Menyadari Kerawanan Gizi Pangan

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
16 Desember 2022 11:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bersama Mahasiswa dalam agenda 'Mahasiswa Berbakti' Foto: Dok. UAI
zoom-in-whitePerbesar
Bersama Mahasiswa dalam agenda 'Mahasiswa Berbakti' Foto: Dok. UAI
ADVERTISEMENT
Riset Harian Kompas kembali mengingatkan terkait minimnya akses masyarakat untuk memiliki asupan makanan yang bergizi. Temuan yang dirilis beberapa hari lalu (9/12) itu menunjukkan jumlah yang sangat miris, yakni sebanyak 68 persen atau setara dengan 183,7 juta orang Indonesia yang tidak memperoleh makanan bergizi.
ADVERTISEMENT
Angka pada temuan ini hampir sama dengan rilis FAO tahun 2021. Menurut laporan lembaga PBB yang mengurusi bidang pangan dan pertanian dunia ini, saat itu jumlah masyarakat kita yang tidak sanggup membeli makanan bergizi sebesar 69,1 persen. Sungguh sangat banyak. Berarti kita tidak sedang baik-baik saja.
Dua temuan di atas semakin diperkuat dengan tiga fakta besar yang sedang terjadi di Indonesia. Fakta pertama, tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia. Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menyatakan angka stunting secara nasional masih berada pada angka 24,4 persen.
Jika merujuk pada ASEAN Food and Nutrition Security Report yang terbaru, kondisi stunting di Indonesia ini masih berada pada zona merah. Demikian juga jika dibandingkan dengan target yang tertuang pada RPJMN 2020 - 2024. Prevalensi stunting saat ini masih jauh dari target yang diharapkan terjadi pada tahun 2024, yakni 14 persen.
ADVERTISEMENT
Sudah waktunya para pejabat mikir berat agar rencana mengurangi jumlah stunting di negeri ini turun drastis. Semua unsur harus bergerak mengurangi status gizi buruk. Sudah waktunya gerakan sejenis Posyandu itu digalang lagi sampai ke pelosok desa terjauh sekalipun.
Fakta kedua, kehadiran jumlah penduduk miskin di Indonesia. Secara statistik, per Maret tahun ini, BPS menyatakan masih ada sebesar 9,54 persen penduduk yang berkategori miskin. Tentu angka ini tidak statis di tengah turbulensi ekonomi masyarakat yang diantaranya dengan hadirnya Pandemi Covid-19 yang juga disertai kenaikan sembako serta Bahan Bakar Minyak (BBM). Walau kemudian, Bank Indonesia melalui surveinya yang melahirkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menyatakan keyakinan masyarakat selaku konsumen berada pada level optimis.
ADVERTISEMENT
Fakta ketiga, jumlah pengangguran yang masih bertebaran. Bahkan untuk mereka yang memiliki strata pendidikan tinggi. Malah semakin kesini kita sepertinya semakin sering disuguhkan dengan fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Angka-angka pengangguran yang ada tersebut tentu sangat berimplikasi langsung dengan hadirnya dua fakta sebelumnya.
Melalui realitas yang demikian apakah mungkin selama ini perjalanan bangsa telah memberikan ruang prioritas untuk mensejahterakan rakyatnya? Sementara itu, disatu sisi kita terus berharap bangsa ini terus melahirkan SDM yang handal. Persis seperti salah satu prioritas kerja dari kepemimpinan Jokowi - Ma’ruf yakni terkait dengan pembangunan SDM itu sendiri.
Lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin tidak hanya terlihat melalui Gini Ratio. Namun kita bisa menjumpainya setiap hari dalam kehidupan, baik yang hadir di depan mata maupun yang terpublikasi di berbagai media.
ADVERTISEMENT
Di tengah masih berkeliarannya masyarakat miskin untuk mencari penghasilan yang mereka definisikan asal cukup untuk bertahan hidup, pusat-pusat jajanan serta rumah makan mewah juga tidak kalah panjang antrian pembelinya. Sangat timpang.
