Guru itu Nggak Pernah Salah

Andrias Pujiono
Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Syalom Bandar Lampung
Konten dari Pengguna
8 Juli 2021 13:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andrias Pujiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mengajar Foto: UNSPLASH
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mengajar Foto: UNSPLASH
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hukum pertama, guru itu tidak pernah salah. Jika guru salah, kembali ke hukum pertama. Itulah hukum kedua. Itu perkataan beberapa siswa saya tiga tahun lalu. Saya kaget. Masa sih? Teman-temannya dengan tersenyum dan terlihat cukup yakin berkata, benar pak. Saya pun refleks berkata, itu nggak bener. Guru adalah manusia yang bisa salah. Memang guru itu dewa?
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu dari mana dua hukum itu muncul. Apakah itu candaan berdasarkan realitas yang mereka alami. Yang muncul dalam bentuk sindiran tentang praktik guru yang bertindak arogan? Sangat mungkin benar.
Candaan yang menyindir ini menyiratkan beberapa hal. Murid-murid melihat bahwa gurunya berpikir bahwa ia tahu yang benar dan akan selalu benar. Murid harus menerima dan mengikuti ajaran si guru. Seorang guru tidak pernah salah, jika ‘salah’ itu pasti hanya kesalahan murid dalam memahami ajaran dan didikan sang guru.
Hal-hal tersebut di atas menggambarkan arogansi seorang guru. Ia merasa tahu semua hal dalam bidangnya. Ia berpikir bahwa murid adalah pribadi yang harus diberi tahu karena belum memiliki pengetahuan. Tugasnya menerima, diperbolehkan bertanya secukupnya dan dilarang mengoreksi atau beda pendapat dengan guru.
ADVERTISEMENT
Murid dipandang seperti gelas kosong. Guru lah yang dapat mengisi kekosongan itu. Baik itu pengetahuan, sikap ataupun keterampilan tertentu. Semua bergantung pada guru.
Ini berbahaya dan usang. Guru adalah manusia biasa yang bisa salah. Dan jika salah harusnya ia mengakuinya dengan rendah hati. Jika pertanyaan murid tidak bisa ia jawab, seharusnya hal itu guru jadikan PR untuknya. Bahkan di bidang yang ia kuasai dan ajarkan.
Kategori guru di atas tidak relevan bagi zaman now. Jenis guru seperti ini, mungkin masih banyak dijumpai pada seratus tahun lalu. Di mana guru berperan sebagai sumber belajar utama. Tetapi tidak untuk guru di era kemajuan teknologi informasi.
Saat ini, melalui internet siswa dapat mengakses informasi dan pengetahuan yang melimpah ruah. Kapan saja dan di mana saja.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, murid lebih dahulu tahu dan bisa mengerjakan sesuatu ketimbang gurunya. Internet mengubah peran guru secara signifikan. Saat ini, guru hanya menjadi salah satu sumber belajar, di antara sumber belajar lainnya.
Untuk mengetahui suatu informasi siswa dapat mengakses melalui mesin pencari Google. Jika ia ingin bisa mengerjakan sesuatu, murid dapat mencari tutorialnya di Youtube. Jika murid ingin mengetahui apa yang lagi happening atau trending, ia bisa membuka media sosial Twitter.
Jadi guru seharusnya bersikap rendah hati dengan mengakui keterbatasannya. Dan berupaya memfasilitasi para murid untuk mendapatkan kemudahan dalam belajar.
Secara pribadi saya punya pengalaman menarik tentang ‘guru juga bisa salah’. Ketika SMA, kami kedatangan pak guru fisika baru dan muda. Dia pintar. Ketika mengajar, salah satu teman kami yang paling pintar di kelas, mengetahui ada kesalahan pada penjelasan guru tersebut. Ia menunjukkan kesalahannya.
ADVERTISEMENT
Kemudian si guru melihat dengan saksama ke papan tulis, memeriksa, menemukan dan membetulkannya. Pak guru fisika itu mengakui bahwa penjelasannya salah. Kemudian, tak lupa ia berterima kasih kepada teman saya itu.
Walaupun sudah belasan tahun yang lalu, kejadian itu masih sangat membekas dalam ingatan. Ternyata guru juga bisa salah dan murid bisa benar. Kemudian, ada guru yang dengan rendah hati mengakui kesalahannya. Hal ini tentu menggagalkan kedua hukum tentang guru di atas.
Hanya guru yang kurang update dan sombong akan menggunakan jurus dua hukum di atas. Secara eksplisit ataupun implisit. Biasanya mereka ini textbook. Padahal di luar sana banyak informasi dan pengetahuan terbaru dan memperkaya.
Nah guru seperti ini, terbiasa memaksa siswa untuk tunduk dan nurut, kaya kebo. Pokok'e dengarkan ‘sabdaku’. Para siswa menurut karena takut. Takut nilainya jelek, takut hubungannya rusak dengan guru, atau takut merusak suasana kelas.
ADVERTISEMENT
Guru itu fasilitator. Orang yang berperan memudahkan para siswa belajar. Guru dituntut rendah hati karena keterbatasannya. Fasilitator sadar bahwa dia tidak tahu dan bisa semuanya. Tetapi tahu cara-cara dan sumber-sumber yang memudahkan para siswa belajar.
Guru itu harus rendah hati. Kalau salah yang mengaku saja. Kalau belum tahu, katakan tidak tahu. Jika anak bertanya sesuatu yang sulit dan tidak bisa dijawab saat itu, jadikan PR. Gitu aja kok repot.
Sikap sok tahu, arogan dan memaksa seharusnya hilang dari dunia pendidikan kita. Guru masa kini harus berubah. Hukumnya bukan ‘guru tidak bisa salah’. Tetapi ‘guru tidak bisa tidak belajar’. Artinya belajar adalah keharusan dari seorang guru. Jika ia mau membelajarkan siswa, ia terlebih dahulu belajar. Belajar untuk mengajar dan mengajar sambil belajar.
ADVERTISEMENT
Kita perlu belajar dari sejarah masa lalu tentang sikap arogan dalam dunia sains. Sains terdahulu salah ketika mengatakan bahwa bumi itu datar, padahal bulat. Matahari mengitari bumi, padahal sebaliknya, dan masih banyak lagi. Jangankan guru, ilmu pengetahuan pun bisa salah.
Ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan itu sendiri bersifat dinamis. Mungkin saja apa yang benar kemarin bisa salah hari ini. Apa yang dianggap salah hari ini, mungkin akan terbukti benar di kemudian hari.
Jadi guru mesti terbuka, rendah hati, mau belajar dan kritis. Tidak anti kritik. Kalau salah ya ngaku. Kalau murid benar atau bisa ya dipuji, simple kan? Guru zaman now harus gitu.
Guru masa kini harus membangun suatu pembelajaran yang demokratis. Siswa dapat bertanya, menanggapi dan diberikan kesempatan untuk berbeda pendapat, serta mempertahankan pendapatnya. Dalam demokrasi pembelajaran, guru menyediakan ruang kepada siswa menjadi rekan belajar untuk terus berubah, baik secara personal maupun komunal.
ADVERTISEMENT