Tenang dalam Badai: Mengatasi Trauma dengan Sadar Penuh Hadir Utuh

Ayesha Sumaya Ardiningrum
Mahasiswa Psikologi di Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
14 Desember 2023 22:03 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayesha Sumaya Ardiningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi trauma. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi trauma. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Trauma sendiri dapat ditandai gejala fisik dan emosional. Pada gejala fisik, salah satunya dapat ditandai oleh gangguan makan, gangguan tidur, dan sebagainya. Sementara pada gejala emosional sendiri, terdapat gejala seperti munculnya perasaan depresi, kecemasan, putus asa, dan hingga penarikan diri dari rutinitas keseharian.
ADVERTISEMENT
Trauma tidak melihat batasan usia, latar belakang, maupun status sosial. Dalam bentuk seperti apa pun, trauma meninggalkan jejak yang jelas dan susah untuk dilepaskan. Banyak orang tahu bagaimana cara mengatasi trauma tersebut, namun banyak juga yang masih tidak menemukan jalan untuk mengatasinya. Untuk mencari ketenangan dalam badai tersebut, bisa diterapkan yaitu, mindfulness.
Dewasa ini, banyak penelitian mengangkat mindfulness sebagai salah satu cara mengatasi trauma, atau jika ditelaah ke judul, merupakan salah satu cara dalam meraih ketenangan di tengah badai yang menghambat. Mindfulness atau yang biasa disebut juga dengan konsep “sadar penuh hadir utuh” (Silarus, 2015).
Mindfulness merupakan salah satu aliran psikologis yang berakar dan berasal dari tradisi kontemplasi dan praktik meditasi Timur. Mindfulness sendiri merupakan konsep di mana suatu individu memberikan perhatian penuh terhadap pengalaman yang dirakannya tanpa adanya perubahan dari sisi mana pun (Yusainy dkk., 2018).
ADVERTISEMENT

Mindfulness dan Trauma

Eksposur terhadap trauma merupakan pengalaman yang sudah umum terjadi. Namun, reaksi atau pun respons setelah kejadian traumatis (Posttraumatic) beragam pada setiap arahnya dan intensitasnya. Stress pasca trauma (Posttraumatic stress atau PTS) sendiri memiliki karakteristik dengan gangguan kognitif yang menyusahkan terkait peristiwa yang seringkali menimbulkan upaya untuk menghindari pengingat terkait peristiwa tersebut.
Selain dari posttraumatic stress, banyak reaksi yang bisa keluar dari posttraumatic. Beberapa orang mengabarkan tidak mengalami efek yang negatif, namun ada juga yang melaporkan bahwa trauma yang diterima mendorong perkembangan lebih lanjut. Proses perkembangan pasca keberhasilan mengatasi trauma ini disebut juga dengan posttraumatic growth (PTG) (Tedeschi dan Calhoun dalam Henley,dkk., 2016).
Reaksi pasca trauma didorong oleh penilaian kognitif yang spesial terhadap kejadian traumatis dalam kaitannya dengan skema kognitif. Dalam cara mengatasinya, PTS sering dikaitkan dengan gangguan kognitif, salah satunya yaitu ruminasi intrusif (IR). Namun, IR tidak selalu patologis yang malah menandakan upaya awal untuk merekonstruksi keyakinan inti yang terganggu kejadian traumatis.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, bentuk ruminasi kedua yaitu, ruminasi disengaja (Deliberate Rumination atau DR) diusulkan sebagai proses koping pasca trauma yang saling melengkapi. DR merupakan keterlibatan yang disengaja dengan kognisi terkait dengan kejadian traumatis, seringkali dalam upaya untuk memahami atau memperoleh makna dari trauma tersebut (Cann et al., 2011).
Dari kedua bentuk ruminasi ini, terbukti oleh penelitian yang dilakukan oleh Triplett, dkk. (2012) tidak dapat melengkapi satu sama lain. DR memberikan hasil pasca traumatic yang lebih positif dibandingkan dengan IR. Namun, terbukti bahwa tingkat tinggi IR memprediksikan level DR yang lebih besar. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa IR lebih dekat kaitannya dengan PTS sementara DR lebih pada PTG.
Mindfulness disposisional (DM) adalah kecenderungan untuk merasakan kesadaran yang mindful, memperhatikan alir kehidupan sehari-hari dengan memperhatikan aliran pengalaman secara terbuka dan tidak menghakimi. Hal tersebut dapat dikembangkan melalui praktik kontemplatif yang disengaja. DM lebih dikaitkan dengan PTG dibandingkan dengan PTS. Namun, DM merupakan konstruk multidimensional yang sering dijalankan dengan 5 dimensi; observing, describing, berbuat dengan kesadaran, nonreaksi, dan tidak menghakimi. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa banyak dari DM yang berkaitan dengan PTG.
ADVERTISEMENT