Ketimpangan kondisi tempat tinggal juga tidak kalah menganga. Masih banyak terdapat tempat tinggal yang tidak layak huni. Bahkan gubuk-gubuk itu tumbuh di perkotaan dan berdampingan dengan rumah-rumah megah nan mewah. Apalagi kalau kita membahas terkait ketimpangan hidup antara desa dan kota, antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Oleh karena itu, intervensi untuk menghadirkan kesadaran tentang arti pentingnya gizi pangan tidak semata ditujukan hanya kepada masyarakat yang terdampak. Tidak cukup hanya sebatas sosialisasi atau penyuluhan yang dilakukan secara berkala. Perlu kesadaran dari semua pihak. Perlu kerja yang terintegrasi dari semua lini. Program harus konkrit jangan sekedar bagus di atas kertas dengan tampilan warna-warni, tapi miskin implementasi.
ADVERTISEMENT
Program-program apotik hidup, pemanfaatan pekarangan untuk sayuran, kebun jagung mini, yang dulu memperkuat ketahanan pangan warga, kini sulit ditemukan. Di lain situasi, banyak lahan nganggur dibiarkan terus mubazir. Pada saat yang sama solusi kekurangan bahan baku pangan dan pakan ditempuh dengan jalan impor.
Pola ini tidak membuat masyarakat lebih kreatif, bahkan jadi pasif seperti hanya menunggu kucuran BLT. Apakah pola ini yang akan terus dipertahankan?
Perluasan lapangan kerja, penguatan sistem jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan, pengelolaan sumber daya alam, serta keteladan para pemimpin untuk mengedepankan prinsip keadilan sosial sekaligus integritas diri juga menjadi satu kesatuan yang harus terus ditumbuhkan.
Di negara tetangga, PM Anwar Ibrahim telah mencontohkan untuk tidak menerima gaji. Sepertinya model ini bisa dilakukan di Indonesia. Presiden, Wapres, para Menteri, para pimpinan dan anggota parlemen, Bupati dan Walikota dapat mencontoh PM Anwar Ibrahim. Tidak perlu menerima gaji, apalagi berorientasi memperkaya diri.
ADVERTISEMENT
Sungguh sangat memilukan jika masih ada sosok manusia yang mempunyai kuasa untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya, namun kuasa itu justru dipergunakan hanya untuk memperkaya diri dan koleganya. Koruptor datang silih berganti. Masyarakatnya terlupakan dan kembali termiskinkan.
Kontestasi 2024 sudah di depan mata. Para calon kontestan dengan para pendukungnya pastilah sudah mulai sibuk mengatur peta untuk meraih kemenangan. Agaknya kerja-kerja di pemerintahan pun mulai bergeser ke arah ini.
Dengan situasi yang demikian, optimisme masyarakat untuk diperhatikan akan semakin redup. Kalaupun ada berkemungkinan besar hanya sebatas selebrasi akibat dorongan untuk mencapai daya serap anggaran serta mengejar target-target kuantitatif yang terlanjur dibuat.
Kemiskinan janganlah terus menerus menjadi bahan dalam sajian janji-janji manis pada pesta suksesi kepemimpinan. Pesta demokrasi yang muncul 5 tahun sekali itu.
ADVERTISEMENT
Semoga dengan terpublikasinya fakta-fakta miris seperti di atas, menjadikan kita tergerak untuk membangun kesadaran kolektif. Sadar bahwa masyarakat miskin jangan lagi dijadikan objek untuk berbagai kepentingan sesaat, seperti bahan kampanye misalnya.
Ketika kemiskinan bisa ditumpaskan, minimal dengan hadirnya indikasi berupa terpenuhinya asupan makanan yang bergizi untuk masyarakat, maka nuansa terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu baru benar-benar bisa dirasakan.
Mari segera sadar!