Dalipin Kanjuruhan

Tragedi Kanjuruhan

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
7 Oktober 2022 9:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tragedi Kanjuruhan adalah bom waktu yang akhirnya betul-betul meledak dalam lingkup-kait persepakbolaan di Indonesia. Kulminasi dari proses imunisasi dan pematirasaan perlahan akan bahaya tindak kekerasan. Semua tandanya sudah terang-benderang terpampang sejak lama. Kita saja yang memilih untuk mengabaikan.
Siapa yang bisa membantah sepak bola di Indonesia adalah tontonan rutin orgi kekerasan. Kenormalan bukan anomali. Ia dilakukan pemain, petugas keamanan, sampai suporter; dari tingkatan tarkam hingga profesional. Jika pengabaian faktor keamanan dimasukkan sebagai faktor, tindak kekerasan itu bisa dikatakan dilakukan pula oleh penyelenggara pertandingan. Jika disfungsionalnya sebuah organisasi dimasukkan sebagai faktor—karena hanya organisasi disfungsional yang bisa menyebabkan mereka di bawahnya berbuat seenaknya dan merugikan semua pihak tanpa ada konsekuensi berarti—maka organisasi sepak bola Indonesia bisa dikategorikan juga telah melakukan tindak kekerasan (struktural sifatnya).
Jamak baku hantam antarpemain terjadi di lapangan karena tak mampu mengekang emosi. Jamak bentrok suporter terjadi untuk sebab yang tak masuk akal. Jamak wasit menjadi bulan-bulanan bogem mentah pemain dan tim manajemen yang tak puas dengan kepemimpinan mereka. Jamak pihak keamanan melakukan hantam kromo terhadap mereka yang dianggap berulah. Jamak pihak penyelenggara seenak udelnya sendiri menetapkan jadwal pertandingan tanpa memikirkan akibat keamanan, atau menyediakan infrastruktur stadion yang tak laik dari perhitungan keamanan. Jamak pengurus organisasi persepakbolaan menutup mata atas peristiwa-peristiwa kekerasan itu, seolah demikianlah sepak bola seharusnya.
Dengan itu semua, kita tidak usah terkejut kalau setelah berhari-hari tragedi terjadi, tak satu pihak pun merasa bersalah dan bertanggung jawab. Mungkin tak akan pernah. Semua sudah imun dan mati rasa. Semua orang tahu korban suatu ketika pasti akan jatuh dan ketika terjadi tak dilihat sebagai sebuah tragedi. Kalaupun jumlah korban Tragedi Kanjuruhan sungguh mengerikan, ini bukan yang pertama, bukan yang kedua, bukan pula yang ketiga. Apalah arti korban kalau sepak bola adalah orgi kekerasan.
Menyalahkan suporter adalah tindakan gampangan dan cermin kemalasan berpikir. Sifatnya sebagai kerumunan (crowd) membuat suporter paling susah diatur, tak terduga, gampang tersulut ribut, dan mudah beringas. Demikianlah psikologi kerumunan. Tetapi, dalam struktur piramida kuasa, mereka sesungguhnya berada di posisi paling bawah dan paling lemah. Selalu menjadi korban pertama. Ini bukan hanya untuk persoalan kerumunan sepak bola, tetapi segala rupa kerumunan.
Dalam tatanan masyarakat beradab, kesadaran akan posisi suporter dalam piramida kuasa sangat dimengerti oleh penguasa (organisasi sepak bola maupun negara). Maka dibuatlah segala macam tata kelola yang muara tujuannya adalah menjaga agar keselamatan dalam kerumunan menjadi yang utama. Ketika tata kelola gagal, yang pertama kali dilihat adalah pemangku kepentingan pengelolanya.
Kita melihat Eropa yang saat ini menjadi kiblat penyelenggaraan pertandingan sepak bola yang baik. Apakah suporternya kalah beringas dengan yang di Indonesia? Tidak. Psikologi kerumunan berlaku serupa. Yang membedakan adalah tata kelola yang membuat psikologi kerumunan itu bisa diredam. Bukan lewat kekerasan—pada batas tertentu tentu dipersiapkan—melainkan lewat keberadaban dari hulu sampai hilir. Klub mengelola agar emosi seluruh jajaran dari pemain hingga tim manajemen menyikapi kemenangan dan kekalahan dengan tulus; penyelenggara menyiapkan keamanan dan kenyamanan stadion; operator pertandingan-kompetisi memastikan jadwal yang tepat dan wasit yang adil; pihak keamanan mempunyai SOP (standard operation procedure) yang tepat dan dipatuhi dengan ketat; organisasi sepak bola menerapkan pemberlakuan aturan (law enforcement) yang benar tanpa pandang bulu terkait pertandingan maupun bila terjadi pelanggaran; sampai pemerintah yang membantu lewat ketersediaan transportasi, tata kelola ruang, dan segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan pengelolaan kerumunan.
