Catatan Pilkada dan Pemilu Serentak

Arrival Nur Ilahi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. interest terhadap sejarah, hukum tata negara, dan pidana
Konten dari Pengguna
25 Februari 2021 19:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arrival Nur Ilahi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Hal tersebut dikarenakan RUU Pemilu berkaitan dengan tata cara mendapatkan sebuah jabatan politik, mulai dari jabatan presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD, DPD, kepala daerah tingkat I, dan kepala daerah tingkat II. Sayangnya, pembahasan RUU Pemilu harus berhenti dibahas karena kesepakatan mayoritas Fraksi Komisi II DPR.
ADVERTISEMENT
Berhentinya pembahasan membuat skema penyelenggaraan Pilkada tetap mengacu pada Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah ( UU Pilkada), yang mana Pilkada Serentak akan diadakan pada 2024. Menurut pengamatan, penyelenggaraan Pilkada serentak pada tahun 2024 akan berat karena pada saat bersamaan diadakan pula Pemilu serentak. Atas hal itu pelaksanaan Pemilu dan Pilkada meninggalkan beberapa catatan yang harus diperhatikan.
Pertama, kesiapan seluruh pihak penyelenggara. Mengacu pada pemilu serentak 2019, terdapat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Dilakukannya pemilu serentak merupakan perwujudan dari tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pada 2019 dilakukan Pemilu serentak. Pada saat pemilu serentak 2019 beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menjadi peringatan karena sebanyak 897 petugas KPPS dilaporkan meninggal dan 5.176 petugas mengalami sakit.
ADVERTISEMENT
Banyak faktor yang menyebabkan meninggal dan sakitnya para petugas KPPS, salah satunya ialah beban kerja. Walaupun bukan menjadi faktor tunggal, tetap saja beban kerja menjadi variabel penting yang harus diperhatikan. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), di balik meninggalnya KPPS terdapat faktor kelalaian yaitu tidak terdapat standar regulasi persyaratan KPPS tentang syarat mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan rumah sakit atau Puskesmas. Atas dasar ini, di tahun 2024, Pilkada dan Pemilu yang akan dilaksanakan secara serentak patut diduga akan membuat beban kerja dari KPPS bertambah.
Kedua, keberlangsungan pemerintahan daerah. Berdasarkan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada, jika terjadi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang berakhir pada 2022 serta 2023, maka akan digantikan oleh seseorang yang ditunjuk untuk mengisi jabatan gubernur atau disebut penjabat Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
ADVERTISEMENT
Pasal tersebut mengindikasikan bahwa untuk mengisi kekosongan kepala daerah hingga pilkada tahun 2024, difungsikan penjabat kepala daerah. Secara prinsipil, penjabat kepala daerah, walaupun bersifat sementara, tetap merupakan pengganti kepala daerah sehingga mempunyai kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif.
Namun, berdasarkan Pasal 132A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008, terdapat beberapa larangan untuk penjabat kepala daerah yakni melakukan mutasi pegawai; membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Selain itu, seandainya pilkada serentak dilakukan pada 2024, maka setidaknya diperlukan 24 penjabat gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan yang berkhir pada 2022 dan 223. Sementara itu, ketersediaan pejabat Eselon I di Kementerian Dalam Negeri, hanya 16 orang.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, penulis meyakini bahwa menggunakan Penjabat kepala daerah hingga diadakanya Pilkada serentak 2024 potensial mempengaruhi keberlangsungan pemerintah daerah karena kewenangan dari penjabat kepala daerah yang terbatas dan secara prinsipil, penjabat kepala daerah kurang mempunyai legitimasi sebab tidak dipilih oleh masyarakat, melainkan ditetapkan oleh presiden atas usul Menteri Dalam Negeri.
Ketiga, kesulitan dalam memilih isu eksekutif dan legislatif. Mengacu pada pemilu serentak 2019. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa partisipasi di pemilu 2019 ialah 81 %. Namun, terjadi kesenjangan suara tidak sah yang cukup tinggi antara presiden dengan tiga pemilu lainya DPR, DPD, dan DPRD. Secara nasional, persentase suara tidak sah pemilu presiden ialah 2,38% atau setara dengan 3,7 juta, sedangkan Pemilu DPR mencapai angka 17,5 juta dan pemilu DPD sampai 29,7 juta.
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut ialah kempanye pemilu presiden dan wakil presiden lebih dominan dibandingkan kampanye pemilu legislatif. Maka, hal tersebut mempunyai konsekuensi, yaitu publik akan lebih memahami isu eksekutif daripada legislatif.
Melihat catatan tersebut, maka penulis setuju dengan desain yang ditawarkan dalam RUU Pemilu yang dihentikan pembahasanya. Sebelumnya, RUU Pemilu membagi Pemilu nasional yang terdiri dari anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan pemilu lokal yang terdiri dari DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota (saat ini dikenal dengan Pilkada, pemilihan DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota). Adapun Tawaran dari RUU Pemilu ialah:
Pertama, pemilu lokal tetap dilakukan pada 2022 dan 2023. Nantinya, pemilu lokal serentak dimulai pada 2027. Hal ini menjadi penting agar pelaksaan pemilu lokal dan pemilu nasional serentak pada 2024 tidak terlaksana. Kedua, kepala daerah yang masa jabatanya selesai sebelum diadakanya pemilu lokal serentak 2027 tetap menjabat hingga pemilu lokal 2027 telah dilaksanakan. Sedangkan untuk kepala daerah yang masa jabatanya belum selesai, maka akan diberikan kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pension untuk satu periode.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pelaksanaan pemilu nasional serentak tetap dilaksanakan 2024 yang akan dilaksanakan kembali pada 2029. Hal ini sesuai dengan amanat Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan pilihan model keserentakan pemilu, karena pemilihan umum serentak nasional tetap dilaksanakan pada 2024 dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal dilakukan yakni pada 2029. Melihat catatan untuk penyelenggaraan Pilkada, dan Pemilu serentak pada 2024, apakah penundaan pembahasan RUU Pemilu tepat?
Arrival Nur Ilahi
Mahasiswa dan Staff Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII