Gosip dan Mitos, Penentu Eksistensi Manusia yang Kontroversial

Auliadinda Pratiwi Harsono
Mahasiswi - Universitas Pembangunan Jaya - Sistem Informasi
Konten dari Pengguna
20 Desember 2022 12:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Auliadinda Pratiwi Harsono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gosip, nyinyir, julid. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gosip, nyinyir, julid. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kalian pasti pernah mendengar kalimat di atas atau menjadi orang yang percaya dengan hal tersebut. Bergosip sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Gosip sendiri bisa diartikan sebagai aktivitas berbagi informasi pribadi individu lain, biasanya tanpa sepengetahuan orang tersebut. Sebagian besar komunikasi manusia pasti memiliki unsur gosip, baik itu dalam bentuk percakapan telepon, artikel majalah, kolom surat kabar, ataupun media sosial.
ADVERTISEMENT
Gosip sering dikaitkan dengan hal-hal negatif. Rumor dan fitnah contohnya, yang biasanya bermula dari gosip yang tidak lengkap atau tidak sesuai kebenaran. Apalagi, penggunaan media sosial membuat penyebaran informasi menjadi lebih mudah dan cepat. Dampak negatif inilah yang menyebabkan bergosip terkadang bukan hal yang baik untuk dilakukan. Bahkan, penelitian oleh Michelson dan Mouly berjudul Rumour and gossip in organisations: a conceptual study (2000), menuliskan bahwa literatur populer terkait bisnis cenderung memperlakukan gosip sebagai aktivitas yang merugikan bagi organisasi karena dianggap membuang-buang waktu, merusak produktivitas, dan melemahkan moral karyawan.
Padahal, bergosip nyatanya berperan penting untuk meningkatkan kemampuan berbahasa manusia. Kegiatan ini adalah salah satu hal yang membuat manusia ada dan berjaya sampai sekarang.
ADVERTISEMENT

