Problematika Remisi Koruptor Pasca Putusan Mahkamah Agung

Arrival Nur Ilahi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. interest terhadap sejarah, hukum tata negara, dan pidana
Konten dari Pengguna
2 November 2021 16:30 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arrival Nur Ilahi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://kumparan.com/kumparannews/polling-kpk-akan-gandeng-eks-koruptor-jadi-penyuluh-antikorupsi-anda-setuju-1wOp9k0tdW7/gallery/1
zoom-in-whitePerbesar
https://kumparan.com/kumparannews/polling-kpk-akan-gandeng-eks-koruptor-jadi-penyuluh-antikorupsi-anda-setuju-1wOp9k0tdW7/gallery/1
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Publik kembali dikhawatirkan akan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pasalnya, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan uji materiil tentang Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-Hak Napi (PP 99/2012). Para pemohon mengajukan judicial review Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan (b), Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP No 99/2012, yang pada intinya para pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan. Jika membaca ulang, pasal-pasal yang diajukan salah satunya mensyaratkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin mendapatkan remisi atau potongan hukuman untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum (justice collaborator) dalam mengungkap pihak-pihak yang terlibat tindak pidananya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dalam Pasal 34 ayat (1), pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisir lainnya, harus memenuhi persyaratan, yaitu bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Ketentuan ini selain dimaksudkan untuk memudahkan bagi penegak hukum dalam membongkar kasus tindak pidana korupsi, tidak lain juga untuk memperketat pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Namun, sayangnya Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya mengabulkan permohonan para pemohon. Dengan kata lain, remisi atau potongan hukuman bagi koruptor tidak lagi mensyaratkan bagi pelaku untuk menjadi justice collaborator. Dalam putusannya, MA berpandangan bahwa pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku, tetapi juga menjadi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice. Kemudian untuk mendapatkan remisi merupakan haknya setiap binaan secara sama, tanpa terkecuali. Hal ini yang kemudian disesalkan oleh berbagai pihak. Misalnya, Kurnia Ramadhana, Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), dengan adanya putusan ini maka akan mengarahkan pada kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Belum lagi tuntutan atau vonis terhadap koruptor terbilang masih rendah. Bahkan pada 2020, rata-rata vonis 3 tahun 1 bulan (Kompas, 2021:1).
ADVERTISEMENT
Padahal, dengan pemberlakuan Pasal 34 ayat (1) PP 99/2012 yang memperketat persyaratan remisi, para koruptor tetap saja masih dengan mudah untuk mendapatkan remisi. Misalnya, pada perayaan kemerdekaan HUT RI ke-76 sebanyak 212 koruptor mendapatkan remisi. Bahkan terpidana Eni Maulani Saragih yang secara jelas tidak mendapatkan status sebagai justice collaborator memperoleh remisi. Dapat dibayangkan putusan MA ini ke depannya akan memberikan dampak yang terbilang cukup serius dalam penegakan korupsi. Belum lagi saat ini, masyarakat tengah dikhawatirkan akan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, hal ini tidak terlepas dari pemberlakuan UU 19/2019 KPK yang telah menghilangkan taring KPK.
Extra Ordinary Crime
Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dikarenakan tindakannya merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial yang berdampak pada kemiskinan dan kesenjangan sosial di kehidupan masyarakat. Kemudian, United National Convention Against Corruption (UNCAC) mengkategorikan korupsi sebagai kejahatan treaty. Setidaknya terdapat enam dampak korupsi menurut UNCAC yakni, merusak demokrasi, merusak aturan hukum, mengganggu pembangunan berkelanjutan, merusak pasar, dan melanggar hak asasi manusia. Dikatakan melanggar hak asasi manusia karena dengan kegagalan negara dalam memberantas korupsi hak-hak kehidupan bagi masyarakat yang merupakan tanggungjawab negara terabaikan. Hal ini yang kemudian penting bagi negara dalam melihat tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Dengan melihat realitas yang ada mulai dari perubahan UU KPK dan Putusan MA tersebut, dapat dikatakan Indonesia tidak cukup serius dalam menangani permasalahan korupsi. Bahkan Lembaga Transparency Internasional (TII) melaporkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 mengalami penurunan menjadi 37 dari skor 40 pada 2019, artinya, penegakan korupsi kian melemah. Hal ini tentunya dapat menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki penegakan maupun pencegahan tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Penulis : Arrival Nur Ilahi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia