RUANG HAMPA DUGAAN PIDANA KORUPSI BAGI STAFSUS PRESIDEN

Konten dari Pengguna
17 April 2020 9:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Rohimat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis : Dr Atang Irawan, Dosen Fakultas Hukum Unpas
Foto : Dr. Atang Irawan (dok. pribadi)
Segudang orkestrasi dalam penanganan Covid-19 telah melahirkan berbagai polemik, dimulai dari obesitas kebijakan hingga beragam tindakan nyata (feitelijke handeling) pemerintahan yang terkesan berjalan sendiri-sendiri, ironisnya dalam suasana yang serba ‘unik’ ini staf khusus presiden turut berkreasi, dua stafsus diduga oleh ‘Netizen’ telah melakukan tindakan sewenang-wenang (“abus de droit”), karena memanfaatkan kedudukan sebagai stafsus untuk kepentingan pribadi (perusahaannya), hingga dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH) karena dugaan penyalahgunaan wewenang.
ADVERTISEMENT
Meletupnya kiriman surat stafsus bidang ekonomi kepada camat seluruh Indonesia, menggunakan kop surat sekretariat kabinet dengan ‘menitip’/ perusahaanya PT Amarta, bahkan peristiwa ini seolah membuka tabir stafsus lain, seperti ‘Ruang Guru’ menjadi salah satu mitra pemerintah dalam Program Prakerja, padahal banyak perusahaan ‘startup’ sejenis yang dapat dijadikan partner pemerintah, sontak menimbulan pertanyaan besar dari berbagai ‘Netiizen’.
Stafsus hanya melaksanakan tugas tertentu, yang diberikan presiden di luar tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi kementerian dan instansi pemerintah lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Perpres tentang Stafsus (red), maka tindakan yang di luar wewenangnya dapat saja dikategorikan melampaui wewenang, kecuali ada kewenangan (autority gezag) yang melekat pada stafsus untuk melakukan tindakan tersebut dalam bentuk penugasan dari presiden.
ADVERTISEMENT
Dalam suasana penyelenggara negara dituntut untuk bergerak (de staat in beweging) cepat untuk menangani dan menanggulangi wabah Covid-19, namun justru kreasi stafsus masuk dalam ruang tanpa batas wewenang. Negara hukum mengisyaratkan laju gerak negara/pemerintahan harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, dalam bingkai keadilan hukum, kemanfaatan hukum dan kepastian hukum, untuk membebaskan dari tindakan penyalahgunaan wewenang, bahkan dalam keadaan luar biasa sekalipun ada ruang darurat "state of emergency", Presiden dapat menetapkan perppu, termasuk dapat menetapkan keputusan yang bersifat diskresi (fries ermessen).
Permohonan maaf dan pemberian maaf merupakan langkah yang cukup baik dalam dimensi moralitas kebangsaan, namun secara yuridis alasan pemaaf dan alasan penghapus diatur dalam KUHP, yaitu hanya tindak pidana tertentu saja. Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan alasan penghapus pidana umum, yang diatur dalam Pasal 44, 48 – 51 KUHP dan alasan penghapus pidana khusus yang berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu, dalam Pasal 221 ayat (2), 261, 310, dan 367 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Akan menjadi preseden buruk jika dugaan penyalahgunaan wewenang oleh organ negara hanya diselesaikan dengan permintaan maaf. Hal tersebut dapat menciderai rasa keadilan dalam masyarakat, karena hukum berlaku untuk semua orang tanpa diskriminasi, sehingga terhindar dari penyelundupan hukum dalam rangka melepaskan kewajiban hukum kepada setiap pelanggar.
Pelaporan yang dilakukan oleh seseorang di Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan kasus penyalahgunaan wewenang terhadap salah satu stafsus, akan menjadi ruang publik yang sangat dinanti, apakah proses pelaporan ini dapat berjalan dengan baik, atau berakhir tanpa kejelasan dan penjelasan secara yuridik, meskipun sulit secara wajar proses penyelidikannya, karena terhambat oleh Putusan MK dan Perppu No 1 Tahun 2020 jika dibaca dalam satu napas.
Putusan MK No 25/PUU-XIV/2016, telah menghapus kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, sehingga delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materil, yang mensyaratkan ada akibat, yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti (actual los). Jika dibaca dalam satu nafas dengan Pasal 27 ayat (1) Perppu No 1 Tahun 2020 yang menyatakan “…pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal diatas, satu sisi putusan MK menyatakan harus ada kerugian keuangan negara secara nyata/pasti (actual los), sementara sisi lain dalam Pasal 27 ayat (1) Perppu menyatakan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis bukan merupakan kerugian negara, dengan demikian, maka peristiwa yang dilakukan oleh stafsus bukan merupakan kerugian keuangan negara, karena dilakukan dengan anggaran dalam rangka penyelamatan perekonomian dari krisis, sehingga menjadi pintu penghalang untuk dilakukan pemeriksaan dugaan penyalahgunaan wewenang yang berakibat merugikan keuangan negara. Inilah yang dikatakan “ruang hampa dugaan tindakan penyalahgunaan wewenang” satu sisi dapat berpotensi karena menggunakan UU Tipkor, tapi disisi lain ada ruang hampa yang mengaburkan makna penyalahgunaan wewenang yang berakibat kerugian keuangan negara oleh putusan MK dan Perppu No 1 Tahun 2020”.
ADVERTISEMENT
Dengan tersekatnya “penyalahgunaan wewenang yang berakibat merugikan keuangan negara” yang berpotensi ke arah delik tipikor, oleh Putusan MK dan Perppu No 1 Tahu 2020 di atas, maka upaya untuk mengoreksi tindakan stafsus hanya dapat dilakukan melalui UU 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemeritahan, dengan dugaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, yaitu: (a) tindakan melampaui wewenang dalam bentuk melampui batas wilayah berlakunya wewenang, (b) mencampuradukan wewenang karena di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan (c) bertindak sewenang-wenang tanda dasar kewenangan.
Namun hal tersebut tergantung political will pemerintah, karena yang berwenang/memiliki otoritas untuk melakukan pemeriksaan administratif adalah aparat pengawas internal pemerintah, apakah stafsus melaksanakan kesalahan administratif atau tidak, jika terjadi kesalahan, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif asas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, profesionalitas, dan akuntabilitas, apabila pemeriksaan administratif dilakukan oleh apparat pengawas internal membuktikan ada pelanggaran administratif, maka langkah mundur dari jabatan merupakan langkah yang sangat bertanggungjawab, meskipun hal tersebut tergantung terhadap cara penilaian tentang etis atau tidak etis dari stafsus sendiri. Tetapi jika tidak terbukti terjadi kesalahan admiistratif, maka tanpa melekat beban moral terhadap kedudukannya sebagai stafsus.