Ada satu saja faktor yang diperkirakan bisa mengganggu mekanisme tata kelola berjalan lancar, pertandingan akan dibatalkan. Mereka enggan sembrono dan berjudi dengan situasi yang tak terkendali. Harus disadari, pertandingan sepak bola bukan hanya tanggung jawab organisasi sepak bola dan aparaturnya yang terlibat, tetapi juga pemerintah (lokal dan negara) sebagai pemangku kepentingan terciptanya keamanan. Tanpa kesadaran itu, pengelola sepak bola Eropa mengerti, mereka hanya akan mendorong terjadinya orgi kekerasan.
Dari sedikit ilustrasi di atas kita bisa mengerti, misalnya, mengapa sebuah kota di Eropa tidak akan menyelenggarakan lebih dari satu pertandingan besar dalam satu waktu. Pemerintah tidak akan memberi izin, karena akan sulit menyediakan tata kelola ruang dan transportasi yang aman untuk meredam kemungkinan pergesekan kerumunan.
Atau bagaimana faktor cuaca—faktor yang tak ada hubungannya sama sekali—bahkan turut menjadi perhitungan. Berulang kali sebuah pertandingan ditunda dan dijadwalkan ulang karena turun hujan salju jenis tertentu yang mudah mengeras dan licin. Di samping membahayakan kondisi penonton di dalam stadion, kondisi ini juga membahayakan kerumunan di stasiun kereta api atau ruang publik. Karenanya, menghindari penumpukan kerumunan yang tak perlu dan rentan menimbulkan pergesekan.
Ilustrasi: Fatah Afrial/Tim Kreatif kumparan
Apakah dengan demikian di Eropa tidak pernah terjadi keributan dan tindak kekerasan terkait sepak bola yang memakan korban? Tidak. Tetapi bila terjadi, itu sebuah anomali, bukan kenormalan. Segala daya upaya untuk mencegah (preventif) telah diupayakan. Segala yang bisa dihitung telah diperhitungkan. Segala yang harus dipikirkan telah dipikir. Segala sesuatu yang bisa ditimbang telah ditimbang.
Musibah adalah ketika sesuatu yang buruk terjadi di luar kemampuan kita untuk menghindarinya. Kalau sebuah kejadian buruk terjadi karena disebabkan oleh (kesalahan) kita sendiri, itu bukan musibah, tetapi kesembronoan kalau bukan ketololan. Untuk alasan itu maka Tragedi Kanjuruhan yang memakan ratusan korban nyawa hanya untuk sebuah tontonan-hiburan masuk kategori kesembronoan dan ketololan.
Karena Tragedi Kanjuruhan disebabkan oleh kesembronoan dan ketololan, maka tidak pada tempatnya bagi kita saling menahan diri untuk tidak saling tuding dan saling menyalahkan. Jika sudah jatuh korban sia-sia dengan jumlah sebanyak itu, saya kesulitan mengerti alasan apa pun yang menjustifikasi ajakan untuk menahan diri. Justru inilah saat yang paling tepat untuk saling tuding dan saling menyalahkan. Mencari tahu untuk mengungkap siapa sebenarnya yang sembrono dan tolol, untuk disalahkan dan dimintai pertanggungjawaban.
Tetapi jangan berbuat ketololan berikutnya, menunjuk mereka yang tertuding dan (untuk sementara) dipersalahkan untuk ikut menyelidiki. Itu seperti menuduh pencuri melakukan pencurian, lalu menyuruh pencuri tersebut untuk melakukan penyelidikan. Kelucuan yang sama sekali tidak lucu.
Sial sekali hidup di Indonesia kalau untuk yang satu itu saja kita tak bisa. Kita bisa berbicara tentang perlunya solusi, perbaikan fundamental dalam pengelolaan sepak bola, mengubah cara pandang tentang apa yang disebut kekerasan, dan seabrek seharusnya yang lain. Tetapi, tanpa mengorek dan memahami apa yang salah, siapa yang salah, tak mungkin kita bisa memperbaiki diri. Omong-omong gincu bibir. Mustahil.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten