Kehilangan Sosok Nenek yang Baik

Aprilia Wahyu Melati
Mahasiswa aktif program studi Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 8:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aprilia Wahyu Melati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ditinggal orang yang kita sayangi memang tidak mudah. Apalagi ditinggal untuk selamanya. Awal tahun yang menyedihkan. Tepatnya 4 Januari 2020 aku harus menerima kenyataan ditinggalkan nenekku untuk selamanya.
ADVERTISEMENT
Dering telepon berbunyi, dilihat dari namanya ternyata yang menelepon adalah Budeku. “Lia, Mbahmu meninggal,” Betapa kagetnya aku mendengar kabar seperti itu. Seakan percaya tidak percaya hal itu terjadi. Oh Tuhan, begitu cepatkah Kau memanggil Nenekku?
Menurutku, nenek adalah sosok yang ramah kepada siapa pun dan selalu berbuat baik. Dalam keadaan apa pun nenek selalu berbagi walau rezeki yang ia miliki tidak banyak. Karena pada prinsipnya, ‘berbagilah walaupun sedikit’ dan itu selalu ia katakan kepada anak cucunya. Ia tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Saat Ramadan pun rajin salat tarawih dan salat subuh berjamaah di masjid.
Jarak tempat tinggal aku dan nenek yang berjauhan membuatku jarang sekali bertemu dengannya. Mungkin hanya saat lebaran atau ada acara keluarga aku baru bisa bertemu. Karena nenek tinggal di Jogja bersama kakek dan aku tinggal di Bogor. Jika rindu datang, hanya bisa berkabar melalui panggilan suara atau video.
ADVERTISEMENT
Semenjak nenek pergi untuk selamanya, aku merasa kehilangan sekali. Selalu teringat suara nenek yang khas jika aku sedang menelepon. “Sopo sing nelepon (Siapa yang telepon)? Pasti Lia,” kata nenek dengan aksen Jawanya yang khas. Ia selalu tahu jika aku yang menelepon. Katanya, aku adalah cucunya yang paling bawel. Karena itu, bisa dibilang aku adalah cucu yang paling dekat dengannya.
Suara itu kini tak lagi kudengar. Aksen bicaranya yang khas hanya bisa terngiang-ngiang di pikiran. Nenek pasti tahu kalau aku sering merindukannya. Karena banyak sekali kenangan antara aku dan nenek. Bersama nenek juga aku banyak bercerita hingga akhirnya tahu banyak hal.
Aku membayangkan, betapa sepinya rumah nenek di Jogja tanpa kehadirannya tiap saat aku mudik lebaran. Nenek selalu senang jika anak cucu pulang ke rumahnya. Ia selalu menunggu dan menyambut di depan rumah. Melebarkan tangan untuk memberikan pelukan hangat. Menyiapkan air hangat untuk anak cucunya mandi, menyiapkan makanan lebaran, hingga berangkat salat Idulfitri bersama.
ADVERTISEMENT
Sekarang tidak ada lagi yang menyambutku dari depan rumah jika aku ke Jogja. Tidak ada lagi berangkat ke masjid bersama untuk salat subuh atau tarawih berjamaah. Bahkan berangkat salat Idulfitri bersama hanya tinggal kenangan. Sepi yang kurasakan tanpa suara dan gurauanmu. Nenek adalah sosok yang akan dirindukan oleh anak cucunya setelah ia pergi.
Namun, aku tersadar. Aku tidak bisa terus menerus bersedih hati. Mungkin nenek bisa melihat jika aku atau anak cucunya yang lain sedang merindu. Hanya foto yang bisa kutatap dan memanjatkan doa untukmu disetiap salatku. Berharap nenek selalu bahagia dan berada di tempat terbaik di sisi Allah. Di dunia, anak cucumu akan selalu merindukanmu. Berbahagialah selalu, Nek. Kita pasti akan kembali dipertemukan di syurga nanti.
ADVERTISEMENT
(Aprilia Wahyu Melati/Politeknik Negeri Jakarta)