Amandemen UUD 1945 di Tengah Pandemi

Arrival Nur Ilahi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. interest terhadap sejarah, hukum tata negara, dan pidana
Konten dari Pengguna
26 Agustus 2021 10:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arrival Nur Ilahi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/illustrations/palu-martil-ikon-ikon-palu-5660494/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/illustrations/palu-martil-ikon-ikon-palu-5660494/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu mengenai amandemen UUD 1945 kembali muncul di publik. Salah satu ide yang ingin dimasukan dalam amandemen UUD 1945 adalah Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Tentunya secara sekilas PPHN tidak jauh berbeda dengan GBHN yang pernah termuat dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Keinginan memasukan kembali PPHN dapat dilihat dalam Pidato Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo, yang mana MPR menginginkan adanya suatu haluan negara yang dapat memberikan arah pembangunan Indonesia ke depan. Ia mengklaim perencanaan visioner itu diperlukan untuk membaca tantang zaman yang terus berkembang. Isu mengenai PPHN tidak baru sebab keinginan ini terus digencarkan mengingat pasca amandemen terakhir pembangunan oleh Pemerintah dinilai tidak mereta dan berkelanjutan. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah tepat amandemen dilakukan di tengah Pandemi?
ADVERTISEMENT
Pekerjaan yang kunjung usai
Kasus covid19 terus mengalami kenaikan. Bahkan data per 25 Agustus 2021, positif 4.026.837 orang dengan total kesembuhan mencapai 3.639.867 dan 129.293 orang. Tentunya sejak ditemukan kasus pertama maret 2020 sampai dengan hari ini telah memberikan dampak yang signifikan baik dari aspek ekonomi, politik maupun hukum. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Pemerintah guna meminimalisir penyebaran virus covid19. Bahkan saat ini pemerintah telah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). PPKM di mulai 3 juli 2021 sampai dengan saat ini yang dianggap oleh Pemerintah mampu mengurangi angka penyebaran covid19. Namun, di saat yang bersamaan, PPKM telah memberikan dampak yang sangat buruk terhadap perekonomian. Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, PPKM membuat pergerakan orang dan kegiatan ekonomi berkurang. Maka, aktivitas produksi penjualan dan konsumsi akan menurun. Hal ini tentunya akan berdampak langsung bagi masyarakat terutama bagi mereka yang penghasilan harian. Di samping itu, yang menjadi polemik, pemerintah ingin menurunkan angka covid19, namun di saat yang bersamaan pemerintah juga tidak cukup mampu untuk memperbaiki perekonomian di tengah PPKM.
ADVERTISEMENT
Padahal jika ditinjau dari aspek hak asasi manusia, pemenuhan akan hak kesehatan dan ekonomi harus berjalan secara beriringan. Serta harus memperhatikan prinsip universal, kesetaraan, dan non diskriminasi. Ketiga hal tersebut menjadi pondasi agar pengendalian covid19 diperuntukkan bagi seluruh rakyat, tidak hanya segelintir orang atau kelompok. Di samping itu, negara dilekati kewajiban untuk mengupayakan pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 12 Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi menjadi UU No 11 Tahun 2005. Dengan demikian, yang menjadi prioritas saat ini adalah bagaimana negara mampu untuk mengendalikan penyebaran virus covid19 dengan memperhatikan baik dari aspek kesehatan maupun ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran Amandemen di tengah Pandemi
Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa saat ini masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Pemerintah terutama dalam mengatasi pandemi covid19. Terlebih, baik dari aspek kesehatan maupun ekonomi masih terbilang tidak terkendali. Tentunya, pilihan politik untuk melakukan amandemen tidak lah tepat. Di tambah publik masih dikhawatirkan terjadinya perubahan masa jabatan Presiden. Jika dilihat dari aspek politik bukan tidak mungkin terjadi perubahan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode.
Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan pemerintahan Jokowi membuat koalisi gemuk di Parlemen. Dikatakan sebagai koalisi gemuk sebab hampir 80% suara di DPR merupakan pendukung pemerintahan. Hanya PKS dan Demokrat yang menjadi oposisi pemerintahan. Dengan demikian, peta dukungan politik bagi Pemerintah Presiden sudah cukup potensial untuk menggolkan perubahan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode. Di samping itu, alih-alih ingin mengatasi covid19 justru mala menjadikan covid19 sebagai alasan untuk menambah masa Periodisasi Presiden dengan dalih darurat kesehatan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal tersebut maka sudah sebaiknya pemerintah lebih memfokuskan diri untuk menanggulangi wabah covid19 yang sampai saat ini tidak tau kapan berakhirnya. Dan amandemen UUD 1945 di tengah pandemi bukanlah agenda yang mendesak untuk segara di realisasikan.
Penulis: Arrival Nur Ilahi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia