Kemalasan Berpikir di Tengah Pandemi

Andrias Pujiono
Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Syalom Bandar Lampung
Konten dari Pengguna
17 Juli 2021 8:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andrias Pujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
jason-strull_unsplash
zoom-in-whitePerbesar
jason-strull_unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berpikir dong! Pakai akal dong! Apakah anda sering mendengarnya? Hal itu biasanya berkaitan dengan orang yang tidak mau menggunakan akal atau pikirannya. Malas untuk berpikir. Biasanya mereka ini ‘asal’ bicara atau bertindak. Apa yang dikatakan guru, pemimpin, junjungan, teman facebook atau tetangganya dipercaya tanpa banyak berpikir. Yang akibatnya sering salah paham dan membahayakan.
ADVERTISEMENT
Orang-orang itu yang jika mendengar sesuatu dari yang sumber yang ia 'percayai', mereka akan mudah percaya. Celakanya, kalau sudah percaya pada suatu hal, karena malas berpikir, mereka akan sulit percaya pada hal lain. Walaupun yang lain itu benar, dan disertai dengan banyak bukti. Tetapi mereka tetap tidak percaya, karena malas untuk menguji keyakinannya yang terdahulu.
Mereka ini mudah dihasut. Mudah termakan hoaks. Sebenarnya, mereka itu bukan penurut, tetapi hanya orang yang malas menggunakan akalnya. Mereka punya akal? Tentu saja. Hanya saja, mereka itu enggan menggunakan akalnya. Itu saja.
Semua orang punya akal tetapi tidak semua orang menggunakannya. Memiliki sesuatu dan menggunakan sesuatu itu dua hal yang berbeda. Hal tersebut seperti jika anda punya mobil bagus tetapi anda enggan menggunakannya. Alasannya macam-macam. Takut tergores ketika di parkir, takut kotor, takut ini itu dan sebagainya. Sehingga anda tidak dapat manfaat apa-apa dari mobil itu. Anda seperti tidak memiliki mobil. Pergi ke mana-mana tetap kepanasan dan kehujanan. Anda punya, tetapi hampir sama dengan mereka yang tidak mempunyai mobil.
ADVERTISEMENT
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu; pikiran atau ingatan; jalan atau cara melakukan sesuatu, atau kecerdikan. Dalam antropologi akal diartikan sebagai kemampuan melihat cara memahami lingkungan.
Sederhananya, akal adalah kemampuan seseorang untuk memahami sesuatu atau lingkungan sekitarnya. Setiap orang memiliki akal, walaupun dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang mudah memahami, ada yang butuh sedikit usaha, ada butuh usaha keras untuk memahami sesuatu. Setiap orang punya akal, tetapi berbeda-beda cara mereka menggunakannya.
Kenapa orang malas menggunakan akalnya? Karena berpikir membutuhkan usaha yang keras. Memahami sesuatu itu tidak mudah. Dia harus berkonsentrasi, melakukan pengamatan, analisis, sintesis, melihat sebab akibat dan menarik kesimpulan. Sebagai organ untuk berpikir, otak membutuhkan sekitar dua puluh persen energi tubuh. Oleh karena itu hanya orang yang sengaja mau berpikirlah yang akan mampu melakukan dan mendapat pemahaman.
ADVERTISEMENT
Di masa pandemi ini, ada masih banyak orang yang tidak mau menggunakan akalnya. Jadi mudah termakan hoaks. Bahkan yang lebih parah lagi, ketika mendapatkan satu berita yang belum tahu benar atau salah, langsung diunggah atau diteruskan ke media sosial.
Orang-orang yang malas memakai akalnya inilah yang biasanya gampang dibohongi. Ingat ya mereka itu punya akal. Punya kemampuan untuk memahami, tapi malas memakainya saja. Ya mubazir jadinya.
Pandemi yang tak kunjung selesai ini, salah satunya disebabkan oleh para 'pemalas' ini. Pemalas dalam hal berpikir. Kalau dapat kabar vaksin itu bahaya, dan isinya tidak jelas, langsung percaya. Parahnya lagi ada yang percaya jika Covid-19 tidak ada dan hanya sebuah konspirasi. Mereka tidak melakukan tabayun. Mereka percaya begitu saja. Yang sialnya, berita yang mereka percayai itu salah.
ADVERTISEMENT
Padahal berita kematian karena corona berseliweran di mana-mana. Apakah mereka itu menunggu terinfeksi virus Covid-19 terlebih dahulu baru percaya? Ah itu konyol namanya.
Minggu lalu, seorang teman bercerita bahwa di sekitar rumahnya banyak orang yang menolak untuk divaksinasi. Dia tidak menjelaskan alasannya secara detail. Karena penasaran saya mencarinya di google yaitu tentang alasan seseorang menolak divaksinasi. Beberapa alasan saya dapatkan seperti, tidak percaya adanya virus, tidak yakin terhadap keamanan dan efektivitas vaksin, takut efek samping vaksin, ada alternatif lain selain vaksin, keyakinan dan nilai yang dianut, dan seterusnya.
