Sisi Lain Kehidupan Sebagai Ibu Rumah Tangga

Zabrina Listya
I am a 'student-mom' with two kids and passionate about learning and self-improvent :) Melbourne
Konten dari Pengguna
10 April 2018 8:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zabrina Listya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sisi Lain Kehidupan Sebagai Ibu Rumah Tangga
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di artikel pertama, saya bercerita bagaimana saya melihat perbedaan parenting style Australia dan tanah air, Indonesia. Ketika menulis artikel itu, membuat saya flashback 6 tahun lalu kala saya memulai parenting journey sebagai seorang ibu. Ketika akan melahirkan anak pertama, saya (didukung suami tentunya) memutuskan untuk berhenti bekerja full time dan menjadi stay-at-home-mom¬ alias ibu rumah tangga yang ‘di rumah aja’.
ADVERTISEMENT
Saya pernah membaca beberapa cerita bagaimana sedihnya ibu bekerja (working moms) yang meninggalkan anaknya yang masih kecil di pagi-pagi buta dan pulang di malam gelap gulita, ataupun Ibu rumah tangga (stay-at-home-moms) yang di rumah mengurus anak saja dan merasa 'tertekan' dan juga dicibir karena merasa tidak ‘sehebat’ teman-teman perempuannya yang bekerja dan berkarir seperti pengalaman ibu yang dibahas di laman ini. Begitulah, rumput tetangga selalu lebih hijau, bukan?
Setelah banyak membaca ini-itu, saya sadar bahwa yang membuat saya sebagai salah satu stay-at-home-moms merasa ‘frustasi’ pada awalnya bukanlah hanya ingin Adult Conversation atau berkarir di perkantoran, tapi merasa diri yang tidak punya Self-Actualization, alias merasa diri tidak update dengan apapun. Lalu, kenapa akhirnya saya memutuskan untuk kembali berkuliah? Berikut sedikit sharing bagaimana akhirnya memutuskan untuk sementara meninggalkan Indonesia dan berkuliah kembali.
ADVERTISEMENT
1. Kembali Belajar Bahasa Inggris.
Menurut kacamata saya, dengan belajar bahasa asing seperti bahasa Inggris, semakin banyak buku yang bisa dibaca, semakin banyak orang yang bisa diajak berbicara, semakin banyak ilmu yang bisa diserap, dan semakin banyak kesempatan yang bisa digapai. Itu salah satu yang selalu saya ingat ketika saya memutuskan belajar bahasa Inggris lagi.
Tentu saja berbekal pelajaran bahasa Inggris dari SD-SMA tidak cukup untuk saya menyelesaikan online course dari Stanford University melalui Coursera gratis dari rumah (keren kan ibu yang di rumah saja, dasteran, bisa dapat belajar dari professor universitas kelas dunia).
Saya mulai dari yang basic dari sumber seperti BBC English dan memaksakan membaca artikel tentang parenting dalam bahasa Inggris. Alhasil, ketika mengambil tes IELTS, saya mendapat nilai tinggi dalam reading karena tidak disadari saya sudah terbiasa membaca sumber berbahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
2. Mencari Inspirasi
Tentu saja inspirasi bisa dari mana saja. Nenek, tante, orang tua, suami, mertua, kakak dan adik, teman bahkan anak-anak saya menjadi sumber inspirasi saya. Tetapi, ketika saya sudah mulai terbiasa dengan bahasa Inggris, semakin banyak kesempatan saya untuk mendapatkan inspirasi terutama dari orang-orang yang jauh di sana.
Contohnya, saya mendapatkan inspirasi dari Jamie Oliver bagaimana pentingnya anak belajar makan makanan sehat, bagaimana cara me- manage waktu dari beberapa pembicara TED seperti salah satunya Laura Vanderkam, beberapa buku dan blogger tentang parenting seperti Alice Callahan, Gwen Dewar, dan Dr. Laura Markham dan masih banyak lainnya. Membaca tentang bagaimana mereka berpendapat dan belajar, membuat saya terinspirasi dan merasa memiliki kesempatan untuk meng-update diri sendiri. I feel challenged and inspired.
ADVERTISEMENT
3. Membuat Keputusan
Ketika akhirnya banyak ‘bersemedi’ saya akhirnya memutuskan untuk kembali sekolah karena itulah yang ternyata membuat saya bisa to live life to the fullest. Konsep lifelong learning membuat saya merasa lebih utuh bukan hanya sebagai ibu tapi juga perempuan.
Kalau ada yang bertanya, ‘belajar kan bisa di mana saja? Enggak harus kampus!’, itu betul banget. Tapi saya masih kurang disiplin untuk bisa mengatur apa yang harus saya pelajari. Institusi formal bisa membantu untuk menutup kekurangan itu. Dan masih banyak kekurangan lainnya yang saya punya. Akhirnya, berbekal pengalaman pas-pasan, saya nekad mendaftar beasiswa untuk bisa berkuliah lagi.
Keputusan ini tentu bukan sebuah akhir, tapi merupakan proses dari hidup saya, karena masih banyak masalah-masalah hidup lainnya yang membutuhkan proses sebelum membuat keputusan. Dan... jangan lupa harus diputuskan bersama - terutama bersama suami dan dua bocil (baca: anak)-. Fiuuh.. Terlebih saya harus terpisah sementara dengan suami, dan menjalankan kuliah dengan anak-anak saja.
ADVERTISEMENT
Setiap orang punya kisah yang berbeda, situasi dan tujuan yang tidak sama. Yang penting untuk saya bukan akhirnya bagaimana, tetapi juga proses yang saya nikmati. I just think the quality of my life has greatly improved and I feel happy.
Moral story untuk saya: Jangan sekali-kali membandingkan dengan orang lain, jika iya, yang ada saya 'nangis bombay' di sini karena banyak sekali yang muda-belia dan punya achievement yang bikin saya terheran-heran. Mereka hebat banget!!!
Seperti yang professor saya tanyakan di salah satu kuliah di unit tatap muka, “How long did you take to get here?”, jawaban dan pemahaman pun bervariasi. Sebagian menjawab 1 jam, 15 menit, ada juga yang menjawab 25 tahun, 30 tahun, dan sang professor menjawab “I spent a bit over 40 years to get here.”
ADVERTISEMENT
Apa jawabanmu? Dan apa yang membuat hidupmu lebih berwarna?