Harus Menerima Kenyataan

Aprilia Wahyu Melati
Mahasiswa aktif program studi Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
11 Mei 2020 8:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aprilia Wahyu Melati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepi. Itulah yang aku rasakan saat ditinggal kedua orang tuaku bekerja. Mungkin takdir ini memintaku untuk bisa hidup mandiri, bukan menjadi perempuan yang manja.
ADVERTISEMENT
Orang tua adalah orang yang paling berarti dalam hidupku. Tanpa perantara orang tua aku tidak mungkin bisa lahir ke dunia ini. Melalui perantara mereka juga aku bisa melihat dan merasakan bagaimana hidup. Aku bisa belajar arti hidup yang sebenarnya. Mereka yang merawat, membesarkan, menjaga, dan mendidik anak-anaknya hingga dewasa. Tapi pada kenyataannya, beberapa orang tua masih banyak yang menitipkan anaknya ke pengasuh. Seperti halnya orang tuaku.
Bekerja tak kenal waktu sampai terkadang lupa pada anaknya. Aku sering merasakan seperti itu. Orang tuaku yang sibuk bekerja membuatku harus dititipkan ke pengasuh. Pagi-pagi aku diantar ke rumah pengasuh. Dibawakan bekal dan pakaian oleh orang tuaku. Di tempat pengasuh aku dititipkan dari pagi hingga sore bahkan sering sampai malam hari. Pengasuhlah yang lebih banyak waktunya untuk menemaniku, mengantarku ke sekolah, juga merawatku.
ADVERTISEMENT
Aku terbiasa dengan kehidupan seperti itu, hidup dengan pengasuh. Terkadang aku iri melihat seorang anak yang bisa selalu ditemani orang tuanya. Sesibuk apa pun orang tuanya bekerja mereka masih bisa menyempatkan waktunya. Mengambil contoh saat pembagian rapor. Sedih rasanya jika aku datang tidak bersama orang tua. Kadang aku harus datang sendiri atau hanya ditemani pengasuhku. Berbeda dengan teman-temanku yang datang bersama ibu atau ayahnya. Aku sangat iri melihatnya.
Biasanya saat pembagian rapor pasti ada pengumuman siswa berprestasi. Aku sering masuk peringkat lima besar bahkan tiga besar di kelas. Betapa bangganya diriku atas prestasi belajarku itu. Namun, tak berarti kebanggaanku itu jika saat pembagian rapor aku tak pernah ditemani ayah atau ibuku.
ADVERTISEMENT
Walaupun orang tuaku sibuk bekerja, aku tidak ingin menjadi anak yang nakal. Justru aku belajar untuk mandiri. Saat orang tuaku bekerja dan aku sudah pulang sekolah, aku tidak pernah pergi berkeluyuran. Aku langsung pulang ke rumah dan belajar membersihkan rumah. Aku belajar caranya mengepel dan mencuci piring. Semua itu kulakukan saat aku sudah tidak dititipkan lagi ke pengasuh. Bahkan aku harus bisa belajar atau mengerjakan tugas sekolah sendiri. Hanya sesekali Ayahku mengajariku belajar, itupun jika sedang tidak sibuk bekerja. .
Pernah suatu hari saat itu hujan turun dengan lebat di sore hari. Suara petir yang menggelegar saling beradu. Awan gelap menyelimuti langit sore kala itu. Angin bertiup sangat kencang menumbangkan beberapa pohon pisang dekat rumahku. Akhirnya rumah-rumah pun gelap karena listrik padam. Kududuk di depan rumah sendirian sambil memeluk kaki. Betapa takutnya aku saat itu karena aku berada di rumah sendirian. Aku sangat tidak berani masuk ke rumah. Tak sadar air mataku mentes menangis sejadi-jadinya dan bertanya dalam hati 'kapankah ayah dan ibu pulang?' Oh beginikah nasib seorang anak yang ditinggal bekerja orang tuanya? Menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Dari semua itu aku belajar menjadi anak perempuan yang tahan segala hal, walaupun aku sebenarnya anak yang cengeng. Aku belajar untuk kuat karena sering ditinggal orang tua. Selain itu, juga belajar mengerti kondisi keluarga.
Mungkin aku harus menerima kenyataan hidup. Sering ditinggal oleh orang tua. Tapi setelah aku belajar mengerti, semua ini ada hikmahnya. Aku bisa hidup lebih mandiri walau terkadang aku merasa sangat sedih, takut, dan cengeng. Bersyukur masih bisa menjadi anak yang baik, bukan anak yang berandal. Juga bersyukur masih bisa berprestasi di sekolah walau orang tua sibuk bekerja. Terlebih aku juga bisa belajar arti hidup yang sebenarnya itu bagaimana.
(Aprilia Wahyu Melati/Politeknik Negeri Jakarta)