Padahal vaksin adalah salah satu cara yang efektif untuk menekan penyebaran dan akibat dari virus corona. Berdasarkan beberapa sumber, saat ini beberapa negara sudah tidak mewajibkan masker bagi warganya. Salah satu sebabnya karena vaksin telah diberikan ke sebagian besar penduduknya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, mereka yang tidak percaya adanya corona ataupun tidak mau divaksinasi, dapat menemukan jawabannya dengan mudah. Yaitu, dengan menggunakan logika sederhana.
Corona ada dan berbahaya dilihat dari banyak korban yang berjatuhan. Hal itu dapat dilihat di kanal berita dan media sosial tokoh atau pakar yang kredibel. Atau kabar tentang saudara, teman, dan tetangga yang pernah terinfeksi corona atau yang meninggal karena virus itu.
Beberapa teman saya yang pernah terinfeksi dan sembuh memberikan kesaksian tentang adanya virus Covid-19 melalui media sosial. Ditambah, beberapa teman meninggal dunia karena terinfeksi Covid-19. Informasi-informasi tersebut dapat menjadi bukti bahwa virus corona memang ada. Sangat sederhana bukan?
Jika masih tidak percaya, bisa menggunakan teori belajar learning by experience, belajar lewat pengalaman. Untuk mendapat pengetahuan dan pemahaman datang saja ke rumah sakit, lihat (jika bisa) mereka yang terinfeksi, atau tanya dokter. Jangan sampai tertular. Tapi jika tertular, walaupun membahayakan diri sendiri dan orang sekitar, hal itu dapat menjadi pengalaman yang memberikan pengetahuan dan pemahaman.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan mereka yang tidak percaya pada vaksin? Mudah, lihat saja di pemberitaan media online tentang negara-negara yang berhasil menekan penyebaran dan dampak Covid-19 melalui vaksinasi. Negara seperti Israel, Amerika Serikat, Selandia baru adalah negara yang sudah tidak mewajibkan masker kepada warganya.
Saat ini, berita atau informasi sangat mudah diperoleh. Tetapi memang harus selektif. Cukup dari smartphone, kita dapat mencari dan mendapatkan berbagai informasi yang valid. Media massa tepercaya, lembaga pemerintah atau non pemerintah yang kredibel, atau kata ahli, adalah sumber rujukan penting dan berharga. Kuncinya hanya satu, yaitu mau melakukannya.
Di tengah pandemi saat ini, selain bahaya dari orang yang malas berpikir tadi. Orang yang terlalu banyak berpikir atau over thinking juga berbahaya. Mereka ini mudah panik atau cemas, yang dapat mengakibatkan mereka mudah tertular virus Covid-19. Keduanya sama bahayanya dalam upaya menekan jumlah orang yang terjangkit virus Covid-19. Jadi penting untuk memiliki moderasi dalam berpikir.
ADVERTISEMENT
Di saat ini hal yang perlu dilakukan adalah tetap menggunakan akal sehat secara proporsional. Tidak percaya dan masa bodoh adalah hal yang buruk, tetapi terlalu cemas dan takut sehingga mudah panik, sama buruknya.
Ini terlihat pada kasus panic buying terhadap salah produk susu sapi merek 'BB'. Mereka percaya susu tersebut dapat menyembuhkan Covid-19. Padahal, menurut ahli gizi kandungannya sama dengan produk susu lainnya, dan belum ada bukti riset yang menyatakan susu tersebut efektif menyembuhkan virus corona.
Mereka yang panic buying itu percaya adanya corona. Tapi karena terlalu banyak berpikir membuat mereka tidak menggunakan akal sehat dengan baik dan jernih. Ketika mendapat informasi susu 'BB' dapat menyembuhkan virus Covid 19, mereka ramai-ramai membelinya. Tanpa berpikir panjang atau penyelidikan. Orang-orang jenis ini ternyata banyak jumlahnya. Buktinya susu merek BB saat ini susah didapatkan. Termasuk di warung ibu saya, yang biasanya susu tersebut tidak terlalu laku dijual.
ADVERTISEMENT
Malas berpikir dan kebanyakan pikiran sehingga membuat tidak rasional sama berbahayanya. Oleh karena itu, sekali lagi, kita perlu moderasi dalam berpikir. Tidak malas berpikir dan juga tidak over dalam berpikir.
Kapan pandemi ini selesai? Ketika orang-orang yang mempunyai akal itu mau menggunakan akalnya. Apakah sulit, tidak juga. Kuncinya adalah keinginan dan keterbukaan. Mau berpikir walaupun tidak mudah, dan terbuka terhadap berbagai informasi dan kemungkinan baru. Gunakanlah akal dengan baik dan benar, jangan malas berpikir. Karena kita adalah makhluk rasional.