'Hidup Penuh' atau 'Hidup yang Penuh'?

Alexander Timothy
Lifelong Learner - S1 Psikologi Universitas Brawijaya - Instagram: @ax.thy
Konten dari Pengguna
25 Mei 2022 15:38 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alexander Timothy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era digital ini, kemajuan teknologi mampu mempermudah adanya percepatan-percepatan dalam segala aspek hidup. Kadangkala, percepatan punya makna baik di dalamnya. Namun di sisi lain, ia juga menjadi sebuah pemaksaan atas keadaan. Situasi ini menjadi sebuah paksaan bagi kita untuk menghadapi banyak tuntutan.
ADVERTISEMENT
Atas dasar ketidakinginan kita untuk tertinggal, kita terlalu banyak membebankan diri kita dengan banyak tugas - menambah dan terus menambah daftar kegiatan kita. Dengan paksa, kita memenuhi kepala kita dengan tanya, tugas, tuntutan, dan hal-hal lain yang sebenarnya tidak cukup lagi untuk diletakkan di kepala kita.
Ilustrasi hidup yang penuh | Sumber: Pixabay

Lalu apa yang terjadi?

Tanpa sadar, hidup kita menjadi "hidup yang penuh". Di samping itu, kita menjadi lupa untuk "hidup penuh", sepenuhnya menghidupi masa kini. Tak ada bedanya dengan sebuah robot, keseharian kita seakan berjalan secara otomatis, tanpa dimaknai sepenuhnya dan seutuhnya; hidup menjadi monoton.
Mengapa kita tidak mencoba untuk pelan-pelan merampingkan isi kepala kita? Mengurangi kegiatan-kegiatan yang kita akan lakukan. Hanya menikmati saja apa yang terjadi tanpa harus tergesa-gesa untuk berpindah pada kegiatan lain. Mengapa kita tidak mencoba untuk hidup penuh?
ADVERTISEMENT
Toh, hidup ini bukan lomba lari, bukan? Setiap kita punya kecepatannya masing-masing. Tidak harus saling injak, saling tubruk, bahkan saling mencelakai.
Kita hanya perlu belajar untuk hidup penuh, tidak lagi memaksa diri kita menjalani hidup yang penuh.
Ilustrasi hidup penuh | Sumber: Pixabay