Bergosip Membawa Kemenangan

Berdasarkan buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2017) karya Yuval Noah Harari, manusia sejatinya bermakna binatang yang masuk dalam genus Homo. Terdapat beberapa spesies Homo, namun yang tersisa hanyalah kita alias Homo Sapiens. Revolusi kognitif yang terjadi pada 70.000 tahun lalu membuat adanya mutasi genetik pada otak Homo Sapiens sehingga terjadi perubahan pada cara berpikirnya. Homo Sapiens jadi memiliki kemampuan yang tidak dimiliki manusia lain, semacam belajar, berimajinasi, atau berkomunikasi.
Bergosip adalah salah satu kemampuan unik dari revolusi kognitif. Ternyata, sudah menjadi naluri alamiah manusia untuk tertarik terhadap informasi sosial satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan bergosip muncul karena manusia adalah makhluk sosial dan kita saling mengandalkan untuk bertahan hidup. Bergosip membantu kita mengetahui orang yang dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan berkuasa dalam kelompok tertentu. Pada zaman purba, gosip membuat leluhur kita mengetahui kondisi kawanan mereka yang berpotensi mengancam keselamatan dan kesejahteraannya. Ketika ada pemangsa di dekatnya, gosip membantu mereka menghindar supaya tidak menjadi korban pemangsa.
Teori bergosip ternyata terbukti juga pada masa kini karena orang cenderung bisa lebih akrab apabila mereka membicarakan orang lain. Berkumpul bersama teman pun rasanya belum lengkap tanpa bergosip. Penelitian tentang percakapan manusia pada tahun 1997 oleh Robin Dunbar, dosen psikologi evolusioner di University of Oxford, menemukan bahwa gosip menyumbang sekitar 65% bahan pembicaraan orang-orang di tempat umum. Beliau juga berteori bahwa gosip berperan untuk memperkuat ikatan sosial karena manusia membutuhkan cara sederhana yang efektif untuk menyampaikan perilaku sosial di lingkungan sekitar supaya terlindung dari perilaku buruk orang lain.
ADVERTISEMENT
Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa bergosip tidak selalu menjadi hal yang buruk. Memang banyak sekali kejadian kontroversial yang bermula dari penyebaran gosip. Pergosipan bisa digunakan sebagai bentuk kuasa atau manipulasi oleh pelaku sehingga bisa menimbulkan efek negatif pada korban. Ada juga ajaran agama yang melarang perbuatan tersebut. Namun, bergosip sudah menjadi insting alami manusia yang berperan penting dalam menciptakan ikatan sosial. Jadi, kegiatan ini sebenarnya wajar saja untuk dilakukan dalam keseharian kita. Gosip dapat bernilai baik atau buruk tergantung dengan cara kita menggunakan informasi tersebut. Penggosip yang baik tentu akan menanggung informasi yang ada supaya tidak merugikan orang lain.
Agama, Realitas Yang Diimajinasikan
Bicara tentang gosip yang dilarang agama, memang agama berperan besar dalam kehidupan sebagian besar manusia, khususnya di Indonesia. Agama memberikan harapan serta menawarkan rasa aman kepada para penganutnya yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Setiap agama memiliki pedoman sebagai acuan, aturan, dan prosedur kehidupan untuk dijalani oleh para pengikutnya.
ADVERTISEMENT
Sama seperti bergosip, memercayai mitos layaknya agama nyatanya juga bisa membuat leluhur kita bersatu untuk mengalahkan manusia-manusia lain. Masih berdasarkan buku Sapiens: A Brief History of Humankind, Harari menuliskan bahwa gosip hanya bisa merangkul maksimal 150 individu. Maka dari itu, untuk melebihi batas tersebut, Homo Sapiens menggunakan kemampuannya dalam meyakini hal-hal yang tidak nyata. Revolusi Kognitif ternyata membuat sejumlah orang asing bisa bersatu dengan memercayai mitos bersama. Mitos yang dimaksud tidak hanya agama, melainkan sistem ketatanegaraan, peraturan undang-undang, hak asasi manusia, dan hal-hal yang tak berwujud lainnya. Semua ini hanyalah imajinasi yang diciptakan dan diyakini manusia supaya mau saling berkompromi untuk mencapai tujuan bersama. Bayangkan betapa sulitnya mengatur miliaran manusia apabila kita hanya mampu bicara tentang hal-hal nyata, semacam langit, semut, dan pohon.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak beragama layaknya ateis?
Saat ini sudah ada orang-orang yang tidak memercayai agama layaknya ateis. Penelitian Arqom Kuswanjono berjudul Ketuhanan Dalam Telaah Filsafat Perenial : Refleksi Pluralisme Agama di Indonesia (2006) menunjukkan beberapa alasan orang menganut paham ateisme, salah satunya dengan masih terjadinya kejahatan di dunia. Mereka percaya bahwa seharusnya Tuhan menghapus penderitaan dan kekerasan di dunia karena Tuhan Mahakuasa dan Mahakasih serta mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Namun karena kenyataannya masih ada kekerasan, maka mereka beranggapan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Alasan ini menunjukkan bahwa ateis menolak percaya dengan keberadaan Tuhan bukan karena Tuhan tidak berwujud, melainkan karena mereka merasa sifat Tuhan serta nilai-nilai yang diajarkan tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat dan yakini, yaitu masih adanya kejahatan di dunia. Ekspektasi mereka terhadap sifat Tuhan bersifat fiksi alias tidak nyata yang disebabkan karena realitas yang ada tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
ADVERTISEMENT
Hidup Dalam Keberagaman
Memang, perbedaan kepercayaan seperti ini sering menimbulkan kontroversi karena manusia percaya bahwa keyakinan yang dianutnya adalah kebenaran yang tunggal. Melihat bahwa terdapat kepercayaan lain dengan prinsip yang berbeda membuat munculnya perbedaan pendapat yang dapat mengarahkan manusia terhadap pertikaian apabila tidak ditanggapi dengan bijak.
Padahal, menurut Ibnu Rusyd, penulis artikel Membaca Fenomena Agama Lewat Teori Yuval Noah Harari (2021) di situs ibTimes, teori agama sebagai fiksi bisa dikembangkan menjadi kisah-kisah yang beragam karena kreativitas kognitif manusia. Dengan kemampuan kognitif yang unggul, manusia bisa membuat dan mengembangkan berbagai versi kepercayaan, karena kepercayaan tersebut hanyalah fiksi belaka yang diciptakan dan diyakini oleh manusia itu sendiri. Seharusnya dengan adanya kemampuan ini, manusia juga bisa bersikap bijak dalam menanggapi keberagaman di dunia.
ADVERTISEMENT
Jadi, setiap pilihan terkait kepercayaan agama adalah pilihan yang wajar. Tidak ada pilihan yang salah atau benar, karena setiap kepercayaan memiliki nilai kebenaran tertentu bagi penganutnya. Kembali lagi terhadap bagaimana kita menggunakan kemampuan kognitif kita dengan bijak dalam menanggapi pluralitas kepercayaan manusia di dunia.
Dibalik kehadirannya yang kadang menimbulkan kontroversi, gosip dan keyakinan kita terhadap mitos ternyata melatarbelakangi kejayaan kita sampai sekarang. Kedua hal tersebut juga melatarbelakangi hadirnya berbagai keyakinan religi serta keunikan dalam berkomunikasi karena perkembangan cara berpikir kita yang kritis, unggul, dan unik. Namun, keberagaman ini menyebabkan rawan sekali terjadi percekcokan karena adanya perbedaan. Padahal, keberagaman tersebut adalah bukti bahwa manusia memiliki kemampuan hebat yang tidak dimiliki makhluk lain. Maka, gunakanlah kemampuan kita yang luar biasa ini secara bijak, sesuai dengan sebutan kita sebagai Homo Sapiens alias Manusia Bijak.
ADVERTISEMENT