sisi bus sekolah baik menyediakan transportasi untuk rakyat, tapi di sisi lain pendapatan angkot jadi berkurang karena pendapatan mereka juga di jam-jam sekolah,” katanya.
Program transportasi lainnya yang pernah diluncurkan Pemkot Bandung antara lain sepeda yang dicanangkan seminggu sekali. Pemkot Bandung juga telah membangun rute khusus sepeda. Namun lagi-lagi program ini dinilai reaksioner dan populis.
Dari sekian program transportasi, Frans melihat angkot tidak pernah mendapat sentuhan. Padahal banyak sekali solusi untuk merevitalisasi angkot ini, misalnya memberikan subsidi pada sopir angkot sehingga pelajar bisa naik angkot gratis atau dengan ongkos murah, pemberian insentif bagi sopir angkot, dan lainnya.
Lalu dilakukan pembenahan jalur atau trayek angkot, termasuk jumlah armadanya dan membuat regulasi tentang regenerasi angkot.
ADVERTISEMENT
“Skema angkotnya harus dibenerin. Sekarang ini trayek tak penah berubah. Sehingga terjadi penumpukan trayek. Masa satu jalur ada sampai 5 trayek. Berarti ada sekenario yang salah tentang angkot ini,” katanya.
Pemkot juga disarankan membeli angkot yang ada di tiap trayek. Sehingga angkot yang dikelola Pemkot ongkosnya bisa disubsidi. Dengan ongkos angkot yang murah, orang pasti berlomba naik angkot.
Banyak contoh skema transportasi yang bisa diambil Pemkot Bandung. Misalnya di Jakarta, ada Transjakarta yang bisa mengambil hati masyarakat untuk menggunakan transportasi publik. Transjakarta dikelola pemerintah, dan mampu bersaing dengan moda transportasi swasta.
Contoh merevitalisasi angkot juga tidak perlu jauh-jauh, sebab di Bandung sudah ada layanan bus Damri yang merupakan milik publik. Sekarang ini Damri sudah jauh berubah, dengan kondisi bus yang lebih baik dan nyaman. Frans menyarankan bisa saja skenario Damri diterapkan untuk merevitalisasi angkot Bandung.
ADVERTISEMENT
Revitalisasi angkot bukan berarti di dalam angkot harus ada fasilitas kekinian seperti Wifi, AC, atau TV kabel. “Bagi warga yang penting kendaraannya bagus, rapi, tidak ngetem, dan murah,” katanya.
Sekarang ini, keluhan warga pada angkot ialah soal ngetem, ugal-ugalan, sopir tembak, calo, dan lainnya. Hal ini yang perlu mendapat solusi dari Pemkot Bandung. “Angkot tidak bisa dibiarkan tumbuh liar tanpa inovasi, karena ini untuk kebutuhan publik,” tandasnya.
Ia mengacu pada Transjakarta yang mampu bersaing dengan metro mini maupun Kopaja. Transjakarta dikenal sebagai moda transportasi yang ramah dan murah, beda dengan kompetitornya yang dikenal sering ugal-ugalan dan tidak nyaman.
“Pemkot juga nanti bisa terapkan skema asuransi pada sopir-sopir angkot, mereka agar menadpat BPJS dan lain-lain,” katanya. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT