RUU Cipta Kerja dan Ekonomi Produktif

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
5 September 2020 10:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demo buruh di Balai Kota. Foto: Diah Harni/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Demo buruh di Balai Kota. Foto: Diah Harni/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
RUU Cipta Kerja yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kelesuan ekonomi global. Banyak masyarakat yang mendukung namun juga mendapatkan penolakan dari bebrapa organisasi serikat buruh. Perbedaan argumentasi dan penalaran dalam konteks pengambilan kebijakan bukanlah sesuatu yang baru bahkan hal tersebut sangat wajar terjadi dan disinilah pentingnya kita melihat kebijakan tersebut secara objektif.
ADVERTISEMENT
Pasar, Negara dan Masyarakat
Hubungan pasar dan negara sudah barang tentu tidak bisa dipisahkan. Secara teoritis Negara membutuhkan pasar dan pasar juga membutuhkan dukungan dari negara. Sebagai negara yang bertumpu pada kerangka dasar filosofis Pancasila, sudah semestinya negara memiliki peran yang sangat sentral untuk menyejahterakan kehidupan khalayak umum. Dilain sisi, kita juga harus bisa memahami bahwa negara tidak berdiri sendiri dan harus ditopang oleh institusi-institusi lain termasuk kelembagaan pasar. RUU Cipta Kerja dihadirkan untuk mengatasi ketidaksempurnaan dalam institusi negara dan pasar. Seperti misalnya peraturan yang tumpang-tindih antar lembaga baik itu pemerintah pusat dan daerah.
Terdapat 10,180 regulasi yang terdiri 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan Presiden dan 8.684 peraturan Menteri. Banyaknya jumlah regulasi tersebut mengindikasikan situasi yang sudah hyper-regulated. Kondisi semacam ini mengakibatkan kondisi investasi di Indonesia menjadi kurang kondusif. Sedangkan kalau kita berkaca dari kondisi ekonomi makro Indonesia, pertumbuhan ekonomi kita bertengger diangka 2,97 % di kuartal pertama tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut masih ditopang 57% dari konsumsi rumah tangga atau setara dengan 9000 triliun. Ini berarti perekonomian masih sangat bergantung pada belanja rumah tangga yang sudah barang tentu mengindikasikan pola konsumtif dan masih jauh dari ekonomi yang produktif dan berdaya saing.
Penyederhanaan peraturan yang menyebabkan kondisi investasi yang tidak ramah harus segera dilakukan. Dalam kajian teori ekonomi neoklasik, pertumbuhan ekonomi suatu negara mengindikasikan kesuksesan dan kegagalan perekonomian negara tersebut. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara maka indikasi pencapaian kesejahteraan masyarakat semakin tingi, begitu pun sebaliknya.
Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dari segi konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, serta ekspor dan impor. Kelima indikator ini harus saling menopang dan tidak didominasi oleh satu faktor saja. Ini bertolak belakang dengan kondisi perekonomian Indonesia yang selama ini didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Sementara itu dari segi ekspor, mengalami pelambatan yang juga disebabkan oleh kelesuan harga komoditas ekspor.
ADVERTISEMENT
Ekspor dan investasi adalah dua indikator yang saling mendukung. Peningkatan investasi terutama pada sektor padat karya sudah barang tentu akan menciptakan lapangan kerja dan mendorong produksi dan ekspor. Berdasarkan data, laju investasi Indonesia hanya berada pada kisaran 1.7% yang sudah sangat jauh dari negara-negara di ASEAN termasuk Vietnam dan Thailand. Kita setidaknya membutuhkan 6% laju pertumbuhan investasi kalau ingin bergerak dari angka pertumbuhan 5%. Dengan demikian, peningkatan laju investasi menjadi komponen yang sangat krusial terhadap perbaikan ekonomi Indonesia ke depannya.
Akar Masalah
Permasalahan ekonomi Indonesia memang sangat kompleks dan rumit, tapi tentu saja selalu ada solusi yang bisa ditawarkan. Kita mungkin masih mengingat 33 perusahaan dari China yang memilih untuk merelokasi pabrik mereka ke Vietnam dan Thailand karena indeks daya saing mereka jauh lebih tinggi dari pasar dalam negeri. Termasuk besarnya gaji menimun di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara yang bertumpu pada industri padat karya. Sebagai perbandingan gaji minimum di China 4.6 juta per bulan, di Vietnam 1.18 juta dan di Bangladesh hanya 0.25 juta per bulan (Lihat Gambar 1). Faktor biaya buruh yang sangat kompetitif tersebut yang menyebabkan kaburnya investasi asing ke Vietnam dan Banglades. Ini juga yang menyebabkan anjloknya industri padat karya termasuk industri garmen di Indonesia.
Gambar 1: Gaji Buruh di Empat Negara (Malik, 2019)
Solusi Alternatif
ADVERTISEMENT
Melihat dari akar permasalahan utama dari regulasi yang tumpang-tindih dan metode pengupahan yang tidak efisien, kita perlu mengoreksi langkah-langkah kebijakan ekonomi kita untuk jangka panjang. RUU Cipta Kerja bisa mengakomodasi kepelitan dari permasalahan tersebut. Disisi lain, patut dicermati kondisi pasar tenaga kerja dalam negeri yang masih didominasi oleh tenaga kerja kurang terampil dengan tingkat pendidikan SD-SMP, membutuhkan transfer skill dan ilmu dari tenaga kerja asing yang memiliki tingkat pendidikan, keterampilan dan manajerial yang lebih baik. Berdasarkan dari pemaparan tersebut, harus ada kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi industri dan sistem penggajian buruh di Indonesia termasuk dengan merevisi pengajian berdasarkan produktivitas (jam) dan sistem pesangon yang bertumpu pada asas keadilan, keterbukaan dan manfaat. Dengan demikian kebijakan tersebut bisa mendukung semua stakeholders.
ADVERTISEMENT