Mengatasi Trauma Menggunakan Mindfulness

Penelitian yang dilakukan oleh Hanley, Garland dan Tedeschi yang dilakukan pada tahun 2016, mendapatkan hasil bahwa memasukkan DM dan PR ke dalam model PTG yang sudah ada akan meningkatkan kekuatan penjelasan model tersebut dan bahwa praktik kontemplatif secara substansial mengubah hubungan antara inti dari variabel-variabel inti PTG.
Dalam penelitian ini, telah ditemukan bahwa DM yang besar dikaitkan dengan PTS yang lebih rendah dan PTG yang lebih besar. Mindfulness memiliki kecenderungan menjadi mental yang tidak menghakimi dan jeli sambil bertindak penuh kesadaran, hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat PTS yang lebih rendah. Selain itu juga, kecenderungan mindful yang non reaktif dan deskriptif pada suatu pengalaman bisa menjadi kemungkinan terhadap PTG yang lebih besar. Temuan-temuan yang digabungkan ini menunjukkan hasil bahwa DM yang besar menghasilkan PTG yang lebih besar dan PTS yang berkurang.
ADVERTISEMENT
Salah satu temuan pada penelitian ini adalah individu yang mindful memiliki kemungkinan lebih besar untuk melaporkan outcome posttraumatic yang positif. Namun, seberapa jauh seseorang mungkin mengalami PTG relatif terhadap intensitas gangguan skematis yang merupakan hasil dari trauma.
Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Ariani dan Rahmasari (2021) di UNS yang melibatkan jenis trauma yaitu Secondary Trauma Stress (STS) dengan menggunakan keterampilan mindfulness sebagai salah satu cara menanganinya. Dalam penelitian tersebut, didapatkan temuan bahwa adanya keunikan dalam setiap proses mindfulness yang didasari oleh acuan fokus dan perbedaan persepsi.
Uniknya dari penelitian ini, didapatkan hasil yaitu faktor signifikan yang membantu menumbuhkan keterampilan mindfulness, yaitu menghindari keterlibatan emosional berlebih dengan cara mengendalikan empati dan menetapkan batasan antara pekerjaan dan hal yang bersifat personal.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian Dewi, Suranata, dan Gading (2022) pada jurnal IICET, hasil uji dari konseling cognitive behavioral dengan teknik mindfulness terbukti efektif dalam menurunkan tingkat trauma pada anak korban kekerasan seksual. Mindfulness membantu korban untuk meningkatkan kesadaran psikologis dan fleksibilitas ketika menanggapi pengalaman emosional.
Mindfulness juga meringankan rasa sakit dan kecemasan, mencegah kambuhnya depresi, stres dan Post-Traumatic Disorder. Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kang, Smoski, dan Robins (2011), terapi mindfulness dinyatakan efektif dalam menangani bentuk umum tekanan psikologis, seperti kecemasan, kekhawatiran, ketakutan, trauma, hingga perilaku maladaptive.