Menilik Perfilman Indonesia melalui Kacamata Berbagai Masa

Ardi Dwi Yudhanta
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta
Konten dari Pengguna
20 Mei 2022 18:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardi Dwi Yudhanta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Film merupakan salah satu jenis media komunikasi massa yang bersifat audio visual. Film menjadi sarana komunikasi yang cukup efektif digunakan hingga saat ini karena sifatnya dan dapat menyampaikan pesan dalam cerita dan waktu yang cukup singkat. Di Indonesia sendiri, film sudah dikenal sejak tahun 1900an dimana masih berada pada masa penjajahan Belanda dan banyak mengalami perkembangan hingga saat ini. Jika ditulis secara kronologis, maka perkembangan perfilman di Indonesia dapat ditulis sebagai berikut.
ADVERTISEMENT

Film Pertama di Indonesia

Sejarah mencatat bahwa film pertama di Indonesia ialah film dengan judul “Loetoeng Kasaroeng” tepatnya pada tahun 1926 yang dibuat oleh G. Kruger dan L. Heuveldorp dan Bandung sebagai tempat dimana film ini di produksi. Pranajaya dalam artikel karya Novi Kurnia yang berjudul Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 9 No. 3 Maret (2000) menyatakan bahwa film ini ditetapkan sebagai film cerita Indonesia pertama karena menampilkan cerita asli Indonesia meskipun dibuat oleh orang asing. Pada awal lahirnya film di Indonesia hingga tahun 1940-an, cerita film hampir semuanya diambil dari legenda yang sudah merakyat di masyarakat Indonesia. Adegan-adegan dalam film-film tersebut pun masih terbilang sangat mendasar. Di titik awal itu, dapat dilihat bahwa tumpuan awal industri perfilman di Indonesia kurang bersifat sosio-budaya dan lebih bersifat kepada hal yang berbau sosio-ekonomi. Hal ini karena pembuat film merupakan seorang pedagang nonpribumi dan bukan seorang pekerja seni pribumi.
ADVERTISEMENT

Perkembangan Film Indonesia di Massa Penjajahan

Novi Kurnia dalam artikelnya yang berjudul Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 9 No. 3 Maret (2000) menyatakan bahwa terjadi pengikatan yang luar biasa terhadap perfilman nasional pada era Pemerintahan Jepang. Hal ini karena produksi film yang diperbolehkan di Indonesia hanyalah film propaganda yang mengagungkan kehebatan dan manfaat kehadiran Jepang di tanah air. Selain itu, semua film asing dilarang masuk ke Indonesia. Namun, pengikatan ini kemudian perlahan terhenti seiring dengan kemerdekaan Indonesia saat perfilman Indonesia sudah mulai berkembang.
Artikel karya Handrini Ardiyanti berjudul “Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan, Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya” yang terbit di jurnal Kajian Vol. 22 No. 2 Juni 2017 menyatakan bahwa pada tahun 1942-1944, perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia bernama Nippon Eigha Sha sempat memproduksi tiga film yang berjudul Pulo Inten, Bunga Semboja, dan 1001 malam.
ADVERTISEMENT

Perkembangan Film Indonesia di Masa Orde Lama

Pada awal kemerdekaan, seperti yang dinyatakan oleh Novi Kurnia dalam artikelnya yang berjudul Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 9 No. 3 Maret (2000), terjadi perubahan perusahaan Pasific Corporation milik Belanda menjadi Pusat Perfilman Nasional. Hal itu bersamaan dengan hadirnya persatuan Artis Film Indonesia dan Persatuan Pengusaha Bioskop Indonesia serta Festival Film Indonesia mulai diselenggarakan. Namun, sangat disayangkan perkembangan ini tidak didukung dengan regulasi yang kondusif untuk mempercepat pertumbuhan film nasional.
Pada masa ini film asing lebih menguasai bioskop di Indonesia akibatkan saluran impor film asing dibuka secara besar-besaran sedangkan film yang diproduksi sendiri belum kuat. Meskipun demikian, terdapat perkembangan yang menjadi kabar gembira dimana terlihat lahirnya sineas-sineas pribumi berkat ‘gemblengan’ Jepang dalam dunia perfilman nasional setelah kemerdekaan. Mereka inilah yang kemudian mendorong berdirinya sekolah film pada tahun 1948 yang bernama Cine Drama Institut yang berada di bawah naungan Menteri Penerangan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1950-1959, film difungsikan sebagai alat perjuangan bangsa dalam mengisi kemeredekaan. Pendidikan di luar negeri untuk mempelajari film agar bisa bersaing dengan film asing juga telah mulai ada saat itu. Berikutnya pada tahun 1959-1966 dunia perfilman mulai dibicarakan dalam sidang MPRS. Melalui berbagai peraturan pemerintah, film lebih dianggap sebagai alat Pendidikan dan penerangan, bukan lagi barang dagangan. Selain itu, film juga difungsikan sebagai revolusi yang krusial bagi pembangunan nasional, pembangunan karakter, dan alat untuk mengembangkan kebudayaan nasional.

Perkembangan Film Indonesia di Masa Orde Baru

Novi Kurnia dalam artikelnya yang berjudul Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 9 No. 3 Maret (2000) menyatakan bahwa regulasi perfilman di Indonesia semakin jelas sejak memasuki masa Orde Baru. Selain itu, terjadi penataan struktur organisasi pemerintah yang menaungi perfilman yang sebelumnya adalah Direktoran Perfilman menjadi Direktorat Perfilman Nasional. Lembaga ini berfungsi untuk memberikan bimbingan terhadap produksi, peredaran, pertunjukan, perencanaan pembuatan film berita, documenter, penyelenggaraan humas dan mengupayakan peningkatan pengetahuan serta kemampuan kalangan perfilman.
ADVERTISEMENT
Perfilman di Indonesia mengalami masa kejayaan pada tahun 1970-1980 apabila ditinjau dari jumlah produksi. Pada masa Orde Baru ini pula tepatnya pada tahun 1984 merupakan mulai ditayangkannya film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C. Noer yang merupakan proyek propaganda pemerintah orba. Namun, pada tahun 1990-an terjadi kemerosotan yang signifikan terhadap produksi film dimana film Indonesia tak bisa berkutik menghadapi arus impor meskipun kuota telah ditekan dengan berbagai cara.

Perkembangan Film Indonesia di Masa Reformasi

Handrini Ardiyanti dalam artikelnya yang berjudul “Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan, Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya” yang terbit di jurnal Kajian Vol. 22 No. 2 Juni 2017 menyatakan bahwa era 1990-an film Indonesia bagaikan mati suri, dimana produksi film sangat merosot. Namun, di era Reformasi tahun 1998 ini dianggap sebagai era dimana perfilman Indonesia bangkit kembali. Di era reformasi, produksi film di Indonesia mengalami kenaikan drastis.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel Novi Kurnia yang berjudul Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 9 No. 3 Maret (2000) menyatakan bahwa kebangkitan perfilman Indonesia ini ditandai dengan lahirnya film-film seperti Kuldesak, Petualangan Sherina, dan Ada Apa Dengan Cinta. Hal ini juga menunjukkan bahwa para generasi muda perfilman Indonesia mengambil alih kendali perfilman nasional yang sebelumnya didominasi oleh para sutradara senior. Para generasi muda perfilman tersebut mayoritas berasal dari lingkungan akademik sekolah film dalam negeri maupun luar negeri seperti Riri Riza, Nia Dinata, dan Rudi Sudjarwo.
Ditulis oleh Ardi Dwi Yudhanta.